Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Puluh Lima

4 Oktober 2020   14:06 Diperbarui: 10 Oktober 2020   14:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...

Sepanjang perjalanan, Anggi tetap lebih banyak diam. Dia masih tenggelam dalam pikirannya, kurasa. Meski dia tidak cerita, sedikit banyak aku bisa mengerti kegalauannya. Dia dua puluh lima tahun sekarang. Dia baru saja memasuki dunia yang pasti terasa baru. Dunia yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Dunia tempat orang-orang dewasa hidup. Dunia yang menuntut lebih banyak kesabaran. Dunia yang mau tidak mau akan membuatnya berpikir lebih banyak sebelum mengambil keputusan.

Kamu tahu, Wan? Dia tidak seceria dulu lagi. Dia tidak ekspresif seperti dulu lagi. Dulu dia selalu gampang menceritakan semua masalahnya. Sesimpel dia mendapat nilai D di kampus, dia tidak pernah absen bercerita. Akhir-akhir ini, bahkan setiap kali dia akhirnya bercerita, aku tahu dia sudah berpikir ribuan kali sebelumnya.

Lihat saja malam ini. Dia sudah mengajakku bertemu sejak sebulan lalu. Sempat beberapa kali ia batalkan dan ganti tanggal. Aku pun sempat menolak karena keburu sudah ada janji dengan klien. Dia pasti sudah berpikir berulang kali untuk menceritakan apa yang ingin dia ceritakan kepadaku malam ini. Tapi akhirnya, yang keluar dari mulutnya cuma sepatah dua patah kata. Cuma desahan yang terdengar amat berat. Dia cuma memanggil namaku beberapa kali.

"May, maaf ya," Anggi akhirnya berucap demikian waktu mobil yang kulajukan mulai terjebak macet. Dia terisak. Kutepuk-tepuk bahunya. Sekarang dia benar-benar menangis tersedu.

...

Dia dua puluh lima tahun sekarang, Wan.

Waktu aku dua puluh lima tahun, aku merasa hidupku kehilangan tujuan. Aku mulai sering bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya aku inginkan, termasuk tentang mimpi yang dulu sempat tumbuh tapi kubunuh dengan ketakutan akan realita. Aku mulai ragu dengan jalanku. Pekerjaanku jalan di tempat tanpa kemajuan: tidak berhenti tapi terasa mati, ingin berhenti tapi takut tak mampu berdiri sendiri.

Ditambah lagi orang-orang yang cuma penasaran mulai menanyaiku kapan menikah. Katanya mereka takut aku jadi perawan tua. Menanggapi orang-orang itu tidak sulit buatku. Aku cukup tersenyum sopan sambil mengangguk dan bilang permisi. Tapi lama-kelamaan, Mama dan Papa mulai ikut-ikutan. Mereka bukan cuma menanyaiku, mereka mulai mengatur kencan buta buatku. Minggu ini kencan dengan anak teman Mama. Kalau tidak berjalan lancar, minggu depannya lagi harus kencan dengan anak teman Papa.

Kencan buta pertamaku gagal total. Kencan buta keduaku juga demikian. Di kencan butaku yang ketiga, orang yang seharusnya datang malah pergi tanpa kabar. Aku benar-benar baru dua puluh lima tahun waktu Mama dan Papa mulai sering uring-uringan tiap kali kencan butaku gagal. Mereka makin sering menceramahiku.

Tiap kali ada pihak laki-laki yang membatalkan kencan buta kami, Papa-Mama mulai menyalahkanku. Katanya aku tidak seharusnya sekolah tinggi-tinggi. Katanya aku menakuti para lelaki yang mau mendekatiku karena hal itu. Cuma ada satu hal yang kusyukuri waktu itu: mereka tidak pernah mengungkit namamu, mereka tidak pernah memaksaku melupakanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun