Bulan puasa sangat penting bagi seluruh umat muslim di manapun ia berada, tak terkecuali di negara kita, Indonesia. Bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah, tak hanya bagi umat muslim saja, namun keberkahan bulan puasa juga dirasakan oleh non muslim.
Tahun ini, bulan puasa bertepatan dengan adanya pengumuman terkait hasil Pilpres 2019 di negara kita, lebih tepatnya tanggal 22 Mei 2019. Puasa yang seharusnya menjadi wadah untuk memperkaya ibadah, namun harus bersinggungan dengan atmosfir politik sedemikian tebalnya.
Menahan diri untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami isteri mulai terbitnya fajar shodiq (shubuh) hingga tenggelamnya matahari (maghrib), tidak cukup untuk menjadi rem dari cepatnya nafsu politik. Apa lagi ulama dari berbagai ormas Islam pun juga ikut andil secara langsung dalam percaturan politik kali ini.
Bulan puasa menuntut umat muslim untuk melawan dan menahan segala hawa nafsu dan berbuat dosa, misalnya: berbohong, memfitnah, menyebar kebencian, atau mengumpat kepada sesama manusia. Jika hal ini diterapkan oleh seluruh umat muslim di negara ini, kesejukan bulan puasa akan benar-benar terasa sampai ke pelosok-pelosok desa. Keruhnya atmosfir perkotaan juga akan semakin tidak terasa, sebab hati masyarakat kota sudah sejuk melihat tokoh pemuka agama sudah benar-benar kembali pada jalurnya.
Bulan puasa adalah waktu yang tepat untuk mempuasai hasrat politik untuk berkuasa dan hasrat untuk mengalahkan. Untuk politikus, sudah seharusnya bulan puasa dapat mereda tensi yang sempat memanas selama Pilpres berlangsung. Apa lagi, pengumuman terkait hasil Pilpres juga akan diumumkan dalam bulan ramadhan.
Para pimpinan partai politik dan pejabat tinggi di negeri ini, harusnya mencerminkan pribadi yang berjiwa luhur, sebagaiman seharusnya seorang negarawan. Setiap kata yang keluar dari ucapannya adalah petuah dan arahan yang baik dan menyejukkan. Tidak perlu memperkeruh keadaan. Apa lagi tokoh agama atau ulama, bulan puasa harusnya dapat mengingatkannya untuk ikut andil menyejukkan suasana negara yang kacau ini. Jika dari tokoh agama saja tidak bisa mencerminkan hal yang baik, sehingga menimbulkan kegaduhan dalam sekala nasional, maka perlu ditinjau kembali status keulamaannya.
Menyoal terkait Pilpres 2019, kita tahu bahwa kedua paslon sama-sama memiliki pendukung dari kalangan ulama. Pasangan Jokowi -- Ma'ruf Amin didukung oleh Mbah Maimoen, Said Aqil, Yusuf Mansur, TGB, Kyai Anwar Mansyur Lirboyo, dan masih banyak lagi.Â
Di sisi lain, pasangan Prabowo -- Sandi didukung oleh Habieb Rieziq Shihab, KH Abdul Rosyid Abdullah Syafii, Ustadz Yusuf Muhammad Martak, Ustadz Ahmad Haikal Hasan, Ustadz Muhammad Al-Khatat, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, dan Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, Ustaz Zaitul Rasmin, Ustaz Slamet Maarif, KH Sobri Lubis, Ustaz Bachtiar Nashir.
Memilih untuk memihak salah satu paslon adalah hak dan boleh untuk dipublikasikan. Akan tetapi, keberpihakan pada salah satu paslon jangan sampai hanya tinggal diam jika paslon atau tim pemenangannya melakukan kegaduhan yang berdampak hingga skala nasional. Sebagai ulama yang berada di tengah-tengah para politikus, sudah seyogyanya untuk menjadi peredam jika ada potensi kekacauan.
Setiap saya melihat para ulama nasional di negeri ini saling bersilang pendapat dalam hal politik, saya masih maklum. Namun, lahirnya ucapan-ucapan dari ulama yang kemudian dapat memicu perpecahan horizontal di bawah, itu adalah sebuah ironi yang membuat saya prihatin kepada mereka semua dan bangsa ini.
Dewasa ini, umat muslim Indonesia semakin krisis akan adanya sosok ulama yang bisa dijadikan sebagai suritauladan. Saya sebagai anak desa, cenderung mengabaikan petuah-petuah ulama nasional, dan memilih mendengarkan pengajian dari kyai saya di pondok dekat rumah.
Walau pun beliau tidak pernah diekspos di media apa pun dan hanya masyarakat desa yang mengenalnya, namun marwahnya sebagai seorang kyai masih sangat kuat. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi poin penting nan berbobot secara spiritual keagamaan. Beliau benar-benar fokus membimbing santri-santri di desa dan tidak mau ikut campur lebih jauh dalam urusan politik yang kacau balau ini.
Para kyai di desa berpuasa sepanjang masa untuk menghindar dari hiruk pikuk politik di negeri ini. Masih banyak kyai di desa saya yang benar-benar menghindari tiga hal yang berkaitan dengan politikus dan pejabat.
Tiga hal tersebut adalah tidak menerima uang dari mereka, tidak duduk dalam satu majelis dengan mereka, dan terlebih-lagi tidak ngobrol dengan mereka.
Hal tersebut bukan semata-mata menilai bahwa politik adalah kotor atau dosa, akan tetapi lebih dari menjaga diri agar tidak terseret pada 'arus rusuh' yang sering berpotensi dilakukan oleh para politikus di negeri ini. Dan santri yang mengaji kepadanya pun semakin mantap mengikuti petuahnya, sebab apa yang diucapkan sudah benar-benar diterapkan dalam kehidupan sang kyai desa ini.
Memang hal tersebut beda ranahnya. Namun, perilaku egois harusnya bisa dipakai di ranah mana pun. Menolak berpihak kepada Prabowo tidak perlu kemudian mengeluarkan kata-kata yang menyakiti pihak Prabowo, sehingga membuat mereka marah pula kepada pihak Jokowi.
Demikian pula sebaliknya. Jika ini dipelihara terus oleh tokoh agama atau ulama di negeri ini, tak ayal, setiap Pilpres lima tahun sekali tersebut akan selalu marak dengan adanya pertentangan sesama ulama dan kepercayaan masyarakat kepada ulama pun akan melemah. Akibatnya, bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam akan kehilangan sosok pengayom yang harusnya mereka mintai arahan dan wejangannya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H