Air minum dalam kemasan (AMDK) telah menjadi bisnis global, Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan konsumen terbesar di dunia.
Namun, pasar air minum dalam kemasan Indonesia tampaknya telah mencapai tahap matang dari siklus hidupnya, karena tekanan persaingan yang meningkat di pasar ini, produsen perlu meninjau kembali strategi pemasaran mereka.Â
Pasar air minum dalam kemasan saat ini memiliki beragam produk dengan karakteristik dan harga yang berbeda-beda, namun tidak diketahui bagaimana karakteristik tersebut mempengaruhi harga eceran air minum dalam kemasan.Â
Selama beberapa dekade terakhir, konsumsi global air kemasan telah meningkat secara konsisten bahkan di negara-negara di mana air keran sebagian besar tersedia dan dianggap memiliki kualitas yang sangat baik.
Peningkatan ini sebagian besar terkait dengan perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian di Negara Italia (Carlucci et al., 2016) yang telah menyelidiki perilaku konsumen untuk mengidentifikasi alasan utama mengapa orang memutuskan untuk membeli air minum kemasan yang lebih mahal daripada air sumur.Â
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi air minum dalam kemasan sebagian besar didorong oleh ketidakpuasan konsumen terhadap kualitas organoleptik air keran (terutama rasa), diikuti oleh masalah kesehatan.
Meskipun masalah keselamatan dan peningkatan kesehatan kadang-kadang dianggap setara, kedua faktor tersebut bertindak secara berbeda.Â
Dalam konteks di mana ada ketidakpercayaan pada pemasok air keran (misalnya informasi mengenai masalah saat ini atau sebelumnya dengan air keran), persepsi risiko dan masalah keamanan lebih menonjol dalam mendorong konsumsi air minum kemasan.
Dalam kasus lain, konsumen mungkin lebih memilih air minum kemasan hanya karena dianggap lebih sehat, tetapi belum tentu lebih aman, daripada air ledeng (keran atau sumur).Â
Kebutuhan akan kenyamanan menjadi alasan penting lainnya dalam memilih air minum dalam kemasan terutama untuk konsumsi di luar rumah.Â
Saat ini, sebotol air dapat dibeli hampir di mana-mana, setelah selesai diminum, mudah dibuang ke tempat sampah, sehingga tidak perlu membawa wadah besar sepanjang hari.
Studi (Etale et al., 2018) memberikan bukti bahwa faktor psikologis sangat mempengaruhi masyarakat dalam mengkonsumsi air.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor pengaruh norma, dan citra yang terkait dengan jenis air tertentu dapat menjadi faktor pilihan yang signifikan.
Sehingga orang lebih cenderung mengkonsumsi air keran jika mereka memiliki perasaan positif tentang hal itu, penggambaran positif seperti yang digunakan dalam industri air minum dalam kemasan dapat menghasilkan pengaruh yang lebih positif dan menghasilkan konsumsi air keran yang lebih tinggi.Â
Pengaruh positif juga dapat dihasilkan dengan menggunakan model peran untuk mempromosikan air keran (PDAM) atau dengan kampanye yang menyoroti aspek positifnya, misalnya keramahan lingkungan, dan fakta bahwa air tersebut dikenai standar kualitas yang lebih ketat daripada air kemasan.
Mungkin juga ada ruang untuk mengubah perilaku dengan mengubah norma. Ini membutuhkan identifikasi terlebih dahulu asal usul norma.Â
Norma yang didasarkan hanya pada kebiasaan misalnya minum air kemasan saat bepergian, dapat dibalikkan dengan memberi sinyal perilaku yang diinginkan.Â
Misalnya, menandakan bahwa perilaku 'khas' mahasiswa yang diinginkan harus 'berkelanjutan' menyebabkan lebih banyak mahasiswa memilih untuk mengkonsumsi air keran (PDAM) dan mendukung pelarangan air minum kemasan di kampus ( Santos & van der Linden, 2016).Â
Pendekatan ini sangat efektif di lembaga dan organisasi di mana inisiatif seperti menyediakan botol yang dapat digunakan kembali dapat memberikan sinyal untuk konsumsi yang dapat diterima dan mendorong kesesuaian sosial.Â
Dengan demikian, pensinyalan norma institusional dapat menjadi kendaraan untuk mengubah norma-norma sosial yang mapan.Â
Namun hal di atas masih belum bisa diterapkan di Indonesia, karena persepsi masyarakat indonesia tentang air keran (PDAM) masih belum layak minum.
