Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Puluh Lima

4 Oktober 2020   14:06 Diperbarui: 10 Oktober 2020   14:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hhh..."

Perempuan di depanku mendesah, entah sudah keberapa kalinya sejak pertemuan kami satu jam lalu. Kalau kamu ada di sini, Wan, kamu pasti cuma akan tertawa. Kamu toh memang selalu pandai menertawakan kehidupan.

"Aku capek, May," katanya, mungkin mulai siap bercerita.

Tapi dia diam lagi, lebih lama dari sebelumnya. Aku ikut diam, menatapnya, menunggu kelanjutan ceritanya. Aku tidak akan menanyainya perihal apa pun yang belum siap dia ceritakan. Sebab aku tahu, dia tidak datang kepadaku karena ingin ditanya. Dia datang karena sedang butuh didengarkan.

"May,"

Dia memanggilku sekali lagi. Kali ini mulai tersedu.

Namanya Anggi. Dia temanku. Bukan teman terbaikku, tapi kurasa dia menganggap kami cukup dekat untuk berbagi cerita dan rahasia. Setidaknya setiap dua atau tiga bulan sekali dia pasti menghubungiku dan mengajak bertemu. Kadang dia berbagi cerita cinta, kadang cerita seputar masalah keluarga, di lain waktu cerita soal teman kerja di kantor barunya, dan sesekali random saja: katanya dia cuma ingin bertemu teman lama.

Namanya Anggi Mahardika, Wan. Kamu mungkin akan mengingatnya kalau sekarang ada di sini. Pernah kuceritakan kepadamu, aku sempat iri dengan dia yang selalu pemberani memperjuangkan keinginan. Aku sempat iri dengan dia yang tidak suka pikir panjang saat akan mengambil keputusan. Aku sempat iri dengan dia yang bisa sebegitu santainya menanggapi setiap candaan dari kehidupan.

Dia 19 tahun waktu pertama kali bertemu denganku di jalanan kampus pada suatu malam. Aku baru keluar dari perpustakaan, baru saja menyelesaikan tugas tambahan sebagai asisten dosen. Dia jongkok sambil menangis tersedu di trotoar. Orang-orang berjalan melewatinya. Beberapa di antaranya berhenti sebentar, menanyainya sebentar, kemudian berjalan kembali meneruskan perjalanan.

Aku sempat ragu waktu akan menghampirinya. Aku memang tidak pernah pandai memulai percakapan. Tapi akhirnya aku ikut jongkok di sampingnya sambil menepuk-nepuk bahunya. Dia menatapku, lalu memelukku sambil terus tersedu. Mungkin sekitar lima belas menit kemudian dia baru berdiri, mengekor mengikuti langkahku. Kami duduk di depan gerai foto kopi salah satu fakultas kampus.

Dia kemudian bercerita kepadaku soal tangisnya. Katanya, dia baru saja putus dari pacarnya yang sudah mati-matian dia perjuangkan. Katanya lagi, dia masuk ke kampus kita demi mengejar orang yang baru saja menyakitinya. Dia bilang, dia sudah mengabaikan banyak kesempatan baik yang datang, dia sudah mengabaikan semua nasihat dari orang-orang terdekatnya, dia sudah melakukan semuanya cuma demi menemukan bahwa setengah tahun kemudian, pacarnya meninggalkannya dengan alasan kamu terlalu baik buatku.

Aku membelikannya kopi dari vending machine dekat tempat duduk kami. Waktu kuberikan kopi itu kepadanya, dia malah menangis lagi. Katanya, dulu mantan pacarnya selalu memberinya kopi setiap ia sedih. Katanya, aku mengingatkannya pada mantan pacarnya itu.

Astaga, aku tidak pernah menyangka kalau aku akan bertemu dengannya malam itu.

