Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harap

10 Oktober 2020   14:52 Diperbarui: 10 Oktober 2020   14:55 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu tahu kenapa aku tidak suka memulai hal baru, Wan? Kamu mungkin cuma akan tertawa—kamu memang suka tertawa—kalau masih di sini dan menemukan bahwa aku tetap suka membaca buku yang sama berulang kali, juga menonton film yang sama berulang kali. Katamu, kamu tidak pernah kesulitan memahamiku. Padahal memang tidak sulit.

Aku cuma tidak pernah butuh banyak. Aku tidak pernah minta banyak. Buatku, satu selalu lebih membahagiakan daripada setumpuk jumlah lainnya. Satu buku favorit. Satu film favorit. Satu tempat favorit. Satu sepatu dan tas favorit. Satu kacamata dan jam tangan favorit. Segala satu sudah cukup buatku untuk melanjutkan hidup. Termasuk satu hobi. Satu kenangan. Dan satu kamu.

“Wan, kamu punya hobi enggak, sih? Kayaknya aku jarang lihat kamu main game, naik gunung, atau apa gitu. Kamu enggak punya hobi, ya?” aku pernah bertanya pada suatu waktu.

“Memang hobi harus yang model begitu?”

“Kalau bukan?”

“Ngobrol sama kamu juga hobi, May,”

Aku menatapmu. Kamu yang sedang duduk sambil membolak-balik buku beralih menatapku.

Cheesy ya?” kamu bertanya.

“Banget,” kataku, lalu kita tertawa. Berdua.

Kamu pasti tahu kenapa aku suka kamu. Karena waktu sama kamu, aku tidak pernah perlu berusaha menjadi orang lain. Juga tidak harus repot belajar memahami kamu lama-lama. Kita cocok begitu saja. Tanpa harus dicocok-cocokkan. Kita menyatu begitu saja. Tanpa harus bersusah payah disatukan. Kamu bukan duniaku, sama seperti aku juga bukan duniamu. Kita selalu punya dunia lain yang harus kita jaga dan kita perjuangkan. Tapi kamu adalah tempat pulang buatku, sama seperti kamu juga selalu bilang bahwa aku adalah rumahmu.

...

A small house
with a tiny little garden
far from the city
and you

Waktu membaca tulisan itu di salah satu halaman dalam The Book of Forbidden Feeling-nya Lala Bohang, aku merasa tidak lagi terasing. Aku jadi tahu kalau aku bukan satu-satunya yang lebih suka hidup dalam dunia yang kecil. Jauh dari bising orang-orang di sekitar. Dulu aku memimpikannya bersama kamu.

Ingat, Wan? Kita pernah bermimpi untuk menikah di rumah kecil di sebuah desa kecil. Cuma kita berdua. Aku akan merias wajahku sendiri. Memakai gaun pengantin warna putih. Kamu akan memakai setelan jas warna hitam. Kita akan berdiri berdampingan, berfoto bersama di depan rumah. Kamu akan melingkarkan lenganmu di pinggangku. Aku akan menyandarkan kepalaku di pundakmu. Lalu kita akan bersepeda bersama keliling desa atau sekadar mengitari halaman di rumah kecil kita. Aku akan berusia 27 di hari itu. Kamu 32.

Kita benar-benar pernah memimpikannya bersama. Kita pernah bisa tertawa cuma dengan membayangkan mimpi kita akan mewujud pada suatu ketika. Tapi kamu akhirnya pergi, bahkan sebelum aku genap berusia 25. Kamu tidak pernah kembali. Kamu memilih bahagia di sisi-Nya. Dan setelahnya, mimpiku tidak pernah sama lagi.

...

“May,” laki-laki di sebelahku memanggil. Mengambil sebuket marigold dari tempat duduk belakang mobil dan menyerahkannya kepadaku, lalu kembali fokus menyetir.

Marigold?”

Aku bertanya. Basa-basi. Dia mengangguk singkat.

Nah, biar kukenalkan dulu kepadamu. Namanya Ardi. Kalau kamu bertemu dia, kamu pasti akan cepat akrab dengannya. Dia berbeda dengan kamu. Ya. Seperti katamu, kita tidak harus jadi sama lebih dulu untuk bisa sekadar berbagi cerita dengan orang lain. Kamu saja dari dulu selalu betah mengobrol lama-lama dengan Papa. Padahal, aku harus memaksa diriku ratusan kali, juga harus mengabaikan banyak sekali rasa, sebelum akhirnya bisa duduk berdua dan mengobrol singkat dengan Papa. Aku sering heran dengan kamu yang entah bagaimana selalu bisa mengobrol santai sambil tertawa dengan siapa pun. Dan kalau kupikir-pikir, kamu memang suka tertawa ya, Wan.

O iya, aku belum selesai memperkenalkan dia kepadamu.

Nama lengkapnya Ardi Wisenja. Dua tahun lalu, dia adalah orang yang muncul di kencan buta pertamaku. Sudah sering kuceritakan kepadamu, kencan buta pertamaku gagal total. Kami bahkan tidak pernah berhubungan lagi setelahnya. Tapi dunia ini kadang ajaib, Wan. Siapa yang menyangka kalau dia akan jadi teman baikku sekarang? Aku suka mengobrol dengan dia. Terasa sederhana dan apa adanya.

Tahu tidak, Wan? Orang-orang sering menanyaiku soal dia. Mereka bilang, dia mungkin menyukaiku. Apalagi kalau terkadang dia tiba-tiba muncul di depan kantorku sambil memegang sebuket bunga. Wah, sumpah, aku selalu memukul punggungnya keras-keras setelahnya. Sebab keesokan harinya, teman sekantorku pasti akan ribut mewawancaraiku tentang hubungan kami. Padahal mereka mana tahu?

Terkadang, dia memberiku bunga bekas yang tidak jadi dia hadiahkan untuk calon pacarnya atau untuk entah siapa. Di lain waktu, dia sengaja membawa bunga sebelum menemuiku supaya orang-orang di rumahnya menyangka kalau dia sudah punya pasangan. Setiap kali kutertawakan, dia cuma akan balik menertawankanku. Beralih meledek. Terkadang dia memang ajaib.

“Suka?” dia bertanya. Memastikan aku menyukai bunga yang baru saja dia berikan.

Aku mengangguk. Bilang terima kasih.

Tapi, Wan.

Semoga dia benar-benar cuma temanku, ya. Semoga. Semoga. Semoga.

...

Cerita sebelumnya dapat dibaca di sini: "Dua Puluh Lima"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun