A small house
with a tiny little garden
far from the city
and you
Waktu membaca tulisan itu di salah satu halaman dalam The Book of Forbidden Feeling-nya Lala Bohang, aku merasa tidak lagi terasing. Aku jadi tahu kalau aku bukan satu-satunya yang lebih suka hidup dalam dunia yang kecil. Jauh dari bising orang-orang di sekitar. Dulu aku memimpikannya bersama kamu.
Ingat, Wan? Kita pernah bermimpi untuk menikah di rumah kecil di sebuah desa kecil. Cuma kita berdua. Aku akan merias wajahku sendiri. Memakai gaun pengantin warna putih. Kamu akan memakai setelan jas warna hitam. Kita akan berdiri berdampingan, berfoto bersama di depan rumah. Kamu akan melingkarkan lenganmu di pinggangku. Aku akan menyandarkan kepalaku di pundakmu. Lalu kita akan bersepeda bersama keliling desa atau sekadar mengitari halaman di rumah kecil kita. Aku akan berusia 27 di hari itu. Kamu 32.
Kita benar-benar pernah memimpikannya bersama. Kita pernah bisa tertawa cuma dengan membayangkan mimpi kita akan mewujud pada suatu ketika. Tapi kamu akhirnya pergi, bahkan sebelum aku genap berusia 25. Kamu tidak pernah kembali. Kamu memilih bahagia di sisi-Nya. Dan setelahnya, mimpiku tidak pernah sama lagi.
...
“May,” laki-laki di sebelahku memanggil. Mengambil sebuket marigold dari tempat duduk belakang mobil dan menyerahkannya kepadaku, lalu kembali fokus menyetir.
“Marigold?”
Aku bertanya. Basa-basi. Dia mengangguk singkat.
Nah, biar kukenalkan dulu kepadamu. Namanya Ardi. Kalau kamu bertemu dia, kamu pasti akan cepat akrab dengannya. Dia berbeda dengan kamu. Ya. Seperti katamu, kita tidak harus jadi sama lebih dulu untuk bisa sekadar berbagi cerita dengan orang lain. Kamu saja dari dulu selalu betah mengobrol lama-lama dengan Papa. Padahal, aku harus memaksa diriku ratusan kali, juga harus mengabaikan banyak sekali rasa, sebelum akhirnya bisa duduk berdua dan mengobrol singkat dengan Papa. Aku sering heran dengan kamu yang entah bagaimana selalu bisa mengobrol santai sambil tertawa dengan siapa pun. Dan kalau kupikir-pikir, kamu memang suka tertawa ya, Wan.
O iya, aku belum selesai memperkenalkan dia kepadamu.
Nama lengkapnya Ardi Wisenja. Dua tahun lalu, dia adalah orang yang muncul di kencan buta pertamaku. Sudah sering kuceritakan kepadamu, kencan buta pertamaku gagal total. Kami bahkan tidak pernah berhubungan lagi setelahnya. Tapi dunia ini kadang ajaib, Wan. Siapa yang menyangka kalau dia akan jadi teman baikku sekarang? Aku suka mengobrol dengan dia. Terasa sederhana dan apa adanya.