Mencari nilai- nilai ataupun menggali semangat- semangat positif buat berjuang mengalami hidup bukan tujuan yang kerap dicapai dunia pembelajaran Indonesia.Â
Nilai yang berbentuk angka senantiasa jadi tolak ukurnya. Tanpa menggali semangat serta nilai- nilai positif dalam sejarah, serta cuma semata- mata memburu nilai saja, guru serta siswa cuma belajar sejarah tanpa belajar dari sejarah.
Fatalnya Belajar Sejarah Senantiasa Hafalan
Walaupun banyak orang yang hirau pada pembelajaran setuju kalau menguasai jauh lebih berarti, tampaknya menghafal begitu dominan dalam pelajaran sejarah.Â
Hafal tidaknya siswa pada nama- nama tokoh ataupun tempat pula bertepatan pada kerap kali jadi tolak ukur kemampuan modul pendidikan sejarah di sekolah.Â
Siswa yang lemah hafalannya dapat bisa nilai rendah di raport, walaupun telah bekerja mati- matian. Sementara itu tidak seluruh orang memiliki memori yang baik.
Hampir jadi komentar universal, walaupun menyesatkan, kalau sejarah merupakan pelajaran menghafal. Banyak kanak- kanak sekolah membenci pelajaran ini.Â
Apalagi bocah yang semula suka pada sejarah sebab pengalaman jalan- jalan ke museum ataupun menyaksikan film sejarah, dapat lenyap rasa sukanya pada sejarah begitu di sekolah dijejali banyak hafalan. Kecuali kala tes sejarah, hafalan itu tidak bermanfaat di masa depan.
Warnanya, tidak cuma opini anak warga saja yang menyebut sejarah pelajaran hafalan, tetapi pula para pakar pembelajaran.Â
Perington, dalam The Idea of an Historical Education( 1980) menuliskan, sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hafalan. Sebagian sebab memiliki komentar kenyataan sangat berarti dalam peristiwa sejarah, jadi dirasa butuh dihafal.
Sementara itu, bila kurang ingat pada nama tokoh, tempat, peristiwa ataupun bertepatan pada dalam kehidupan tiap hari lumayan membuka lagi buku sejarah, ensiklopedi ataupun mencari melalui mesin pencari juga bukan permasalahan.Â