Di kala umurnya telah senja, dia memilah jadi seseorang pertapa. Dia juga menyerahkan tahta kerajaan kepada gadis permaisuri yang berama Dyah Sangmawijaya. Tetapi Dyah menolak sebab pula memilah jadi pertapa semacam bapaknya.
Prabu Airlangga kesimpulannya membagikan tahta kepada putra dari selirnya. Dari selirnya, dia mempunyai 2 putra ialah Raden Jayanagara serta Raden Jayengrana. Prabu merasa bimbang serta supaya adil, dia memohon batuan Empu Baradha buat membagi Kerajaan Medang jadi 2 bagian buat kedua putranya.
Dengan kesaktiannya Empu Baradha juga terbang dengan bawa kendi yang berisi air. Dia setelah itu menumpahkan air kendi itu dari angkasa persis di tengah- tengah Kerajaa Medang. Ajaibnya, tanah yang terserang air dari kendi tersebut berganti jadi sungai yang saat ini diketahui dengan Sungai Brantas.
Kerajaan Medang juga saat ini dibagi jadi 2 daerah yang dibatasi Sungai Brantas. Bagian sebelah timur diserahkan kepada Raden Jayengrana yang diberi nama Kerajaan Jenggala. Sebaliknya bagian barat sungai diberikan kepada Raden Jayanagara yang diberi nama Kerajaan Kadiri ataupun yang saat ini diketahui dengan nama Kediri.
Dilansir dari novel Sungai selaku Pusat Peradaban, ditemui kehidupan Homo Wajakensis daerah Wajak, sesuatu lembah di Brantas Hulu yang sangat produktif yang posisinya di dekat Tulungangung. Perihal itu menujukkan kalau Sungai Brantas mempunyai sejarah yang sangat panjang baik secara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan serta militer.
Apalagi Sungai Brantas jadi saksi masa kerajaan yang timbul silih berubah, mulai dari Kerajaan Mataram Mpu Sindok( akhir abad ke- 9 Masehi) sampai masa akhir Kerajaan Majapahit di abad ke- 16 Masehi. Di masa Kerajaan Mapapahit, Si Raja Hayam Wuruk menghasilkan Prasasti Canggu( 1358 Masehi).
Prasasti tersebut mengatakan hak- hak istimewa pada penjaga tempat penyebarangan di Sungai Brantas. Baca pula: Hayam Wuruk, Raja Terbanyak Kerajaan Majapahit Dikala ini Canggu terletak di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto yang terletak di selama aliran Sungai Kalimas (cabang dari Sungai Brantas).
Di masa kemudian, desa- desa di pinggir sungai( nitipradesa) yang jadi posisi panambangan merupakan wilayah perdikan selaku imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk serta orang dagang secara cuma- cuma.Â
Dengan metode itu, masyarakat dilibatkan buat melindungi sarana penyeberangan, kata Meter Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negara Malang, Selasa (15/3/ 2011).
Dalam prasasti tersebut tercatat terdapat 34 desa panambangan di Sungai Brantas serta 44 desa panambangan di Bengawan Solo.