"Emang susah di mananya si Ma?" aku balik bertanya setelah sebelumnya aku cuma diam sambil sesekali nyengir saat mendengarkan.
"Susahnya minta ampun pokoknya. Tanya saja sana sama mantan pacar kamu. Dia pasti paham,"
Ah iya. Rupanya, hampir di setiap percakapanku dengan orang-orang terdekatku, nama mantan pacarku yang tidak ingin kusebutkan lagi itu selalu muncul. Terkadang sengaja dimunculkan, terkadang juga tak sengaja menyembul. Mungkin benar kata Mama, kehadirannya terlalu berarti untuk dilupakan.
"Kamu enggak mau menghubungi dia lagi, Nduk?" Mama bertanya, hati-hati sekali.
"Kenapa Mama mau aku balikan sama dia, Ma?"
"Karena Mama tahu perasaan kamu,"
"Katanya tadi susah buat mahamin aku," aku bercanda, berharap agar Mama mengganti topik pembicaraan malam itu.
"Kamu tahu enggak, Nduk? Dulu Mama enggak berani cerita karena kamu saja sudah kesusahan buat mulai hidup baru lagi. Tapi waktu habis putus sama kamu, dia datang ke rumah kita dan berlutut di depan Mama sambil minta maaf. Dia minta maaf karena gagal bikin kamu percaya kalau dia bisa jagain kamu,"
Aku diam. Itu benar-benar pertama kalinya aku mendengar cerita tentang dia dari Mama.
"Tahun lalu, kamu ingat to Nduk apa yang dia lakuin buat kamu? Juga bunga-bunga aster itu yang setiap kamu pulang kampung selalu masih baru. Kamu pikir Mama telaten dan punya waktu buat menggantinya?" Mama bertanya sambil menunjuk bunga aster di meja kerjaku.
...