Meskipun kepedulian lingkungan bukanlah prediktor konsumsi yang signifikan secara statistik, hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa, bagi sebagian orang memiliki hubungan antara pilihan konsumsi dan masalah lingkungan.Â
Orang Swiss, yang mengonsumsi lebih sedikit air kemasan, menunjukkan kepedulian yang lebih besar terhadap dampak lingkungan dari air kemasan.Â
Ini berarti bahwa pendekatan yang ada untuk membatasi konsumsi air minum dalam kemasan tidak sepenuhnya salah arah sehingga strategi baru tidak perlu mengabaikan aspek ini sepenuhnya.Â
Namun demikian, Saylor et al. (2011) menemukan bahwa beberapa orang percaya daur ulang menghilangkan dampak lingkungan negatif dari air kemasan.Â
Jadi, pesan berbasis lingkungan tidak efektif karena informasi yang salah di antara konsumen. Mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan informasi tersebut dapat meningkatkan efektivitas kampanye.Â
Memberikan informasi tentang dampak lingkungan pada air kemasan pada label mungkin merupakan cara lain untuk memperbaiki kesalahan informasi tersebut ( Parag & Roberts, 2009).
Hal yang lebih penting adalah bagaimana informasi seputar dampak lingkungan dari air kemasan dikomunikasikan. Cialdini (2003) menunjukkan bahwa memobilisasi tindakan melawan suatu masalah dengan menggambarkannya sebagai hal yang sering disayangkan tidak efektif.Â
Hal ini karena membuat perilaku yang tidak diinginkan tampak menjadi norma dan karena orang lebih cenderung bertindak dengan cara yang sesuai dengan norma, hasil yang diinginkan tidak tercapai. Strategi komunikasi yang efektif sebaiknya menggunakan pesan yang menyiratkan bahwa setiap orang melakukan tindakan yang diinginkan.Â
Misalnya, alih-alih menyoroti tingginya konsumsi air kemasan, pesan yang efektif akan menyarankan 'kebanyakan orang sekarang minum air keran karena mereka menyadari dampak negatif air kemasan terhadap lingkungan'. Lebih khusus lagi, informasi harus dirancang untuk populasi target tertentu, misalnya berdasarkan usia atau jenis kelamin ( Bator & Cialdini, 2000 ).Â
Pesan harus spesifik tentang bagaimana perubahan perilaku dapat dilakukan, meninggalkan informasi yang mengganggu ( Pratkanis & Greenwald, 1993 ).Â
Oleh karena itu, ada kasus untuk mempertahankan beberapa fokus pada pengaktifan kesadaran lingkungan, tetapi penelitian diatas berpendapat bahwa strategi yang menggabungkan faktor psikologis memiliki dampak yang lebih besar.
Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) adalah air olahan tanpa bahan makanan dan bahan tambahan lainnya, dikemas dan dapat diminum (Kemenperin).Â
Hasil penelitian badan penelitian dan pengembangan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa tujuh dari sepuluh rumah tangga Indonesia mengkonsumsi air minum yang terkontaminasi e-coli.
