Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aldi

8 Juni 2022   08:16 Diperbarui: 8 Juni 2022   08:52 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu masih sama Aldi?

Dari sekian banyak tanya yang bisa terlontar, kurasa pertanyaan itulah yang paling sering kudengar---setidaknya sejak 2020 lalu setelah Aldi pindah kerja ke Jerman, sedangkan aku masih tetap betah di tempat semula. 

Kadang tanya itu muncul dari kenalan lama, kadang dari teman kerja, kadang juga dari tetangga atau pedagang sayur keliling yang rutin berhenti di depan rumah. Entah cuma sebagai pemuas rasa penasaran entah apa, orang-orang sepertinya telaten sekali mengecek hubungan kami. 

Aldi.

Kami bertemu pertama kali saat sama-sama kelas 3 SMP. Aku 15 tahun, dia juga sama. Hari itu, aku ingat sekali, aku tak dapat pasangan duduk di kelas sebab aku tak masuk gara-gara sakit di hari pertama sekolah usai libur kenaikan kelas. Kupikir aku akan duduk sendirian di tahun terakhir SMP-ku. 

Tapi beberapa hari kemudian, aku punya teman duduk: Aldi. Ternyata dia juga tak masuk, bahkan sampai beberapa hari, sejak hari pertama masuk sekolah usai kenaikan kelas. Alasannya, aku tak begitu ingat. Tapi aku masih ingat saat Aldi masuk kelas dan duduk di sampingku untuk pertama kalinya. Kuperkenalkan diri kepadanya, mengajaknya bersalaman.

Dia, dengan mata bulat hitam dan rambut cepaknya, cuma menatapku balik. Tak balas menjabat tanganku, bahkan tak juga menyebutkan namanya. Sebenarnya aku tak ambil pusing dengan tingkahnya. Cuma waktu itu, kupikir aku tak akan berteman atau malah tak akan mau untuk sekadar mengajaknya bicara lebih dulu. Tapi dunia ini terkadang ajaib. Mungkin, penciptanya memang pada dasarnya suka bercanda. Kenyataannya, bahkan sampai 12 tahun kemudian, Aldi masih jadi orang yang paling sering kuajak bercerita.

...

"Tuh, masih ada kan sunset-nya,"

Aldi berjalan di sebelahku, menjajari langkahku di antara pasir-pasir pantai. Aku cuma tertawa, memukul pelan bahunya: sunset di sebelah mananya, Di? Jingga di langit sore ini bahkan sudah mulai menghilang, mulai berganti malam. 

Rencana kami melihat sunset gagal total sebab dia terlambat sore tadi. Padahal, sepulang dari Jerman seminggu lalu, dialah yang seperti orang sedang mengidam ingin ke pantai melihat matahari terbenam.

"Tumben amat sih Di, kepingin ke pantai sore-sore. Biasanya juga ke pantai kapan saja, enggak harus sore. Kamu kan enggak suka sunset," kutanya.

"Lagi kepingin saja, Des,"

"Memang di Jerman enggak ada sunset di pantai?"

"Ya ada, tapi kan kamunya yang enggak ada di sana,"

Dia mulai menggombal. Kuakaui, dibandingkan sejak pertama kali kami bertemu, Aldi banyak berubah. Dia yang semula cuek dan keras kepala, kurasakan semakin dewasa semakin bisa menempatkan diri dalam berbagai suasana. Dia yang semula sering kelihatan tak nyaman saat ditanya soal dirinya dan kehidupan pribadinya, jadi makin sering bercerita tanpa diminta. 

Dia jadi lebih hangat, jadi terasa lebih dekat. Bahkan, dua tahun terakhir sejak dia pindah kerja di Jerman, dia makin sering bercerita soal apa saja. Dia banyak berubah, meski tetap banyak juga hal-hal yang tak berubah darinya. Dan itu adalah satu dari sekian banyak hal yang kusuka dari dia. 

Aku tahu seberapa keras kehidupan sudah mengajarinya untuk tumbuh jadi dewasa seperti sekarang. Melihatnya terus tumbuh, menjadi lebih manusia dari hari ke hari, juga dengan tetap memegang prinsipnya, jujur saja membuatku bangga. Mungkin sebab boleh dibilang, aku tumbuh bersamanya. 