Ingat kan, Wan? Malam itu kita jadi bertengkar gara-gara aku membuatmu menunggu tanpa kabar di kafe tempat kita janjian. Waktu itu kita masih muda ya, Wan. Kita masih sering ribut gara-gara hal kecil yang sering kali datang tanpa diduga. Tapi aku suka. Aku suka karena kita selalu punya bahan pembicaraan. Aku suka karena kita selalu bisa jatuh cinta lagi dan lagi setelahnya.

...

"Halo, kalau ada yang ingin dipesan lagi, silakan tekan saja di sini," seorang pelayan kafe menghampiri kami. Mungkin karena kami sudah duduk terlalu lama di sini dengan hanya memesan segelas jus mangga dan segelas kopi. Aku mengangguk, tersenyum.

Akhirnya kupesan lagi secangkir kopi demi basa-basi. Padahal kopi yang kupesan sebelumnya saja masih utuh belum kusentuh. Kamu kan tahu sendiri, Wan, aku tidak bisa minum kopi karena lambungku pasti akan bereaksi. Aku cuma suka aromanya yang tak tertandingi. Kamu pasti paham karena setiap kali kita bertemu, aku selalu memesan kopi. Lalu, kamu yang akan menghabiskannya di akhir pertemuan kita.

"Mau pesan makan, Nggi?" aku bertanya. Anggi menggeleng.

Mungkin sepuluh atau lima belas menit kemudian, kopi yang kupesan datang. Kucium aromanya yang mirip sekali dengan aroma parfum yang selalu kamu pakai.

Aku  menatap jalanan kota yang tampak jelas dari kafe lantai dua ini. Bagiku, selalu menyenangkan menatap mobil-mobil yang berjalan menjauh, motor-motor yang berebut saling mendahului, juga penyeberang jalan yang sering kelihatan ragu-ragu. Bagiku, tidak pernah membosankan menyaksikan detail-detail kecil seperti ini.

"May," Anggi memanggilku lagi dua puluh menit kemudian. "Pulang aja, yuk," dia melanjutkan.

Kami sudah hampir dua jam di kafe. Anggi masih diam. Aku menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya menangguk. Kami pulang. Kutinggalkan dua cangkir kopi yang sudah kupesan.

...

Sepanjang perjalanan, Anggi tetap lebih banyak diam. Dia masih tenggelam dalam pikirannya, kurasa. Meski dia tidak cerita, sedikit banyak aku bisa mengerti kegalauannya. Dia dua puluh lima tahun sekarang. Dia baru saja memasuki dunia yang pasti terasa baru. Dunia yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Dunia tempat orang-orang dewasa hidup. Dunia yang menuntut lebih banyak kesabaran. Dunia yang mau tidak mau akan membuatnya berpikir lebih banyak sebelum mengambil keputusan.

Kamu tahu, Wan? Dia tidak seceria dulu lagi. Dia tidak ekspresif seperti dulu lagi. Dulu dia selalu gampang menceritakan semua masalahnya. Sesimpel dia mendapat nilai D di kampus, dia tidak pernah absen bercerita. Akhir-akhir ini, bahkan setiap kali dia akhirnya bercerita, aku tahu dia sudah berpikir ribuan kali sebelumnya.

Lihat saja malam ini. Dia sudah mengajakku bertemu sejak sebulan lalu. Sempat beberapa kali ia batalkan dan ganti tanggal. Aku pun sempat menolak karena keburu sudah ada janji dengan klien. Dia pasti sudah berpikir berulang kali untuk menceritakan apa yang ingin dia ceritakan kepadaku malam ini. Tapi akhirnya, yang keluar dari mulutnya cuma sepatah dua patah kata. Cuma desahan yang terdengar amat berat. Dia cuma memanggil namaku beberapa kali.

"May, maaf ya," Anggi akhirnya berucap demikian waktu mobil yang kulajukan mulai terjebak macet. Dia terisak. Kutepuk-tepuk bahunya. Sekarang dia benar-benar menangis tersedu.

...

