PROSESI KENDI NUSANTARA: NEGARA KITA PRIMITIF?
Ada yang menarik perhatian publik hari ini saat pencanangan pembangunan Ibu Kota Negara baru yang bernama Nusantara itu dimulai. Momentum pencanangan dimulainya pembangunan IKN ini diawali dengan sebuah prosesi dimana tanah dan air dari 34 propinsi disatukan dalam sebuah wadah yang disebut "Kendi Nusantara' sebagai symbol Kebhinekaan dan persatuan Indonesia.
Namun seperti biasa tanggapan publik sangat beragam tentang hal ini. Saya tergelitik mengomentari dan melakukan 'dialog' ontologis dengan pihak pihak yang menuduh bahwa ini adalah symbol bahwa negara kita ini dikelola secara primitive. Pagi  salah satu teman yang adalah seorang Guru Besar di salah satu Universitas Negeri ternama di Indonesia dilaman Facebook nya menulis begini,
"FOUNDING FATHERS MENDIRIKAN NEGARA INDONESIA SEBAGAI NEGARA MODERN, BUKAN NEGARA PRIMITIF. LA KOK SEKARANG DIKELOLA SECARA PRIMITIF. INI BAGAIMANA.
Negara Indonesia ini didirikan sbg negara modern, bukan negara primitif. Negara Indonesia modern ini didirikan berdasarkan pemikiran2 alam modern, bukan berdasarkan alam pikir mitologi (dongeng2 dan takhayul2). Dan keyakinan monoteisme (Ketuhanan YME). Silakan baca dasar pemikiran tsb dlm RISALAH RAPAT SIDANG BPUPKI DAN PPKI terbitan Setneg.
Modern itu apa sih maksudnya. Modern itu pola pikir berdasarkan pemikiran enlightenment abad ke 17-18. Intinya berdasarkan filsafat rasionalisme dan empirisme yg kemudian melahirkan sains, teknologi, hukum positif, dan sistem pemerintahan demokrasi sebagaimana kita saksikan hari ini.
La kok sekarang dikelola berdasarkan mitologi. Membangun IKN pakai ritual2 primitif. Itu kan alam pikir suku2 primitif di hutan2 pedalaman.
Protokoler negara modern Indonesia dg cara primitif itu saya kira bikin gerah dan tidak nyaman founding fathers di alam kubur" (Kutipan Verbatim/ asli).
Saya senyum dan tergelitik untuk mengomentari postingan sang Guru besar ini dengan mengajak beliau untuk berdialog pada level ontologis dan epistemologis tentang 'tuduhan primitif ini'. Sebegitu primitive kah bangsa atau pengelola bangsa ini?
Jika saya mencoba memahami dan mencoba berprasangka baik tentang apa yang dilakukan Presiden Jokowi dan jajaran Pemerintahannya dengan prosesi "Kendi Nusantara" ini adalah sebuah sebuah pengakuan dan penghormatan terhadap kearifan dan tradisi lokal yang diaktualisasikan dalam aksi tradisi simbolik.
Saya memahami bahwa bagi mereka yang menitikberatkan pandangannya dari perspektif religisiutas hal ini mungkin bisa dipandang tak sejalan, ini perilaku primitive nan klenik! Begitu kira kira kesimpulan mereka. Saya bisa memahami ini. Namun perhatian saya kemudian tertuju pada bagian argumentasi yang mengatasnamakan landasan filsafat yang disebutnya sebagai rasionalisme dan empirisme.Â
Tentang hal ini, saya tertarik untuk berdialog lebih dalam. Mengapa? Â Saya melihat ada kesalahan logis (logical fallacy) dalam konstruksi berfikir sahabat dan senior saya ini. Setidaknya ada dua hal yang perlu saya sanggah dan dialogkan dengan beliau.
Yang pertama, harus saya luruskan dulu bahwa rasionalisme dan empirisisme meski berdekatan namun bukanlah hal yang sama persis. Bahkan bagi teman teman yang kiblat sekolah filsafatnya mengarah ke padepokan Standford University kedua epistemology ini cenderung dipertentangkan. Karena aliran rasionalisme dengan para dedengkotnya seperti Descartes menganggap bahwa pengetahuan bersumber dari proses berfikir yang rasional dan logis (rational logic).Â
Menurut kubu Rasionalist, segala sesuatu memiliki landasan logis, realitas memiliki landasan logic, dan hanya pengetahuan logic lah yang benar. Sedangkan Kubu Emprisisme dengan dedengkot seperti Francis Bacon, John Locke, dan David Hume, menganggap bahwa pengetahuan bukan berawal dari proses berfikir tapi dari pengalaman real yang dialami oleh panca indera.Â
Pengetahuan, menurut kubu padepokan ,ini sejatinya harus bersumber dari bukti bukti 'brute fact' yang bisa di-indera. Jadi Rasionalisme mengandalkan pendekatan deduktif, sementara empirisisme mengandalkan pendekatan induktif. Artinya, menyandingkan keduanya dalam satu kubu dan ruang untuk memahami satu realitas jelas keliru. Kelirunya tidak tanggung tanggung, alias fatal karena kelirunya ada pada level filosofis epistemologis. Bahkan ini bisa dikatakan oxymoron dan self-conflicting. Oke? Seruput dulu kopi pahitnya,....