Aku bertemu dengannya saat masih remaja. Jadi kurasa, sedikit banyak, ada saja bagian-bagian dari dirinya yang sengaja atau tidak, disadari atau tidak, membuatku tumbuh menjadi aku yang sekarang. Ah iya, jadi pertanyaan kamu masih sama Aldi yang sering ditanyakan orang-orang itu sebenarnya tak perlu ditanyakan lagi. 

Sebab bagaimanapun, aku tak pernah berencana untuk tidak bersamanya lagi. Bukannya hubungan kami selalu baik-baik saja. Waktu masih sekolah, kami bahkan sering bertengkar cuma gara-gara berebut jajan. Diskusi soal sebenarnya alien ada atau tidak yang awalnya cuma iseng-iseng saja pernah membuat kami akhirnya bertengkar hebat. Tapi semua pertengkaran kami paling akan berakhir setelah sejam-dua jam kemudian. Selepas itu kami akan tertawa lagi. Kembali seperti sedia kala.

"Hilih!" perkataannya tadi kujawab begitu. Dia tertawa.

...

Langkah-langkah ringan kami diiringi semilir angin pantai yang mulai mengibas-ngibaskan rambutku yang semula kubiarkan tergerai. Aku menguncir rambut panjang-sebahu-ku. Melihatku serius menguncir rambut, Aldi ikut menghentikan jalannya, memperhatikan.

"Apa? Mau kunciran juga?" kutanya, dia cuma tersenyum.

Rambut gondrongnya juga ikut tertiup angin, mulai berubah jadi tidak beraturan. Tapi di antara semua model potongan rambut yang pernah ia coba, aku paling suka model potongan rambutnya yang sekarang. Entah bagaimana gaya rambut itu seperti memang sengaja dibuat khusus untuknya, cocok sekali dengannya: dengan mata bulat hitamnya, dengan fitur wajahnya, juga dengan kepribadiannya.

"Di, kayaknya lagi ada yang mau lamaran ya," aku bertanya sepintas lalu sambil melanjutkan langkah. Kulihat, tak jauh dari tempatku berjalan, ada tenda kecil yang dihias lampu kerlap-kerlip. Beberapa orang ada di sekelilingnya, sepertinya sedang bersiap menata berbagai hal di sekeliling tenda.

"Percaya enggak? Itu tendaku," kata Aldi, seperti biasanya dengan nada bercanda khasnya.

"Oh, iya? Kamu mau lamar siapa?" kutanya balik, meladeni candaannya.

"Ya kamulah! Siapa lagi?"

"Euw!"

Aldi tertawa lagi. Tapi bicara soal lamar-melamar, aku jadi ingat pertanyaan kedua yang paling sering dilontarkan orang-orang kepadaku: sebetulnya apa sih hubungan kamu sama Aldi?

Buat banyak orang, setiap hubungan memang harusnya punya nama. Aku, jujur saja tidak tahu bagaimana harus menyebut nama hubungan kami. Kalau cuma mau berdasar pada definisi, aku bisa menyebut Aldi sebagai apa saja. Terkadang dia seperti orang tuaku, terkadang dia seperti kakak atau adikku, dan di lain waktu dia jadi temanku. Jadi nama-nama hubungan yang ada tidak cukup tepat untuk mendefinisikan seperti apa sebenarnya hubungan kami.

Kalau ditanya apakah aku mencintainya? Tentu saja. Kadang kupikir hubungan kami platonik saja. Bahkan kalaupun suatu hari dia menikah dengan perempuan lain yang dia cintai, aku pasti akan ikut bahagia. Kurasa aku tidak akan bersedih cuma karena hal itu. Kurasa, aku tidak akan keberatan untuk berteman juga dengan istri dan anak-anaknya kelak. Kurasa, tidak masalah juga jika aku harus jadi Snape dalam Harry Potter, sementara dia tetap Lily yang akan bahagia bersama James.