Dia dua puluh lima tahun sekarang, Wan.

Waktu aku dua puluh lima tahun, aku merasa hidupku kehilangan tujuan. Aku mulai sering bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya aku inginkan, termasuk tentang mimpi yang dulu sempat tumbuh tapi kubunuh dengan ketakutan akan realita. Aku mulai ragu dengan jalanku. Pekerjaanku jalan di tempat tanpa kemajuan: tidak berhenti tapi terasa mati, ingin berhenti tapi takut tak mampu berdiri sendiri.

Ditambah lagi orang-orang yang cuma penasaran mulai menanyaiku kapan menikah. Katanya mereka takut aku jadi perawan tua. Menanggapi orang-orang itu tidak sulit buatku. Aku cukup tersenyum sopan sambil mengangguk dan bilang permisi. Tapi lama-kelamaan, Mama dan Papa mulai ikut-ikutan. Mereka bukan cuma menanyaiku, mereka mulai mengatur kencan buta buatku. Minggu ini kencan dengan anak teman Mama. Kalau tidak berjalan lancar, minggu depannya lagi harus kencan dengan anak teman Papa.

Kencan buta pertamaku gagal total. Kencan buta keduaku juga demikian. Di kencan butaku yang ketiga, orang yang seharusnya datang malah pergi tanpa kabar. Aku benar-benar baru dua puluh lima tahun waktu Mama dan Papa mulai sering uring-uringan tiap kali kencan butaku gagal. Mereka makin sering menceramahiku.

Tiap kali ada pihak laki-laki yang membatalkan kencan buta kami, Papa-Mama mulai menyalahkanku. Katanya aku tidak seharusnya sekolah tinggi-tinggi. Katanya aku menakuti para lelaki yang mau mendekatiku karena hal itu. Cuma ada satu hal yang kusyukuri waktu itu: mereka tidak pernah mengungkit namamu, mereka tidak pernah memaksaku melupakanmu.

Aku cuma bisa menangis diam-diam waktu merindukanmu. Aku tidak berani mengatakannya kepada siapa pun. Aku takut orang-orang tidak bisa memahamiku. Seringnya, aku akan menangis di toilet kantor saat jam istirahat. Aku tidak suka menangis di rumah karena terlalu banyak orang yang akan penasaran. Awalnya, kuceritakan itu kepada orang yang kuanggap teman terdekatku. Lama-kelamaan, entah karena bosan mendengarkan cerita yang sama atau entah karena apa, mereka cuma menyuruhku bersyukur tiap kali aku bilang kalau aku lelah. Padahal, diminta bersyukur waktu sedang lelah-lelahnya itu tidak gampang.

Mereka juga bilang, aku tidak seharusnya merindukan yang telah pergi. Padahal kamu tidak pernah pergi, Wan. Kamu cuma hidup lebih dekat dengan Tuhan. Kamu tidak pernah mati, Wan. Kamu selalu hidup di dalam aku. Tapi kamu tahu, Wan? Tidak mudah menjalani hidup di usia dua puluh lima tanpa kamu.

...

"May, makasih sudah mau menemaiku. Maaf ya, aku cuma habisin waktu kamu. Maaf ya, aku belum bisa cerita," kata Anggi waktu kami tiba di depan tempat kosnya. Aku tersenyum.

"Kamu enggak harus minta maaf cuma karena kamu belum siap cerita, Nggi. Kamu juga enggak harus cerita. Tapi jangan lupa, kalau kamu mau cerita, aku ada."

"Makasih, May," Anggi berterima kasih sekali lagi.

Aku mengangguk, melajukan mobilku sesaat kemudian.

Pukul 22.01

Di siaran radio favorit kita, lagu Keren Ann "Not Going Anywhere" sedang diputar. Menemaniku melajukan mobil di jalanan Jakarta. Menemaniku berjalan menujumu.

People come and go and walk away

But I'm not going anywhere

I'm not going anywhere

...

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun