Seakan pengalaman saya saat duduk dibangku kelas 2 SMP menjadi sebuah DeJavu bagi saya berkaitan dengan pengalaman dua hari yang lalu. Dua hari yang lalu, saat saya hendak berkunjung ke ruang adorasi (ruang doa yang biasa terdapat di gereja) saya bertemu dengan ibu guru sewaktu saya masih SD. Ketika saya menyalami dan memberikan salam seraya menyebut nama beliau, sejenak beliau terdiam dan menanyakan nama saya. Kemudian saya memperkenalkan diri. Ibu guru tersebut menanyakan sekarang bekerja dimana dan kuliah jurusan apa.
Saat ini beliau telah pensiun dari tanggungjawabnya sebagai guru SD. Singkat cerita beliau meminta waktu kepada saya untuk mendengarkan sharingnya dan beliau meminta pendapat berkaitan dengan yang beliau alami akhir-akhir ini. Beliau menceritakan tentang salah seorang cucunya diperlakukan diskriminatif oleh salah seorang guru di kelas Taman Kanak-kanak (TK).
Mantan guru SD saya diberi penjelasan dari guru TK yang bersangkutan bahwa cucunya memiliki kecenderunan autis dan mungkin memiliki kebutuhan khusus. Saat ini usia dari cucu beliau menginjak usia 5 tahun. Berikut merupakan pengalaman yang dirasakan oleh mantan guru SD saya.
"Begini mas. Saya ingin menceritakan apa yang saya alami berkaitan dengan cucu saya. Akhir-akhir ini saya merasa sakit hati dan tidak terima dengan perlakuan guru kelas TK. Pertama saya mendapat laporan dari salah seorang guru TK yang membimbing cucu saya. Guru tersebut melaporkan bahwa cucu saya tidak bisa diam, banyak bicara dengan teman-teman disampingnya hingga memancing keributan, dan sering kali apa yang saya peragakan dan instruksikan kepada murid lain langsung ditirukan. Kemudian guru TK tersebut menjelaskan kepada saya bahwa adanya kemungkinan cucu saya memiliki kecenderungan autis. Saat itu perasaan saya bagai disambar petir mendengar penjelasan guru TK tersebut, seolah-olah hati saya tidak terima cucu saya dikatakan autis. Akan tetapi saya tetap menghargai apa yang dikatakan guru TK tersebut. Kedua, saya melihat sendiri cucu saya diberi kursi sendiri pada posisi di pojok kelas. Saat itu saya sengaja untuk mengintip proses belajar cucu saya di kelas. Setelah proses pembelajaran selesai, saya langsung menemui guru tersebut dan menanyakan alasan cucu saya disendirikan. Alasann yang diungkapkan dari guru TK tersebut agar cucu saya tidak mengganggu teman-teman yang lain. Lantas saya mengungkapkan protes saya atas perlakuan diskriminasi dari guru tersebut".
Selanjutnya, dengan empati saya menanyakan kepada mantan guru SD saya tentang bagaimana kebiasaan cucu tersebut di rumah. Kemudian mantan guru SD saya secara jelas menjelaskan bahwa selama di rumah, anak tersebut memang memiliki kecenderungan perilaku seperti: langsung meniru apa yang dilihatnya; jika memiliki keinginan sesuatu harus sesegera mungkin diwujudkan apabila tidak dipenuhi maka ia akan menangis histeris; dan jika sudah bermain dengan mainan yang disukai susah untuk dibujuk melakukan aktifitas yang lain.
Berawal dari keterangan guru tersebut. Sampai saat ini cucu dari mantan guru SD saya menghindari memberikan makanan coklat kepada cucunya.
Hal ini dilakukan agar tidak memperparah keadaan cucunya. Ketika saya bertanya mengenai bagaimana anak tersebut dalam menanggapi respon dari orang-orang disekitarnya, beliau mengungkapkan bahwa cucunya masih dapat merespon apa yang dia dengar dan respon yang diberikan masih menyambung. Kemudian pembicaraan berlanjut sampai pada sejarah biologis anak tersebut. Dan mantan ibu guru SD saya, saya beri penjelasan gambaran umum tentang apa itu autis dan bagaimana gejalanya.
Selain itu saya beri penjelasan mengenai ragam dari kesulitan belajar yang sering dihadapi siswa. DI akhir pembicaraan, saya berikan pemahaman bahwa belum tentu apa yang dikatakan oleh guru TK tersebut benar, karena hanya psikiater yang memiliki wewenang untuk memberikan diagnosisi “autis”.
ANDAIKAN SAYA SEBAGAI ORANGTUA
Setelah mendapat pengalaman tersebut, saya pun merenungkan bagaimana saya berada di posisi orangtua dari cucu mantan guru SD saya. Saya merenungkan dengan saya berada dalam dua kondisi.
Kondisi pertama, apabila saya menjadi orangtua dengan keadaan tidak memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi dan memiliki sumber ekonomi yang pas-pasan. Pada kondisi ini, saya sibuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan pendidikan anak. Pada kondisi ini juga, saya sebagai orangtua berusaha mencari nafkah dan mengatur keuangan untuk pendidikan anak di masa depan.