We wait for many things in our lives: from small things like packages to waiting for someone for a long time. We are also waiting for our dreams to come true. There are waits that have an end, but there are also waits that have no end even if we waited for a long time. That's why it feels more grateful and precious when things come at the right time. -- Jay B's R&B Radio
"Whenever, Wherever, Whatever" milik Maxwell jadi lagu pembuka mengikuti kutipan tadi. Usai lagu itu diputar, aku mematikan siaran radio favoritku yang tidak pernah kulewatkan setiap Rabu malam. Agak aneh bagi sebagian orang memang, tapi setiap kali mendengarkan siaran radio, aku paling suka dengan bagian pembukanya. Setidaknya itu adalah bagian yang tidak pernah rela untuk kulewatkan meski ada banyak sekali kesibukan yang selalu minta diutamakan.
...
Rabu, 13 Oktober 2021.
Malam ini aku di sini. Di ruangan berukuran 3x4 meter. Dengan meja dan kursi kayu yang tampak tua tapi entah mengapa seperti sengaja menyimpan banyak cerita. Sebuah cermin besar berdiri tepat di depan tempat dudukku. Sebuah vas bunga dengan setangkai gerbera merah muda diletakkan di sisi kanan meja. Siluetnya entah bagaimana tampak anggun dan padu sekali dengan dinding tembok bercat klasik yang susah buat kudeskripsikan warnanya. Aku melepas headset, mematikan ponsel dan semua notifikasi, mulai serius dengan pertemuan malam ini.
"Hai," kataku. Seseorang di hadapanku yang semula menunduk kini mengangkat kepala. Aku tersenyum, dia ikut tersenyum. Entah bagaimana aku harus memulai percakapan malam ini. Klasik. Akhirnya cuma kata hai yang bisa kulontarkan untuk membuka percakapan.
"Apa kabar?" dia bertanya, juga pertanyaan klasik. Tapi aku tahu, dia selalu serius dengan pertanyaan yang mungkin cuma berarti sebagai basa-basi bagi sebagian besar orang, termasuk buatku sendiri.
Kurasa sekitar sepuluh menit berlalu tanpa obrolan. Dia tidak bertanya lebih lanjut, aku pun belum tahu harus menjawab apa. Sudah lama aku tidak bicara dengannya meski aku tahu dia sudah membersamaiku lama sekali, juga meski aku tahu dia adalah satu-satunya pendengar yang tidak akan menghakimiku bagaimanapun keadaanku. Kurasa sudah lebih dari tiga bulan aku mendiamkannya. Bukannya marah atau benci dengannya, aku cuma tidak tahu apa yang harus kukatakan ketika bertemu.Â
Dulu kami suka sekali berbincang tentang mimpi-mimpi kami. Tapi akhir-akhir ini, mimpi-mimpi itu seperti sudah habis digerus ketakutan akan realita. Aku mulai lebih banyak diam, menenggelamkan diri dalam kesibukan. Tenggelam sedalam-dalamnya sampai pada titik aku tidak tahu lagi hari apa yang baru saja berlalu, sampai pada titik aku lupa apa yang sudah kulakukan hari kemarin, dan sampai pada titik aku tidak tahu lagi kenapa aku rela bekerja keras demi melakukan semua hal yang kulakukan. Tapi orang-orang bilang, aku harus merasa cukup dengan apa yang kumiliki sekarang. Jadi kurasa aku baik-baik saja.
"Baik," akhirnya itu jawabanku. Kurasa aku benar-benar baik-baik saja. Dia diam.
...
Sepuluh menit berlalu lagi. Mungkin kali ini bahkan lebih dari sepuluh menit. Tanpa obrolan. Suara detak jarum jam di belakang kami bahkan jadi terdengar seperti musik. Sepi. Kuberanikan diri untuk menatapnya. Dia balik menatapku. Astaga, haruskah tadi kumulai pembicaraan kami dengan perkenalan diri? Haruskah kubilang Hello, I'm Soul lebih dulu seperti waktu kami pertama kali kami bertemu?
"Kamu tahu kenapa aku suka anak kecil?" syukurlah, dia masih mau bertanya meski sebetulnya retoris saja. Tapi tentu saja aku tahu. Dia sudah sering bilang alasannya. Sebab anak kecil selalu jujur. Mereka akan mengatakan apa pun yang mereka rasakan tanpa takut dihakimi oleh sekitar. Lantas kalau tidak bisa lagi mengatasi masalah yang datang, mereka akan menangis, sejujur-jujurnya, setulus-tulusnya. "Dan kamu tahu apa yang paling aku enggak suka dari kamu? Cuma satu: kamu enggak pernah mau bertingkah seperti anak kecil, bahkan di depanku sekalipun."
Aku tahu apa yang dia harapkan dengan mengatakan itu. Dia cuma mau satu: aku menjawab setiap pertanyaannya dengan jujur, dengan sebenar-benarnya yang kurasakan. Tapi terkadang, aku tidak tahu bagaimana harus jujur kepadanya ketika aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Dan satu-satunya yang kutahu cuma sepertinya aku baik-baik saja.
"So how's life?" dia sepertinya sudah menyimpulkan sebuah pertanyaan untuk merangkum pertemuan kami malam ini.
"Baik," sekali lagi kujawab begitu. Dia mendesah. Kali ini tampak putus asa.
"Do you love me?" satu pertanyaan lagi darinya. Pertanyaan paling esensial yang entah harus kujawab apa.
...
Cerita lain yang serupa: "Sayup" (klik di sini untuk baca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H