Jika bukan karena nikmat, mengapa orang-orang terhormat juga masih saja korupsi? Jika bukan karena nikmat, apalagi namanya?
Tertangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dan resmi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (25/01/2017) lalu, semakin memperkuat bukti, bahwa korupsi memang sesuatu yang sangat menggiurkan. Sangat menggoda, sehingga manusia yang duduk di tempat terhormat dan muliapun, masih saja tak tahan.
Ini bukti kali kedua, orang yang berada di jajaran benteng Konstitusi tertangkap KPK. Tahun 2013, Ketua Mahkamah Konstitusi pada waktu itu, Akil Mochtar juga terjerat perkara jual-beli kasus Pilkada beberapa daerah. Akil Mochtarpun ditangkap di rumah dinasnya, dan KPK menyita mata uang dollar Singapura serta AS senilai kurang lebih Rp 3 miliar, hingga ia dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Sedangkan Patrialis Akbar, terlibat kasus dugaan suap terkait permohonan uji materi UU No. 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan nilai suap sebesar USD 20 ribu dan SGD 200 ribu, atau sekitar Rp. 2,15 miliar. Tipikal kasusnya hampir sama dengan Akil pendahulunya, memanfaatkan otoritas keputusan yang menjadi kewenangannya.
Tentu masih sederet orang-orang terhormat dan mulia yang tak tahan terhadap ‘rayuan dolar melambai’, yang sungguh menggiurkan hasrat kenikmatan. Beberapa diantaranya seperti anggota DPR: Mohammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan beberapa pejabat daerah seperti: Syamsul Arifin, Gatot Pujo Nugroho (Gubernur Sumut) dengan kasus dana Bansos, hingga yang Desember 2016 lalu, Bupati Klaten, Sri Hartini dengan kasus jual-beli jabatan, dimana KPK mengamankan uang sekitar Rp. 2 miliar dalam pecahan rupiah dan valuta asing USD 5.700 dan SIN Dolar 2.035.
Bagaimana tidak nikmat? Bayangkan saja, berapa kali gaji bulanan seorang Hakim Konstitusi uang sebesar itu, yang bisa langsung dapat dimiliki dalam sekejap, jika tak tertangkap? Demikian juga berapa puluh kali gaji Gubernur atau Bupati nilai sebesar itu?
Dan itu biasanya tertangkap KPK, atas dasar satu sumber kasus. Bagaimana jika ada ‘rayuan dolar melambai’ dari beberapa sumber? Waw, tentu menjadi puluhan miliar jadinya.
Mencermati mereka-mereka yang terlibat korupsi, pastilah para pelakunya adalah: Orang-orang pilihan; Punya kekuasaan; Punya Keberanian; Punya jiwa tega; dan jangan lupa, masih punya kehausan yang tinggi terhadap penumpukan harta kekayaan pribadi. Dan satu lagi, orang yang biasanya sudah sangat mapan dan nyaman dalam kedudukannya.
Dan hebatnya lagi, mereka-mereka yang terlibat korupsi ini juga adalah orang-orang yang sebelumnya juga antipati bahkan menaziskan korupsi. Bahkan Patrialis Akbar juga salah satu yang menyuarakan pemiskinan koruptor ketika ia masih duduk di DPR RI.
Tetapi, mengapa mereka jadi berubah sikap dan tak tahan godaan, ketika mereka sudah memiliki kekuasaan dan kenikmatan di kursi empuk? Mengapa psikologis mereka jadi terganggu, dari yang tadinya menghujat keras menjadi penikmat berkelas?
Kembali lagi, karena korupsi itu masih menjadi sesuatu yang sangat lezat. Memberikan imajinasi kesedapan dan kesenangan yang luar biasa. Apalagi tidak ada ukuran lezat itu secara umum. Lezat itu sangat bervariasi bagi setiap orang.
Membuat Korupsi Tidak Lezat
Sebab itu, justru yang menjadi persoalan bukan lagi soal siapa yang korupsi dan berapa besar jumlah yang dikorupsi. Tetapi bagaimana caranya membuat korupsi itu menjadi sesuatu yang tidak nikmat atau tidak lezat.
Sementara hukumanpun tidak pernah cukup membuat para koruptor menjadi jera. Bahkan mereka sering menjadi selebritis, dan dadah-dadah didepan kamera jurnalis, ditambah mengucap dalil-dalil penguatan pembenaran diri dengan kata-kata ‘Demi Allah’.
Salah satu prinsip membuat tidak lezat (jika dianalogikan masakan) adalah tidak memberikan bumbu sama sekali, atau membuat campuran bumbu yang tak selaras, satu dengan lainnya. Dapat diartikan, bahwa setiap instansi atau institusi tidak memiliki kewenangan mutlak atau penuh, dalam memutuskan sesuatu perkara, atau keputusan-keputusan strategis (bukan keputusan bersifat organisasional).
Harus ada instansi atau institusi rival lainnya yang secara kolektif sebagai pasangan untuk memutuskannya. Atau setidaknya, bagaimana caranya supaya keputusan akhir disandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya yang setara atau lebih tinggi dalam hal domainnya, tapi beda settingnya.
Artinya, keputusan tidak bisa diambil secara sepihak oleh instansi atau institusi yang pengurusan segala sesuatunya dari awal hingga akhir, ada di lembaga tersebut. Keputusan harus selalu diambil secara kolektif tadi, dan ada dalil lain yang mampu menguji keputusan dari instansi atau institusi awal tadi.
Dan satu hal yang penting lagi, dalam setiap pengambilan keputusan, harus dilakukan secara transparan. Tidak bisa tertutup. Karena jika segala sesuatu diputuskan hanya dalam satu instansi atau institusi saja, apalagi sifatnya tertutup, maka peluang suap-menyuap dan korupsi akan lebih leluasa bermain.
Konsekwensinya memang, akan menambah panjang birokrasi. Namun apa boleh buat. Karena selama ini, jika kewenangan diberikan kepada salah satu instansi atau institusi, apalagi oknum pejabatnya memiliki otoritas penuh, maka disitu pulalah bersarang sumber kenikmatan itu.
Tentu, perlu kajian dan analisis yang lebih jauh tentang hal ini. Namun setidaknya, prinsip yang ingin diungkap adalah, bagaimana caranya, agar korupsi itu menjadi tidak enak atau tidak nikmat, sehingga orang tidak akan tertarik lagi.
Pemerhati Sosial Politik/ Dosen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H