Saya meyakini bahwa para kompasianer khususnya mereka yang pernah berguru seperti saya dari tulisan para profesor perintis Wirjono Prodjodikoro, Soedikno Mertokusumo, Ko Tjai Sing, Oemar Seno Adji, Sudarto, Muljatno dan lainnya, dapat langsung membayangkan dan mahfum apa maksud dan kemana tulisan ini bermuara. Memang, lagi-lagi ihwal persoalan hukum yang terus bermunculan dalam berbagai kasus dan skandal serta melibatkan banyak pihak. Yaitu menyangkut kriminal, dan tentunya bergenre pidana. Namun demikian, bukan kasus atau skandal tertentu yang akan saya angkat. Tidak pula memberikan judgment terhadap kasus atau skandal tersebut.
Pesan yang ingin diangkat dalam tulisan ini adalah bahwa dalam menjalin relasi dan berinteraksi dengan orang, kita bisa terjerat atau terlibat dalam persoalan hukum atas tindakan orang tersebut apabila merugikan orang lain. Atau tanpa kita sadari menyeret kita sekalipun kita pasif, tidak mengenal pelaku dan sebagainya. Maklum, ini logika hukum, yang seringkali dianggap "berhaluan kiri" dari logika (masyarakat) pada umumnya. Tujuan saya tidak lain agar kita bisa mewaspadainya sehingga dapat melakukan antisipasi dengan memperhatikan isu-isu krusial yang lazimnya "digunakan" aparatuur.
Telah menjadi doktrin bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila telah memenuhi 2 syarat utama, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif. Syarat obyektif tersebut adalah perbuatan, lebih tepatnya dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit). Sedangkan syarat subyektif yaitu orang, lebih lengkapnya dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Masing-masing syarat tersebut dalam bahasa Inggris disebut criminal act dan criminal liability, sedangkan istilah Latinnya actus reus dan mens rea. Kedua syarat tersebut adalah pasangan atau sejoli, terangkai dengan kalimat: an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty, dalam bahasa Latin yaitu : actus non facit reum nisi mens sit rea. Apabila kompasianer ingat, konsepsi ini juga pernah diulas secara ilmiah dan apik dari disiplin ilmu psikologis oleh Melok, kompasianer yg tentunya fasih dalam studinya (disini).
Dengan konstruksi diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua syarat tersebut harus terpenuhi sekaligus sebelum seseorang dinyatakan sebagai pelaku dalam kejahatan. Tentunya dengan didukung bukti-bukti. Lantas hal apa saja yang termasuk kedalam syarat obyektif dan subyektif?
Didalam syarat obyektif tersebut adalah perbuatan (daad/feit) itu sendiri, ada dalam peraturan-yang disebut hukum positif, dan bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Yang perlu dicermati disini adalah negara kita menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maksudnya melawan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud syarat subyektif ada 2, yaitu kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan (guilt). Kualitas kemampuan orang untuk bertanggungjawab yang rendah akan menyebabkan orang tersebut bebas, sekalipun dia melakukan kejahatan. Disini berlaku Pasal 44 KUHP, yang mengatur kualifikasi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu keadaan dimana jiwa/akal sehatnya tumbuh tidak sempurna, dan keadaan yang pada awalnya sehat tetapi mengalami penyakit yang mempengaruhi jiwa/akal sehatnya. Menentukan kualitas tersebut tentunya harus melibatkan profesional psikolog. Sedangkan kesalahan (guilt) dalam bentuknya dibedakan menjadi 2, yaitu kesengajaan (opzet/dolus/intent) dan kealpaan/kelalaian (nalatig/culpa/negligence).
Itulah ajaran pokok dan konstruksi logika dalam pemidanaan sehingga berlaku dalam setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan. Nah, sebelum kita terlibat jauh dalam "mindset yang dipersangkakan aparat penyidik, baik sebagai saksi lebih-lebih sebagai tersangka, ada baiknya kita mencermati beberapa elemen krusial dari logika hukum.
