09 November 2020. Kurasa itu terakhir kalinya aku menulis cerita. Selepasnya, aku tidak pernah menulis lagi. Tidak terasa ternyata sudah hampir satu tahun. Dasarnya aku memang tidak begitu hobi menulis. Terkadang cuma sekadar iseng buat menyempurnakan ingin, sekadar coba-coba buat memuaskan rasa, atau sekadar mau buat membendung rindu.Â
Tapi tulisan terakhirku di akun Kompasiana milik temanku ini malah jadi tulisan paling populer di akunnya.
 Di antara cerita-ceritanya yang lain, cerita yang kuberi judul asal-asalan dengan namaku malah punya pembaca paling banyak---kalau kalian mau lihat ceritaku yang dulu itu, silakan lihat di sini. Bahkan, sampai mengalahkan cerpen kebanggaannya yang berjudul Teman (Kencan). Dan itu membuatnya uring-uringan sampai seminggu.
...
Oh, iya. Perkenalkan sekali lagi. Namaku masih Maye. Dan tentu saja tidak akan berubah: aku masih anak kedua dari tiga bersaudara. Sekarang, aku sudah 26 tahun. Usia yang cukup untuk membuatku diceramahi setiap hari dan disuruh menikah oleh tetangga dan saudara kalau kadang aku pulang kampung.
Untungnya, Mama tidak pernah ambil pusing dengan omongan orang. Katanya, aku cukup nyengir saja kalau ditanya. Toh mereka sebenarnya cuma penasaran. Atau cuma sekadar cari bahan obrolan.Â
Mungkin mereka tidak punya bahan obrolan lain kecuali perkara itu.Â
Jadi kata Mama dengan suara khasnya, Ngapain to Nduk kamu pakai sebal segala, wong mereka habis ngomong juga lupa. Tidak selamanya aku bisa memahami jalan pikiran Mama---apalagi kalau soal caranya menyikapi Bapak, tapi aku selalu jatuh cinta dengan kebijaksanaan Mama.
"Dih, bosen kali ah nulis tentang Mama melulu!"
Pemilik akun ini protes setelah tadi mengintip layar laptopku dan melihatku sedang mengetik kata "Mama". Padahal, akunnya ini sudah empat bulan lebih terbengkalai. Padahal, dia yang tadi merengek memintaku supaya mau menulis apa saja di akunnya.
"Biarin sih! Tadi katamu suka-suka aku!"
"Sekali-kali dong Me, ceritain mantan pacar!"
"Mantan pacar kamu?"
"Mantan pacar kamu dong, Maye yang paling baik!"
"Klise ah, cerita kamu dari dulu ngomongin mantan melulu!"
Dia mencibir. Melempar bantal sofa yang sedang dipegangnya ke arahku. Aku menghindar. Menjulurkan lidah. Dia beralih kembali fokus pada laptop laptop di depannya.Â
Diam sejenak. Lalu mengetik lagi. Diam lagi lebih lama. Mengetik lagi barang dua atau tiga kata. Sekarang berhenti lagi, melihat ke arahku. Kalau sudah begitu, aku paham dia pasti akan bertanya sesuatu.
"Me,"
"Hmmm,"
"Kapan kamu nikah?"
Astaga! Kali ini aku yang melempar bantal ke arahnya. Dia tertawa.
"Kenapa sih Me enggak nikah-nikah?"
"Enggak ada yang mau, Za, sama aku," kujawab begitu, sekenanya.
"Dih! Mau aku hitungin berapa cowok yang udah langsung datang ke rumah kamu? Mau ditambahin juga sama cowok-cowok yang akhirinya mundur karena enggak kamu ladenin?"
"Belum nemu yang cocok, Za,"
"Masih belum bisa lupain dia, ya?" dia bertanya, kali ini perlahan.
