Aku cuma bisa menangis diam-diam waktu merindukanmu. Aku tidak berani mengatakannya kepada siapa pun. Aku takut orang-orang tidak bisa memahamiku. Seringnya, aku akan menangis di toilet kantor saat jam istirahat. Aku tidak suka menangis di rumah karena terlalu banyak orang yang akan penasaran. Awalnya, kuceritakan itu kepada orang yang kuanggap teman terdekatku. Lama-kelamaan, entah karena bosan mendengarkan cerita yang sama atau entah karena apa, mereka cuma menyuruhku bersyukur tiap kali aku bilang kalau aku lelah. Padahal, diminta bersyukur waktu sedang lelah-lelahnya itu tidak gampang.
Mereka juga bilang, aku tidak seharusnya merindukan yang telah pergi. Padahal kamu tidak pernah pergi, Wan. Kamu cuma hidup lebih dekat dengan Tuhan. Kamu tidak pernah mati, Wan. Kamu selalu hidup di dalam aku. Tapi kamu tahu, Wan? Tidak mudah menjalani hidup di usia dua puluh lima tanpa kamu.
...
"May, makasih sudah mau menemaiku. Maaf ya, aku cuma habisin waktu kamu. Maaf ya, aku belum bisa cerita," kata Anggi waktu kami tiba di depan tempat kosnya. Aku tersenyum.
"Kamu enggak harus minta maaf cuma karena kamu belum siap cerita, Nggi. Kamu juga enggak harus cerita. Tapi jangan lupa, kalau kamu mau cerita, aku ada."
"Makasih, May," Anggi berterima kasih sekali lagi.
Aku mengangguk, melajukan mobilku sesaat kemudian.
Pukul 22.01
Di siaran radio favorit kita, lagu Keren Ann "Not Going Anywhere" sedang diputar. Menemaniku melajukan mobil di jalanan Jakarta. Menemaniku berjalan menujumu.
People come and go and walk away
But I'm not going anywhere