Bahwa 'kebenaran' tentang burung garuda itu real dan diyakini ada, kebenaran itu berada pada domain 'social constructionism' alias konstruksi sosial (salah satu advocate aliran filosofi ini misalnya Kenneth Gergen).Â
Artinya secara ilmiah, posisi kebenaran tentang Garuda sama posisinya dengan 'kebenaran' lain yang kita yakini 'ada ' dalam ranah konstruksi sosial... misalnya tentang 'surga dan neraka'.. kita yakini itu ada, tapi syarat 'brute fact' objectivisme/rationalist empiricistnya 'tidak terpenuhi'. Lantas apakah kita kemudian meragukan kebenaran surga dan neraka?Â
Tidak, karena itu ada dalam domain kebenaran yang berbeda dengan kebenaran bahwa senyawa H2O itu ada dalam wujud 'brute fact' yang kita sebut 'air'; bisa diminum, bisa diraba, bisa dilihat, bisa dirasakan, bisa dicium. Artinya, eksistensi kebenaran pada domain 'social constructionism' ini tidak harus sama dan tidak harus dibuktikan secara aliran ontologis objectivisme dgn episteme rationalist empiristnya,.. mereka berbeda 'mashab'.
Point dialog diskursus yang ingin saya kedepankan adalah, bahwa negara ini dibangun oleh para founding father dengan filosofi rationalist empirist, to some extent, ya ada benarnya,.. tetapi tidak mutlak dan bukan satu satunya landasan berfikir filosofis yang dipakai mereka. Bukti bahwa mereka sepakat menggunakan lambang burung garuda sebagai lambang negara, demokrasi sebagai tatacara bernegara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara; semua hal ini secara filsafat rootnya ada pada domain 'subjectivisme' Social Constuctionism dan symbolic interactionism, yang realitas dan pengetahuannya merupakan hasil ko-konstruksi sosial. Artinya lagi bahwa, sungguh ada ruang yang begitu luas yang dibuka oleh para founding father terhadap penghargaan nilai nilai tradisi dan kearifan lokal yang diyakini sebagai landasan nilai dan falsafah hidup bersama dalam konteks konstruksi sosial yang terus berevolusi.
Ketika hari ini hal yang sama dilakukan oleh Presiden Jokowi lewat prosesi "Kendi Nusantara", justru ini menguatkan dan meneruskan landasan dan cara berfikir para founding fathers kita tentang nilai nilai simbolik yang memiliki makna di alam realitas konstruksi sosial yang dinamis, terus berevolusi dalam siklus yang saya sebut sebagai "co-construction, co-deconstruction, co-reconstruction" Â (Bawulang, 2017) alias dibangun bersama, dibongkar bersama, dan dibangun kembali secara bersama sama. Â
Tentu saja, siapapun bisa berpendapat sesuai dengan perspektif dan sudut pandang masing masing. Kesimpulan pun bisa berbeda beda,.. asalkan sebagai sebuah bangsa yang berkomitment untuk tetap bersatu, perbedaan itu dikelola dan tetap dalam koridor konstruktif. Perbedaan perbedaan ini justru semakin membuktikan apa yang disebut oleh para founding fathers kita tentang bangsa yang besar ini,.. "Berbeda beda tetapi satu".
Lantas, apakah prosesi "Kendi Nusantara" menjadikan bangsa kita yang megah dan modern ini menjadi primitive? Ahhh,... ini sih menurut saya terlalu berlebihan atau seperti kata raja dangdut bang haji Rhoma Irama, "Sungguh terlaaaluuuuu".
Yuuuk sruput lagi kopinya keburu dingin,...
................................................................................
Catatan Ngopi di Pojok Dharmajaya Pejaten,
14 Maret 2022,
Â