1. Kelalaian (nalatig/culpa/negligence).
Ini adalah elemen paling "efisien" dan "praktis" dalam menerapkan logika atau bahkan sanksi pidana oleh aparatur khususnya penyidik, terhadap seseorang. Kelalaian/kealpaan, sebagai salah satu bentuk Kesalahan, secara ringkas ditafsirkan para akademisi maupun praktisi sebagai perilaku sembrono (roekeloos) dan kurang hati-hati (onvoorzichtig). Sebaliknya, seseorang seharusnya dapat mengira-ngira atau membayangkan (te voorzien) atas munculnya suatu peristiwa dan akibatnya yang buruk. Sependek pengetahuan saya (ini meminjam istilah salah satu kompasianer yang saya lupa namanya), penjelasan tersebut sedikit-banyak terkait dengan teori adekuat (Adaquanzttheorie) Von Bar tahun 1970. Satu uraian ihwal kelalaian/kealpaan dikemukakan sebagai berikut :
a. kurang adanya sikap hati-hati (gemis aan voorzichtigheid);
b. kurang adanya perhatian terhadap kemungkinan timbulnya sesuatu akibat (gemis aan voorzienbaarheid van het gevolg).
Dalam banyak peristiwa, anggota masyarakat yang dipersangkakan terlibat oleh penyidik "hanya" akibat kelalaian mereka, baik sebatas saksi maupun tersangka. Mari tengok beberapa pasal dalam KUHP yang tegas-tegas menyebut "kelalaian" : Pasal 188 (kealpaan yang menimbulkan peletusan, kebakaran dll), Pasal 231 ayat (4) (kealpaan si penyimpan yang menyebabkan hilangnya barang yang disita), Pasal 360 (kealpaan yang menyebabkan orang luka berat), dan lain-lain.
Dalam peristiwa konkrit, kita bisa menunjuk beberapa kasus. Pada kasus yang telah diputus pengadilan misalnya, Lanjar Sriyanto, pengendara motor yang jatuh karena tabrakan, dan menyebabkan istri yang diboncengnya meninggal, dinyatakan bersalah karena kelalaiannya, sekalipun dinyatakan tidak dapat dipidana karena ada alasan penghapus pidana (Pasal 48 KUHP : daya-paksa/overmacht), Kompas, 5 Maret 2010. Pada kasus lain yang tengah berjalan, misalnya: ambruknya konstruksi perluasan proyek di Tanah Abang yang melibatkan petugas P2B Propinsi DKI Jakarta, ambruknya tenda sirkus di Senayan (sekalipun saat ambruk yang pertama telah dinyatakan tidak ada kelalaian), dan lainnya.
Demikian halnya terhadap orang menyimpan informasi/barang yang bersifat rahasia dan bukan untuk konsumsi/kepentingan publik, memiliki tanggungjawab untuk menyimpan secara ketat. Kita bisa tengok Pasal 114 KUHP (menyimpan rahasia negara) sebagai contoh sederhana. Oleh karena itu, semakin kuat sifat kerahasiannya, semakin besar tanggungjawab pemilik untuk membatasi/melarang orang lain untuk mengetahuinya, sehingga semakin tinggi resiko si pemilik untuk terjerat/terlibat karena kelalaiannya atas publikasi di masyarakat.
2. Turut Serta (Deelneming/Complicity).
Beberapa teoritisi menganggap bahwa elemen ini merupakan perluasan dari syarat obyektif, yaitu dapat dipidananya perbuatan, sedangkan sebagian pengajar mengelompokkan sebagai syarat subyektif, yaitu dapat dipidananya orang. Dalam kajian turut serta, ada 2 kelompok yang terlibat, yaitu peran sebagai pembuat (dader) dan pembantu (medeplichtige). KUHP mengaturnya pada Pasal 55 dan 56. Di masyarakat dikenal dengan istilah kongkalingkong, persekongkolan atau persekutuan. Indikasi kuat orang terlibat dalam turut-serta diantaranya adalah mereka mengenal satu sama lain, baik langsung maupun tidak dengan perantara orang lain, dan mereka mendapat manfaat, baik uang maupun barang, atas perbuatan atau akibat yang menyimpang atau merugikan pihak lain.
