Melihat kotak cincin itu di tanganku, Aldi langsung beranjak dari duduknya. Berdiri.Â
"Tenda tadi betul punya kamu? Buat lamar aku?" kutanya lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah tenda yang sebelumnya kami lewati.
Aldi menghadap ke arahku. Kali ini mengangguk, serius.
Deg!
Ekspresinya tak begitu kelihatan. Tapi aku bisa membayangkan bagaimana raut wajahnya. Setengah malu. Setengah takut. Setengah bahagia. Setengah lagi entah apa. Dia yang biasanya tak banyak bicara soal perasaannya kepadaku dan seringnya cuma bercanda sambil menggombal ketawa-ketiwi, sore menjelang malam itu mengatakan begitu banyak hal yang tidak ingin kulupakan. Yang rasanya terlalu berharga buat kuceritakan kepada orang-orang. Yang rasanya ingin kusimpan sendirian saja supaya tak pernah berkurang sedikit pun.Â
Dia melamarku. Di tepi pantai, beberapa ratus meter di depan tenda lamaran yang lampunya masih juga belum menyala. Dia benar-benar melamarku. Mendengar kata-katanya, entah kenapa air mataku menetes dengan sendirinya. Semuanya seperti terjadi begitu saja. Mengalir. Apa adanya. Tak seperti mimpi. Sebab aku bahkan tak pernah memimpikan itu.
"Dessy, mau kan?" begitu tanyanya di akhir semua pengakuannya.
Aku tersenyum.Â
Mana mungkin aku tidak mau menua bersamamu, Di?
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H