Oleh sebab itu, maka 5 (lima) poin yang dikatakan Presiden Jokowi, nampaknya merupakan kebijakan (policy) yang sekaligus akan menjadi strategi untuk mencapai target meningkatkan kelas penghasilan dari Negara berkembang ke Negara maju. Tentu, dengan beberapa asumsi yang mendukung kebijakan tersebut, dari aspek yang mempengaruhi langsung faktor-faktor tersebut, hingga tahun 2045 nanti.
Dimulai dengan membenahi SDM, dengan kebijakan peningkatan kualitas SDM, antara lain meningkatkan pendidikan, yang nantinya diharapkan akan meningkatkan kreatifitas dan produktivitas. Didukung dengan mendatangkan talenta-talenta global untuk kerja sama.Â
Hal pendidikan ini bisa jadi berpengaruh terhadap konsentrasi bidang pendidikan tinggi, yang mungkin akan menciptakan nomenklatur baru kementerian pendidikan tinggi secara spesifik.
Dalam hal regulasi berkaitan, Presiden Jokowi akan melakukan penyederhanaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisienkan cost, dan memotong waktu proses pengurusan izin yang masih dianggap berbelit-belit. Tentu penyederhanaan ini akan mendorong peningkatan usaha, terutama UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang didukung pertumbuhannya.
Ada hal yang menarik tentang rencana adanya UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM. Sebab menurutnya, selama ini ada puluhan UU berkaitan yang menghambat penciptaan lapangan kerja, sehingga Omnibus law izin ini perlu langsung direvisi sekaligus. Demikian juga puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM, juga akan langsung direvisi.
Komitmen ini tentu akan membuka seluas-luasnya kesempatan kerja, dengan SDM yang berkualitas tadi. Demikian juga dalam hal UMKM, dengan revisi UU, akan membangun ekosistem investasi, dan pasti akan mendorong peningkatan hasil produksi dan jasa.
Dalam mendukung pelayanan, komitmen penyederhanaan birokrasi harus perlu dilakukan besar-besaran. Investasi yang penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan, dan prosedur yang panjang harus dipotong dan Eselonisasi harus disederhanakan.
Untuk hal ini, Presiden Jokowi nampaknya tidak tanggung-tanggung. Sebab selain memangkas prosedur, juga memperpendek mata rantai birokrasi, tapi membuka kesempatan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi. Lebih dahsyat lagi, akan segera mencopot Menteri atau pembantunya yang tidak serius bekerja.
Jika dikaitkan dengan programnya di periode pertama dengan Revolusi Mental, maka nampaknya kini tiba saatnya Presiden Jokowi ingin memacu dan menuntut SDM birokrasi yang handal. Sekaligus hal ini akan menyaring orang-orang yang bermental dan berbudaya amtenar seperti yang dikenal dalam masa Orde Baru, untuk segera melakukan perubahan dan mengikuti tuntutan kemajuan.
Yang lebih serius lagi, ukuran kinerja akan dilihat dari beberapa aspek tadi, setidaknya: apakah rajin atau tidak; kreatif atau tidak; inovatif atau tidak; dan produktif atau tidak. Hal ini nampaknya seperti budaya di swasta yang selalu mengukur kinerja dengan produktivitas dan hasil kerja.
Sedangkan untuk bidang infrastruktur, ini merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilakukan dalam periode pertama kepemimpinannya. Tentu, dalam hal transformasi ekonomi, ini merupakan peningkatan daya saing dari sumber daya alam, yang mengarah kepada peningkatan nilai tambah secara ekonomisnya.