Kebijakan terkait hak belajar 3 (tiga) semester di luar prodi ini, sudah memiliki payung hukum dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, terutama di pasal 18. Namun harus diakui, regulasi ini masih tergolong baru, karena baru diterbitkan 28 Januari 2020 lalu. Tentu, masih dibutuhkan waktu sosialisasi yang lebih intens bagi perguruan tinggi, di tengah berbagai kendala pembatasan akibat pandemi Covid-19 ini.
Keterkaitan Capaian Tujuan Pendidikan NasionalÂ
Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, tentu sudah selaras dengan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas disebut, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentu, berbagai ragam strategi program dan pola pelaksanaan yang dilakukan perguruan tinggi untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional tersebut. Akan tetapi, bagaimana sesungguhnya mencapai lulusan yang memiliki kompetensi, sekaligus juga memiliki sedemikian komprehensif dan idealnya, sebagaimana dimaksud dalam tujuan Pedidikan Nasional itu?Â
Sebab, ada 2 (dua) bagian besar yang harus dimiliki para peserta didik sekaligus, agar menjadi lulusan yang berkompeten, namun berbeda cara pengukurannya. Di satu bagian disebut, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Dalam hal ini, bagaimana perguruan tinggi melakukan pengukurannya, kendati mata kuliah Agama dan Pancasila diberikan sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum). Apakah nilai semesternya cukup sebagai ukuran para lulusan berakhlak mulia?
Tentu akan berbeda dengan pengukuran di bagian lainnya yang mengatakan, agar menjadi lulusan yang: sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, metode pengukurannya masih bisa dilakukan secara matematis, dan setidaknya penilaian yang bersifat empirikal.
Sementara fakta mengatakan, banyaknya pelaku korupsi dalam posisi mereka sebagai pejabat Negara, apakah Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, yang justru orang-orang berpendidikan, dan tentu merupakan produk pendidikan tinggi. Dalam hal ukuran yang bersifat matematis tadi, mereka terpenuhi sebagai manusia yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tapi, dalam hal beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, apakah itu gambarannya? Tentu tidak.
Belum lagi banyaknya kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Swasta yang menjadi sarang paham radikalisme. Setidaknya, ada 10 PTN di Indonesia terpapar paham Islam radikalisme, menurut Direktur Riset Setara Institute, Mei 2019 lalu. PTS juga banyak yang sudah terpapar, walau belum terdeteksi. Dan yang miris lagi, temuan Badan Intelijen Negara (BIN), yang disampaikan Kepala BIN, Budi Gunawan, April 2018, bahwa sebanyak 39% mahasiswa terpapar Radikalisme, yang dinilai harus ditanggapi serius.Â
Di sisi lain, tantangan yang akan dihadapi menuju Era Emas Indonesia 2045, dimana pemerintah telah merumuskan, bahwa visi Indonesia Maju di tahun 2045 bisa dicapai dengan dukungan 4 pilar yaitu: Pembangunan SDM dan penguasaan IPTEK; Pembangunan ekonomi berkelanjutan; Pemerataan pembangunan, serta ketahanan Nasional; dan Tata kelola Pemerintah. Program Kampus Merdeka, sangat diharapkan membuat perubahan signifikan, terhadap para lulusan perguruan tinggi untuk menyongsong 2045.
Sebab itu, dalam kaitan dengan 3 (tiga) semester dalam program Kampus Merdeka, dirasakan perlu merancang program khusus yang berkaitan dengan penguatan soal: agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Ada baiknya, Kemendikbud membuat rancangan pola pengukuran yang bersifat intengible itu, untuk dapat sekaligus diukur secara matematis atau bersifat empiris. Â