Sekarang kita lanjut ya. Yang kedua, jika memang apa yang dipahami teman sang guru besar ini sebagai filsafat rasionalisme sama seperti yang saya pahami bahwa dimensi logic/reason adalah sumber ultimate dari pengetahuan dan bahwa ada prasarat dan proses deduksi logic yang harus dipenuhi; dan bahwa empirisme adalah cabang filsafat yang mengandalkan pengalaman sensorik sebagai sumber pengetahuan yang mensyaratkan tersedianya fakta 'brute fact' sebagai bukti pengetahuan, maka jelas klaim Tata Negara berdasarkan kedua aliran filsafat ini menjadi sangat keliru.Â
Barangkali sahabat saya lupa banyak hal dalam kehidupan bernegara maupun tatakelola pemerintahan tidak berada pada domain filsafat rasionalisme ataupun empirisme. Kita ambil contoh misalnya tentang praktek tata kelola negara yang berlandaskan Demokrasi.Â
Apa filsafat yang melandasi demokrasi adalah aktualisasi dari rasionalisme atau empiricisme? Jelas bukan, karena sejatinya landasan filsafatnya berada pada domain epistemologis  subjectivisme social constructionist yang root epistemologinya  berada seberang yakni objectivisme positivism (baca misalnya buku Harold Kincaid atau yang lebih sederhana baca buku Michael Crotty keduanya bicara landasan filosofi memahami pengetahuan) Â
Contoh lain, lambang Negara kita 'Burung Garuda' pun konon kabarnya berawal dari sebuah kisah filosofis tentang Wisnu Kencana yang dipercaya/dikisahkan sebagai wahana (Kendaraan) Dewa Wisnu.Â
Belum ada bukti 'empirik' bahwa ada makhluk hidup berkepala burung dan bertubuh mirip manusia seperti yang dikisahkan dalam Garuda Wisnu Kencana yang ditemukan para ahli dari aliran scientist empiricist sampai hari ini.Â
Bahwa ada artefact artefact sejarah tentang prasasti burung Garuda (bukan fosil seperti dinosaurus atau makhluk purba lain, i.e. empiricistme) itu adalah bukti bahwa burung Garuda itu ada dalam alam realitas subjectivisme social constructionism dan bukan 'brute fact' sebagaimana layaknya persyaratan sebuah 'reality' dan 'kebenaran' dalam aliran ontologist objectivisme.
Bahwa 'kebenaran' tentang burung garuda itu real dan diyakini ada, kebenaran itu berada pada domain 'social constructionism' alias konstruksi sosial (salah satu advocate aliran filosofi ini misalnya Kenneth Gergen).Â
Artinya secara ilmiah, posisi kebenaran tentang Garuda sama posisinya dengan 'kebenaran' lain yang kita yakini 'ada ' dalam ranah konstruksi sosial... misalnya tentang 'surga dan neraka'.. kita yakini itu ada, tapi syarat 'brute fact' objectivisme/rationalist empiricistnya 'tidak terpenuhi'. Lantas apakah kita kemudian meragukan kebenaran surga dan neraka?Â
Tidak, karena itu ada dalam domain kebenaran yang berbeda dengan kebenaran bahwa senyawa H2O itu ada dalam wujud 'brute fact' yang kita sebut 'air'; bisa diminum, bisa diraba, bisa dilihat, bisa dirasakan, bisa dicium. Artinya, eksistensi kebenaran pada domain 'social constructionism' ini tidak harus sama dan tidak harus dibuktikan secara aliran ontologis objectivisme dgn episteme rationalist empiristnya,.. mereka berbeda 'mashab'.
Point dialog diskursus yang ingin saya kedepankan adalah, bahwa negara ini dibangun oleh para founding father dengan filosofi rationalist empirist, to some extent, ya ada benarnya,.. tetapi tidak mutlak dan bukan satu satunya landasan berfikir filosofis yang dipakai mereka. Bukti bahwa mereka sepakat menggunakan lambang burung garuda sebagai lambang negara, demokrasi sebagai tatacara bernegara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara; semua hal ini secara filsafat rootnya ada pada domain 'subjectivisme' Social Constuctionism dan symbolic interactionism, yang realitas dan pengetahuannya merupakan hasil ko-konstruksi sosial. Artinya lagi bahwa, sungguh ada ruang yang begitu luas yang dibuka oleh para founding father terhadap penghargaan nilai nilai tradisi dan kearifan lokal yang diyakini sebagai landasan nilai dan falsafah hidup bersama dalam konteks konstruksi sosial yang terus berevolusi.
Ketika hari ini hal yang sama dilakukan oleh Presiden Jokowi lewat prosesi "Kendi Nusantara", justru ini menguatkan dan meneruskan landasan dan cara berfikir para founding fathers kita tentang nilai nilai simbolik yang memiliki makna di alam realitas konstruksi sosial yang dinamis, terus berevolusi dalam siklus yang saya sebut sebagai "co-construction, co-deconstruction, co-reconstruction" Â (Bawulang, 2017) alias dibangun bersama, dibongkar bersama, dan dibangun kembali secara bersama sama. Â
Tentu saja, siapapun bisa berpendapat sesuai dengan perspektif dan sudut pandang masing masing. Kesimpulan pun bisa berbeda beda,.. asalkan sebagai sebuah bangsa yang berkomitment untuk tetap bersatu, perbedaan itu dikelola dan tetap dalam koridor konstruktif. Perbedaan perbedaan ini justru semakin membuktikan apa yang disebut oleh para founding fathers kita tentang bangsa yang besar ini,.. "Berbeda beda tetapi satu".
Lantas, apakah prosesi "Kendi Nusantara" menjadikan bangsa kita yang megah dan modern ini menjadi primitive? Ahhh,... ini sih menurut saya terlalu berlebihan atau seperti kata raja dangdut bang haji Rhoma Irama, "Sungguh terlaaaluuuuu".
Yuuuk sruput lagi kopinya keburu dingin,...
................................................................................
Catatan Ngopi di Pojok Dharmajaya Pejaten,
14 Maret 2022,
Â
TB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H