Bulan puasa adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Apalagi melaksanakan puasa dikampung halaman. Rasanya sangat berbeda. Bisa kumpul dengan Si Mbah Lanang dan Wedok (bahasa jawa, sebutan lanang untuk laki-laki, wedok untuk perempuan) selama satu bulan penuh setelah rutinitas kuliah dikota yang jauh dari kampung halaman membuat pikiran saya menjadi fresh. Sesaat saya dapat melupakan tugas-tugas kuliah yang sebenarnya menumpuk dan harus dikumpulkan setelah aktif kembali di kampus.
Puasa hari pertama dikampung halaman sangat khas. Setelah Imsak dan sholat subuh, suasana musholla dan masjid masih ramai. Terlihat dua-tiga orang yang mulai Tadarus Al Qur'an. Suara orang mengaji di beberapa musholla  terdengar saut-sautan. Sungguh adem rasanya berada ditengah-tengah mereka melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Suasana yang tidak saya dapatkan dikota besar tempat saya kuliah. Mushola dan masjid begitu hidup saat bulan puasa seperti ini.
Aktivitas tetangga yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani juga sudah terlihat. Ibadah puasa tidak menghalangi aktivitas mereka disawah. Pergi ke sawah tanpa menggunakan alas kaki adalah ciri khas mereka. Begitu juga dengan Si Mbah yang saat itu siap-siap pergi ke sawah.
"Mbah, pakai sandal." Ucap saya pada Si Mbah.
"Ndak usah. Ga pake sandal lebih sehat." Ucap beliau
"Takut kena paku atau beling, Mbah." Pintaku
"Ndak usah." Ucap beliau sembari berlalu menuju sawah.
Saya pun kembali pada tugas pagi saya sebagai anak desa. Yang rutinitasnya berkutat seputar bersih-bersih rumah dan halaman. Menyapu halaman yang begitu luas, merapikan pagar bambu yang posisinya kurang pas, menyiram halaman dengan menggunakan selang yang panjangnya bermeter-meter, dan rasanya rutinitas ringan seperti ini takkan cukup diselesaikan dalam satu hari.
Matahari semakin meninggi. Suara orang Tadarrus masih terdengar. Biasanya mereka tadarrus Al Qur'an sampai jam 10an. Dan saya, sudah kelelahan membersihkan halaman yang luas karena dipenuhi dengan daun-daun mangga kering yang berjatuhan. Rasa lelah membuat saya mengantuk dan ketiduran.
Entah berapa lama saya tertidur. Tiba-tiba suara Si Mbah Wedok mengagetkan saya. Ternyata jam sudah menunjukkan jam 4 sore. Si Mbah lanang sudah berpakaian rapi di ruang tamu. Si mbah wedok masih sibuk menyiapkan menu untuk berbuka puasa. Si Mbah Wedok terlihat kesal pada saya karena tidur saya kelamaan. Untuk menebus rasa bersalah saya, tanpa disuruh saya pun membantu menyiapkan makan dan minum berbuka kami.
"Siapkan kopi buat mbah". Pinta si mbah wedok
"Iya mbah."
"Gula dan kopi ada di rak kecil."
Mataku berkeliaran mencari gula dan kopi yang kata si mbah ada dirak kecil.
"Mbah taruh dimana kopi dan gulanya? wadahnya kok sama semua". Didepan mata saya saat itu adalah beberapa blek biscuit yang sudah tidak ada biskuitnya dan digunakan oleh mbah wedok sebagai tempat gula, kopi, teh, dan beberapa pelengkap bumbu dapur lainnya. Menurut si Mbah Wedok, pakai blek bekas biscuit lengkap dengan tutupnya sih lebih aman dari gangguan cicak dan tikus. Sayangnya, blek biscuit itu tidak transparan sehingga untuk mengetahui isinya harus dibuka satu persatu.
"Ya di dalam blek. Cari lah disitu. Mbah masih repot. Kamu tidur kelamaan. Dibangunin berkali-kali gak bangun-bangun". Si Mbah mulai ngoceh.
"Hmmm... Â kebanyakan blek. Gak ditulisi nama isinya lagi." Saya tidak bisa bergerak cepat karena harus membuka satu satu blek yang ada di rak itu. Dan beberapa saat kemudian saya berhasil menemukan apa yang saya cari. Gula dan kopi sudah didepan saya. Â Saya pun dengan sigap membuat kopi yang mbah minta.
Beberapa menit kemudian suara sirine tanda berbuka pun berbunyi. Kamipun segera membatalkan puasa dengan minuman. Saya dan mbah wedok berbuka dengan air putih sedangkan mbah lanang langsung berbuka dengan kopi. Dan diluar dugaan saya, si mbah memuntahkan kopi buatan saya.
"Kenapa mbah?" Tanya saya keheranan.
"Nduk, kopinya kok begini? Rasanya kok aneh." Ucap mbah lanang
"Aneh?" Saya pun mengambil gelas berisi kopi dan mencicipi kopi buatan saya sendiri.
Huweeekkk.. Saya pun memuntahkan kopi itu.
"Kok bisa begini rasanya."
Mbah wedok pun tidak mau ketinggalan mencicipi kopi buatan saya. Reaksinya pun sama. Huwekkkk.. Mbah memuntahkan kopi itu.
"Waduh. Kok aneh. Kamu kasih gula apa ndak?"
"Sudah mbah. Saya ambil di rak itu". Saya pun menghampiri rak dan mengambil blek yang saya anggap gula dan kopi. Saya buka blek kopi dan gula tersebut. Dan ternyata, betapa terkejutnya saya karena saya salah ambil. Blek yang saya anggap gula ternyata berisi micin.
"Mbah, saya salah ambil gula. Bukan gula yang saya ambil, tapi micin. Blek nya mbah sama semua sih." Ucap saya dengan suara memelas dan wajah bersalah.
"kwkwkwkwkw". Mbah lanang tertawa diikuti mbah wedok yang juga ikut tertawa.
"Makanya, kalau tidur jangan kelamaan. Tidak baik juga. Bangun-bangun badan malah tambah ngantuk dan pusing." Ucap mbah lanang
Saya pun tertawa sambil menahan rasa malu. Masak sudah kuliah tidak bisa membedakan gula dan micin. Jadi malu sendiri. Hingga malam pun saya masih ditertawakan sama mbah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H