Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengungkap "Negara Perak" yang Dicatat Ilmuwan Yunani di Abad Pertama

25 September 2024   22:28 Diperbarui: 26 September 2024   19:08 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar foto: dokumen pribadi. (Erri Subakti)

"Negara Perak" tercatat dalam buku Geographia yang ditulis oleh Claudius Ptolemaeus pada tahun 150 Masehi.

Claudius Ptolemaeus (selanjutnya ditulis Claudius saja) adalah adalah seorang ahli geografi, astronom, dan astrolog yang hidup tahun 96-168 M di Aegyptus (Mesir), yang saat itu bagian dari kekuasaan Romawi.

Pada tahun 150 M, Claudius merilis sebuah buku Gegographia yang membeberkan "peta dunia" saat itu.

Uniknya Claudius mencantumkan adanya Kota Argyre yang merupakan ibukota dari sebuah Pulau Iabadiou. Argyre dalam bahasa Yunani berarti "Negeri Perak". Sedangkan Iabadiu adalah sebuah Pulau yang kita kenal sekarang dengan Pulau Jawa.

Penelitian yang mengungkap letak Argyre telah dilakukan oleh banyak ilmuwan di masa lampau.

Salah satunya yang saya baca hari ini adalah dari hasil penelitian Colonel G.E. Gerini, M.R.A.S yang berjudul Researches on Ptolemy Geography of Eastern Asia, yang diterbitkan di London, 1910.

Gerini menyebutkan:

"The meaning conveyed by the term Argyra is that of Silver Country; and in order to mark it, the more distinctly Ptolemy takes care to add that 'there are said to be very many silver mines.'"

Makna yang terkandung dalam istilah Argyra adalah Negeri Perak; dan untuk menandainya, Ptolemy dengan lebih jelas menambahkan bahwa 'dikatakan ada sangat banyak tambang perak.'

Sementara kata Iabadiu, dituliskan oleh Claudius sebagai berikut:

"It is said to be extraordinary fertility, and to produce very much gold, and to have it's capital call Argyre, in the extreme west of it."

Konon kesuburannya luar biasa, dan menghasilkan banyak emas, dan mempunyai ibu kota bernama Argyre, di ujung paling baratnya.

Menurut Gerini, kebanyakan penjelasan Claudius menunjukkan pulau yang dimaksudnya Iabadiu adalah Jawa.

Gerini menulis bahwa Iaba-diu = Yava Dipa. Yang berarti Jawa Dwipa, berasal dari bahasa Sansekerta untuk menyebut daerah yang dimaksud oleh Claudius. (hal. 459)

Dengan demikian fakta-fakta yang juga telah diteliti banyak peneliti, adalah:

Pada tahun 150 M di Pulau Jawa, tepatnya di ujung Barat Pulau Jawa, merujuk pada penjelasan lokasi yang disebutkan oleh Claudius Ptolemaeus, sudah ada sebuah negeri (negara/kerajaan) yang tentu saja pasti kaya. Karena hasil produksi dalam negerinya adalah perak.

Hasil produksi dalam negerinya sudah tidak saja hanya komoditas pertanian, tapi sudah barang-barang dari logam, perkakas, perhiasan, hingga bukan tak mungkin koin mata uang, sebagai alat tukar perdagangan.

Dari sini maka sebutan "kerajaan pertama/tertua di Nusantara adalah Kutai" adalah sangat keliru. Karena prasasti Yupa yang menunjukan adanya sebuah kerajaan di Kalimantan, tertuliskan tahun 350-400 Masehi. Itu ratusan tahun setelah kejayaan "Negeri Perak" di ujung Barat Pulau Jawa.

Claudius tidak asal ngarang menyebutkan bahwa nama negeri yang dimaksud sebagai negeri perak sebab kerajaan itu pun memang menamakannya sebagai Salakanagara.

Salaka-negara, dalam bahasa Sansekerta artinya Negara Perak.

Sejarah Nusantara perlu diperbaiki bahwa kerajaan tertua (pertama) dan kaya di Nusantara ini adalah Salakanagara.

Beberapa bukti peninggalan sebuah negeri yang memiliki sistem sosial budaya aturan hukum dan agama adalah ditemukannya berbagai arca bercorak Hindu, yakni Arca Ganesha dan Arca Siwa yang berasal dari Gunung Raksa di Pulau Panaitan, yang terletak di Barat Pulau Jawa (Selat Sunda).

Beberapa literatur menyebutkan lokasi persis ibukotanya (Argyre) ada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Namun juga ada yang menyebut di Condet, Jakarta. Wilayah Jakarta termasuk jadi salah satu perkiraan ibukota negeri perak, merujuk dari prasasti Tugu warisan Kerajaan Tarumanegara, sebagai penerus Salaka-negara.

Selain itu dari daerah Condet yang memang secara lokasi merupakan wilayah yang jika lurus terus ke selatan, baik dari Jalan Raya Bogor saat ini atau ke arah Kalibata Pasar Minggu, akan mengarah ke Bogor.

Dari situ jika pagi hari, terlebih pada masa itu (abad pertama Masehi), pemandangan Gunung Salak akan terbias sinar matahari pagi yang memancarkan sinar keperakan.

Itulah juga mengapa gunung di wilayah Bogor dinamakan Gunung Salak (gunung perak).

Namun sayangnya memang jejak situs Salakanagara sudah nyaris tidak bisa ditemukan lagi.

Tapi paling tidak dari jejak literatur dan penelitian para ilmuwan, terutama Claudius Ptolemaeus, di abad pertama Masehi, telah tercatat di wilayah Nusantara ini ada sebuah negara yang tak lagi hanya mengandalkan ekonominya dari sektor pertanian saja melainkan juga dari sektor industri hilirisasi produk-produk berbahan perak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun