...
Sepuluh menit berlalu lagi. Mungkin kali ini bahkan lebih dari sepuluh menit. Tanpa obrolan. Suara detak jarum jam di belakang kami bahkan jadi terdengar seperti musik. Sepi. Kuberanikan diri untuk menatapnya. Dia balik menatapku. Astaga, haruskah tadi kumulai pembicaraan kami dengan perkenalan diri? Haruskah kubilang Hello, I'm Soul lebih dulu seperti waktu kami pertama kali kami bertemu?
"Kamu tahu kenapa aku suka anak kecil?" syukurlah, dia masih mau bertanya meski sebetulnya retoris saja. Tapi tentu saja aku tahu. Dia sudah sering bilang alasannya. Sebab anak kecil selalu jujur. Mereka akan mengatakan apa pun yang mereka rasakan tanpa takut dihakimi oleh sekitar. Lantas kalau tidak bisa lagi mengatasi masalah yang datang, mereka akan menangis, sejujur-jujurnya, setulus-tulusnya. "Dan kamu tahu apa yang paling aku enggak suka dari kamu? Cuma satu: kamu enggak pernah mau bertingkah seperti anak kecil, bahkan di depanku sekalipun."
Aku tahu apa yang dia harapkan dengan mengatakan itu. Dia cuma mau satu: aku menjawab setiap pertanyaannya dengan jujur, dengan sebenar-benarnya yang kurasakan. Tapi terkadang, aku tidak tahu bagaimana harus jujur kepadanya ketika aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Dan satu-satunya yang kutahu cuma sepertinya aku baik-baik saja.
"So how's life?" dia sepertinya sudah menyimpulkan sebuah pertanyaan untuk merangkum pertemuan kami malam ini.
"Baik," sekali lagi kujawab begitu. Dia mendesah. Kali ini tampak putus asa.
"Do you love me?" satu pertanyaan lagi darinya. Pertanyaan paling esensial yang entah harus kujawab apa.
...
Cerita lain yang serupa: "Sayup" (klik di sini untuk baca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H