Termasuk sebagai pembuat (dader) adalah pelaku (pleger), orang yang menyuruh-lakukan (doenpleger), orang yang turut-serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker). Sebagai yang menyuruh-lakukan (doenpleger) bisa terbagi lagi kedalam 2 pihak, yaitu pembuat langsung (auctor physicus/manus ministra), dan pembuat tidak langsung (auctor intellectualis/manus domina). Adapun orang yang turut-serta (medepleger) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat mengerjakan sesuatu. Sedangkan penganjur (uitlokker) hampir sama dengan yang menyuruh-lakukan (doenpleger) : ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil (auctor physicus), bedanya pembuat materiil dalam konstruksi penganjur (uitlokker) dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan termasuk kedalam pembantuan (medeplichte), harus ada orang yang dibantu, yaitu yang melakukan kejahatan. Konstruksi ini diatur pada Pasal 56 KUHP. Kekhasan yang sederhana dalam pembantuan (medeplichte) adalah perbuatan tersebut merupakan perbuatan membantu/menunjang (ondersteuningshandling), tidak harus ada kerjasama yang disadari (beweste samenwerking), dan sebagainya. Secara konkrit, identifikasi pembantuan dapat diketahui dari redaksi seperti "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" dalam peraturan.
Konstruksi turut-serta memang kompleks dan pelik. Kita dapat menengoknya pada kasus pidana yang melibatkan para terdakwa Antasari Azhar, Wiliardi Wizard dan lainnya terhadap Nasrudin Zulkarnaen yang hingga kini dalam proses kasasi. Namun adakalanya turut-serta terlihat sederhana, misalnya dalam hubungan kerja dimana staf yang diminta menandatangani dokumen oleh atasannya, padahal hal tersebut bukan merupakan pekerjaannya. Bisa juga terlihat dalam hal hubungan kerja diantara staf dan atasan yang tidak sesuai prosedur (SOP) sehingga merugikan pihak lain. Dalam hal ini, layaklah bila kita merujuk pada banyak kasus penyelewengan (fraud/discrepancy) yang mengemuka di perbankan.
3. Pembiaran (ommission).
Secara normatif dikenal sebagai delik tidak berbuat. Dikualifikasikan kedalam tindak pidana karena tidak berbuat. Tentunya kompasianer pernah mendengar adagium "tidak berbuat adalah tindak pidana". Di KUHP bisa lihat Pasal 224 (tidak datang dipanggil sebagai saksi), 225 (tidak menyerahkan surat yang dianggap palsu), 226 (tidak hadir dipanggil sebagai orang atau pengurus perseroan yang dinyatakan pailit), selain juga Pasal 164 (tidak memberitahukan permufakatan jahat), Pasal 289 (membiarkan dilakukan perbuatan cabul), dan sebagainya.
Indikator yang paling sederhana dari pembiaran adalah kewajiban hukum yang melekat pada setiap individu. Kewajiban ini timbul dari hukum, bukan saja yang tertulis, tapi juga dari yang tidak tertulis berwujud norma masyarakat. Saya melihat ada persinggungan yang kuat antara pembiaran ini dengan kelalaian diatas. Taruh kata orang yang mengetahui dan berdekatan dengan fasilitas umum yang tidak layak dan membahayakan masyarakat, lebih baik memberitahukannya kepada pihak yang bertanggunjawab, semisal pimpinan proyek, ketua lingkungan atau pihak lain, baik lisan maupun tertulis. Kita dapat merujuk pada runtuhnya (collapsed) tanggul di Situ Gintung-Ciputat beberapa waktu lalu yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia.
Ulasan ketiga elemen diatas satu dengan lainnya bisa saling melengkapi. Ketiganya juga bisa diterapkan pada kejahatan lain diluar KUHP. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencermati lingkungan dan waspada dalam menjalin kerjasama usaha serta berinteraksi sosial. Ada satu maksim yang perlu ditelaah bersama, yaitu "everyone is presumed to know the law" atau "ignorantia juris haud excusat", yang diterjemahkan "setiap orang dianggap tahu akan hukumnya". Sekalipun maksim ini telah tereduksi dengan nilai-nilai good corporate governance yang menekankan asas transparansi dan akuntabilitas, namun toh maksim tersebut tidak hilang atau lenyap.
Sumber :
1. Drs. PAF Lumintang, "Delik-Delik Khusus, Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik", 1995, Tarsito-Bandung;
2. Prof. Sudarto, "Hukum Pidana I", 1990, Yayasan Sudarto-Semarang; 3. Barda Nawawi Arief, "Hukum Pidana II", 1984, FH Undip-Semarang; 4. _________, "Source of English Law", __________. Foto diatas adalah ilustrasi, diambil dari blogs.static.mentalfloss.com.
"Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI