Berawal dari Tim Transisi yang dibentuk pada September 2014 lalu, salah satu Pokja dalam Tim Transisi tersebut adalah Pokja Papua. Pokja Papua yang dipimpin oleh Rini M. Soemarno saat itu salah satunya merekomendasikan pembangunan pasar terintegrasi di Papua. Pasar Tradisional Terintegrasi terdiri dari fasilitas-fasilitas seperti Rumah Anak Harapan, Rumah Keluarga Sehat, dan Rumah Koperasi.
Pokja Papua sendiri dalam hal ini jelas koridor kerjanya bahwa mereka tidak menggantikan tugas pemerintah. Pembangunan fisik pasar, infrastrukturnya, dan program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat lokal, jelas harus dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, sesuai dengan bidang kewenangannya masing-masing. Pokja Papua di sini hanya melakukan ‘pengawalan’ agar semua pekerjaan bisa dilakukan dengan baik dan tepat waktu, serta selalu melibatkan masyarakat asli Papua.
Untuk Pasar Pharaa di Sentani, kepala Dinas Perindagkop & UMKM Kabupaten Jayapura telah memiliki agenda kerja yang jelas dalam pembangunan pasar Pharaa ini. Dari mulai proses lelang tender, maupun pembangunan fisik, infrastruktur pasar dan program pembinaan desa-desa sekitarnya, yang juga akan melibatkan program CSR atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dari BUMN.
[caption id="attachment_409124" align="aligncenter" width="560" caption="Design arsitektur by Hadiprana. dok. pokja papua"][/caption]
[caption id="attachment_409125" align="aligncenter" width="540" caption="Arsitektur by Hadiprana. dok. Pokja Papua"]
[caption id="attachment_409126" align="aligncenter" width="540" caption="Perspektif by Hadiprana. dok. Poka Papua"]
[caption id="attachment_409128" align="aligncenter" width="420" caption="Site plan by Bina Karya. dok. Pokja Papua"]
Denah Pasar Pharaa yang akan dibangun di areal seluas 45.000m² di Sentani. Bangunan-bangunan pasar berbentuk menyerupai sinar matahari. Sebagai simbol matahari terbit dari timur.
[caption id="attachment_409134" align="aligncenter" width="480" caption="Design by Bina Karya"]
Sementara untuk di Pasar Mama-mama Kabupaten Jayapura, semua dokumen rancangan arsitekturnya, detail engineering design, Rancangan Anggaran Biaya, dan lain sebagainya sudah ada di tangan Kepala Dinas PU Provinsi Papua.
Awalnya Pemerintah Daerah Provinsi memang telah merencanakan pembangunan pasar tersebut bahkan desain arsitektur dan maketnya sudah jadi. Namun pembangunan pasar tersebut dijadwalkan selesai sampai 3 tahun. Padahal Bapak Presiden Jokowi telah mengatakan akhir tahun 2015 ini Pasar Mama-mama harus sudah selesai.
Mulanya rencana anggaran biaya pembangunan Pasar Mama-mama mencapai Rp 189 miliar, namun karena Pokja Papua bersama relawan-relawan arsitek/insinyur melakukan redesign, ternyata bisa menghemat biaya sebesar Rp 158 miliar, menjadi Rp 31 miliar (yang sebelumnya Rp 189 miliar).
[caption id="attachment_409138" align="aligncenter" width="490" caption="Design by Hadiprana"]
[caption id="attachment_409137" align="aligncenter" width="489" caption="design by Hadiprana"]
[caption id="attachment_409139" align="aligncenter" width="489" caption="Perspektif by Hadiprana"]
Ketua Pokja Papua, Judith Dipodiputro menekankan bahwa persoalan Papua itu bukan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan grand design, konsep yang besar-besar namun implementasinya tidak langsung berpengaruh pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Saat ini saja orang asli Papua sudah menjadi minoritas di antara para pendatang. Dari 3.091.047 (data BPS) populasi penduduk Papua, orang asli Papua diketahui hanya 1 jutaan, dibanding para pendatang yang mencapai jumlah 2 juta orang.
"Buat saya konsep keadilan adalah jika seorang ibu memiliki anak 5, dan mempunyai satu kue maka kue tersebut dipotong menjadi 5 bagian," ujarnya. Begitu pula dengan pembangunan pasar. Maka pasar tersebut harus bisa untuk diberikan sama peruntukannya bagi masyarakat suku-suku asli Papua. Karena saat ini di Pasar Pharaa Sentani misalnya, diketahui bahwa hanya 38% saja mama-mama asli Papua yang berdagang di pasar, sementara 62% lainnya adalah para pendatang.
Bahkan dari segi permodalan pun terdapat ketimpangan antara para pendatang dengan mama-mama asli Papua. Suku-suku pendatang berdagang dengan modal awal berkisaran antara Rp 8.000.000 (delapan juta rupiah) sampai Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) per kios; sementara Mama-mama berdagang
dengan modal awal berkisar Rp 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) sampai Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) per orang.
Diketahui bahwa dari sekitar 300-an pedagang suku asli, hanya 19 orang yang sudah memanfaatkan Bank, sedangkan lebih dari 50% suku pendatang yang berjumlah 900-an telah menggunakan bank sebagai sumber permodalannya.
[caption id="attachment_409141" align="aligncenter" width="508" caption="dok. pribadi"]
Meski pembangunan fisik pasar baru dimulai dengan pemancangan dan fondasi tapi program pemberdayaan masyarakatnya telah berjalan sejak Februari 2015 lalu, yaitu Rumah Anak Harapan (tempat anak-anak belajar sambil bermain) dan Rumah Keluarga Sehat (tempat pelayanan kesehatan). Kedua program tersebut saat ini berjalan belum didanai oleh pihak pemerintah, melainkan hanya dari bantuan sektor privat yang bekerja sama dengan Universitas Cendrawasih, di bawah Pusat Studi Kawasan Perdesaan.
[caption id="attachment_409142" align="aligncenter" width="454" caption="Rumah Anak Harapan Pasar Pharaa. dok. Pokja Papua"]
[caption id="attachment_409144" align="aligncenter" width="463" caption="Rumah Anak Harapan. dok Pokja Papua"]
[caption id="attachment_409148" align="aligncenter" width="480" caption="Rumah Keluarga Sehat. dok pribadi"]
[caption id="attachment_409150" align="aligncenter" width="480" caption="Rumah Keluarga Sehat. dok pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H