Survei tahun 2020 menunjukkan bahwa 31 persen rumah tangga Indonesia menggunakan air isi ulang dan 15,9 persen menggunakan sumur gali serta 11 persen di antaranya adalah sumur gali.Â
Menurut Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat, saat ini terdapat 700 perusahaan AMDK di seluruh Indonesia yang menjadi anggota Aspadin dan 85 persen adalah industri kecil dan menengah (IKM).Â
Kemenperin telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air Mineral, Air Demineral, Air Mineral Alami, dan Air Minum Embun secara Wajib.Â
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim memastikan produk AMDK yang beredar di pasar dalam negeri saat ini sudah memenuhi SNI 3553:2015, SNI 6241:2015, SNI 6242:2015, dan SNI 7812:2013.Â
Pengawasan BPOM terhadap AMDK meliputi aspek standardisasi produk dan standardisasi proses produksi. Setelah produk beredar, BPOM melakukan pengawasan post-market yang terdiri dari pemeriksaan sarana produksi, pengawasan di peredaran yang meliputi pemeriksaan sarana distribusi/ritel, sampling, dan pengujian.Â
Di Indonesia saat ini terdapat empat jenis industri AMDK yang diakui yaitu air mineral alami, air mineral, air demineral, dan air minum embun yang standarnya telah diatur melalui SNI.Â
Badan POM mencatat ada 7.780 produk AMDK yang terdaftar yang diproduksi oleh 1.032 perusahan di seluruh Indonesia. Sebanyak 99,5 persen merupakan produk dalam negeri dengan jenis AMDK terbanyak adalah air mineral yaitu 6.092 produk atau 78,30 persen. Terakhir adalah air minum embun dengan 3 produk atau 0,04 persen serta jenis AMDK air minum pH tinggi sebanyak 148 produk (1,90 persen).
Apa yang harus kita lakukan:
1) Pemerintah diharapkan selalu melakukan pengawasan terhadap setiap produk AMDK yang beredar di masyarakat dengan tujuan melindungi masyarakat/kepentingan publik sekaligus mendorong daya saing produk.Â
Begitu pula pengawasan terhadap kualitas air sebagai bahan baku produksi, dan pengawasan terhadap produk pangan berbasis air, termasuk AMDK.
2) Standardisasi mutu AMDK harus ditingkatkan
3) Standardisasi dilakukan oleh komite teknis yang terdiri dari berbagai stakeholder, antara lain, pemerintah, akademisi atau ahli di bidang keamanan pangan, masyarakat, dan produsen.Â
Selain itu, dalam penyusunan SNI wajib untuk produk AMDK, juga menggunakan beberapa referensi standar internasional dari Codex Alimentarius Committee, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan aturan lain yang umum digunakan dalam penyusunan standar keamanan pangan di berbagai negara.Â
Bahkan, untuk memastikan kualitas produk AMDK, dilakukan pengawasan dan pengujian secara berkala terhadap air baku, proses produksi dan produk yang beredar sesuai Peratuan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakuan Standardisasi Industri secara Wajib.
4) Pemerintah memperbaiki kualitas PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) agar air hasil pengolaan tersebut dapat digunakan untuk minum / tidak berdampak jika meminumnya sehingga dapat dikampanyekan / dipromosikan.
5) Perusahaan AMDK menggunakan plastik yang tidak mengandung Bhispenol A (BPA), dan mengkampanyekan hemat plastik.
6) Masyarakat lebih disarankan menggunakan tempat air minum (tumbler) sendiri, dan melakukan isi ulang air di rumah serta mengurangi pembelian AMDK untuk mengurangi limbah plastik dan menjaga kesehatan. Â
Sumber :
Bator, R. Cialdini Application of persuasion theory to the development of effective proenvironmental public service announcements
Journal of Social Issues, 56 (2000), pp. 527-541
Carlucci, D., de Gennaro, B., & Roselli, L. (2016). What is the value of bottled water? Empirical evidence from the Italian retail market. Water Resources and Economics, 15, 57--66. https://doi.org/10.1016/J.WRE.2016.07.001
Etale, A., Jobin, M., & Siegrist, M. (2018). Tap versus bottled water consumption: The influence of social norms, affect and image on consumer choice. Appetite, 121, 138--146. https://doi.org/10.1016/J.APPET.2017.11.090
Parag Y. , J.T. Roberts A battle against the Bottles: Building, claiming, and regaining tap-water trustworthiness Society & Natural Resources, 22 (2009), pp. 625-636 http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08941920802017248
Saylor A., L.S. Prokopy, S. Amberg. What's wrong with the tap? Examining perceptions of tap water and bottled water at Purdue University. Environmental Management, 48 (2011), pp. 588-601
www. Indonesia.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H