Aku tahu, pertanyaannya tidak pernah sekadar guyonan, apalagi sekadar pemuas rasa penasaran. Aku paham, dia tidak akan bertanya kalau dia tidak peduli. Dia hati-hati sekali membawa topik ini, menanyakan soal seseorang yang namanya sudah lama tak boleh kusebut.
"Emang kelihatannya begitu?"
"Kamu kan serem, Me. Yang kelihatan bukan yang sebenarnya,"
...
Haha
Dia memang sering mengatakan sesuatu seperti yang Mama katakan. Kata Mama, di antara semua anaknya, aku yang paling susah dimengerti. Aku ingat sekali waktu malam-malam Mama masuk ke kamarku sambil bercerita soal Mbak, juga soal Adik. Lalu entah kenapa, Mama sampai pada titik ceritanya tentang aku.
"Mama yang melahirkan kamu, tapi kadang Mama kesusahan memahami kamu," kurang lebih begitu kata Mama malam itu.
"Emang susah di mananya si Ma?" aku balik bertanya setelah sebelumnya aku cuma diam sambil sesekali nyengir saat mendengarkan.
"Susahnya minta ampun pokoknya. Tanya saja sana sama mantan pacar kamu. Dia pasti paham,"
Ah iya. Rupanya, hampir di setiap percakapanku dengan orang-orang terdekatku, nama mantan pacarku yang tidak ingin kusebutkan lagi itu selalu muncul. Terkadang sengaja dimunculkan, terkadang juga tak sengaja menyembul. Mungkin benar kata Mama, kehadirannya terlalu berarti untuk dilupakan.
"Kamu enggak mau menghubungi dia lagi, Nduk?" Mama bertanya, hati-hati sekali.
"Kenapa Mama mau aku balikan sama dia, Ma?"
"Karena Mama tahu perasaan kamu,"
"Katanya tadi susah buat mahamin aku," aku bercanda, berharap agar Mama mengganti topik pembicaraan malam itu.
"Kamu tahu enggak, Nduk? Dulu Mama enggak berani cerita karena kamu saja sudah kesusahan buat mulai hidup baru lagi. Tapi waktu habis putus sama kamu, dia datang ke rumah kita dan berlutut di depan Mama sambil minta maaf. Dia minta maaf karena gagal bikin kamu percaya kalau dia bisa jagain kamu,"
Aku diam. Itu benar-benar pertama kalinya aku mendengar cerita tentang dia dari Mama.
"Tahun lalu, kamu ingat to Nduk apa yang dia lakuin buat kamu? Juga bunga-bunga aster itu yang setiap kamu pulang kampung selalu masih baru. Kamu pikir Mama telaten dan punya waktu buat menggantinya?" Mama bertanya sambil menunjuk bunga aster di meja kerjaku.
...
"Oi, oi! Kan ngelamun lagi!" ah, Za sudah beralih duduk di sebelahku. Mengintip layar laptopku yang sejak tadi kutinggal melamun.
"Jadi?" dia bertanya lagi. Terdengar random meski aku tahu apa maksudnya.
"Jadi apa?" kataku balik bertanya, pura-pura tidak mengerti.
"Masih gara-gara dia kan Me?"
Aku tidak menjawab. Juga tidak bermaksud mengelak.
"Mau aku bantuin?"
"Ah, sok ngebantuin kamu! Kamu juga kan belum menikah. Kamu kira aku enggak tahu alasannya?"
Dia menepuk bahuku. Cepat-cepat beralih kembali ke tempat duduknya semula. Tentu saja, dia tidak pernah suka cerita sakralnya diungkit-ungkit. Oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Tapi dia mungkin benar. Aku masih Maye. Dan hampir semua yang kulakukan rupanya masih tentang dan masih karena dia yang tak ingin kusebut namanya.
Ah, aku jadi lupa dengan alur ceritaku.
Sudahlah. Sekarang sudah pukul 23.53 di tempatku. Lain kali, mungkin akan kulanjutkan lagi ceritaku. Semoga tidak menyesal sudah membacanya.
Selamat malam.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H