Tapi kalau ditanya siapa orang yang dengannya aku bersedia menikah nanti, jawabanku cuma satu: Aldi. Entah kenapa rasanya dia orang yang tepat saja. Dan kalau disuruh bercerita soal dia, rasanya aku bisa terus bicara sampai seharian penuh tanpa bosan. Sebab ada begitu banyak momenku bersamanya. Ada begitu banyak sedih dan tawaku bersamanya yang tidak pernah tidak menyenangkan untuk dikisahkan.

"Enggak percaya kalau tenda itu punyaku?" Aldi membuyarkan lamunanku. Masih membahas soal tenda yang kulihat tadi. Padahal kami sudah berjalan melewatinya. Tadi, orang-orang di sekitar tenda tampaknya sedang kerepotan karena lampu kerlap-kerlip yang harusnya menyala tiba-tiba mati.

"Enggaklah! Kamu mana bisa romantis begitu!"

"Ya bisa dong,"

"Enggak usah bilang apa sih yang enggak buat kamu. Sudah terbaca gombalanmu,"

Aku memotong ucapannya. Aldi tertawa. Menggandeng tanganku, melanjutkan langkah.

...

"Di, sudah ah! Jauh amat. Duduk di sana saja!" kataku, sudah bosan terus berjalan sedari tadi. Aldi menurut. Segera duduk.

"Di, Di! Dingin," kataku. Aldi melihat ke arahku yang masih berdiri. Entah kenapa aku ingin iseng. Biasanya, dalam kamus hubungan kami tak ada hal-hal begitu.

"Terus? Harus kayak di film-film? Harus apa dong?"

"Kamu kan pakai jaket,"

"Iyalah, aku kan juga dingin, Dessy!"

"Katanya apa sih yang enggak buat kamu? Hilih, diminta jaketnya saja enggak dikasih!"

Dia tertawa. Ah, dia memang banyak tertawa akhir-akhir ini.

"Sini jaketnya!" kataku.

"Ini, Nona!" katanya, bercanda sambil melepas jaket dan memberikannya kepadaku.

Sedetik. Dua detik.

Mataku terpaku pada kotak yang sepertinya berwarna biru tua, yang jatuh ketika Aldi melepas jaketnya tadi. Kotak itu tergeletak di antara pasir-pasir pantai. Kuambil kotak itu. Di dalamnya, meski langit tak begitu bersinar karena matahari baru terbenam dan bulan belum muncul, bisa kulihat sebuah cincin di dalam kotak itu. Bulat melingkar. Anggun di tengah kotak.

Aldi sepertinya tak sadar kalau kotak cincin itu jatuh dari saku jaketnya.

"Di, kamu betul-betul mau lamar aku?" entah kenapa tiba-tiba aku ingin bertanya begitu.

Melihat kotak cincin itu di tanganku, Aldi langsung beranjak dari duduknya. Berdiri. 

"Tenda tadi betul punya kamu? Buat lamar aku?" kutanya lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah tenda yang sebelumnya kami lewati.

Aldi menghadap ke arahku. Kali ini mengangguk, serius.

Deg!

Ekspresinya tak begitu kelihatan. Tapi aku bisa membayangkan bagaimana raut wajahnya. Setengah malu. Setengah takut. Setengah bahagia. Setengah lagi entah apa. Dia yang biasanya tak banyak bicara soal perasaannya kepadaku dan seringnya cuma bercanda sambil menggombal ketawa-ketiwi, sore menjelang malam itu mengatakan begitu banyak hal yang tidak ingin kulupakan. Yang rasanya terlalu berharga buat kuceritakan kepada orang-orang. Yang rasanya ingin kusimpan sendirian saja supaya tak pernah berkurang sedikit pun. 

Dia melamarku. Di tepi pantai, beberapa ratus meter di depan tenda lamaran yang lampunya masih juga belum menyala. Dia benar-benar melamarku. Mendengar kata-katanya, entah kenapa air mataku menetes dengan sendirinya. Semuanya seperti terjadi begitu saja. Mengalir. Apa adanya. Tak seperti mimpi. Sebab aku bahkan tak pernah memimpikan itu.

"Dessy, mau kan?" begitu tanyanya di akhir semua pengakuannya.

Aku tersenyum. 

Mana mungkin aku tidak mau menua bersamamu, Di?

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun