Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujian Nasional: Kita Terjajah Neoliberalisme!

4 April 2016   07:35 Diperbarui: 5 April 2016   01:40 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Surat Terbuka Untuk Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Yang Terhormat Bapak Anies Baswedan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Hari ini, Ujian Nasional kembali dilaksanakan. Saya memutuskan untuk menulis surat terbuka ini untuk bapak Menteri Pendidikan sebagai bentuk kepedulian saya terhadap pendidikan Indonesia yang sampai saat ini belum bisa merdeka dan berdaulat dari system pendidikan global dibawah kendali neo liberalisme. 

Ada tiga point yang akan saya sampaikan lewat surat ini. Yang pertama, mengapa saya sangat yakin bahwa pendidikan kita sedang di jajah Neoliberalisme. Yang  kedua mengapa saya menolak Ujian Nasional karena Ujian ini lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dan yang terakhir rekomendasi yang saya usulkan sebagai alternatif solusi untuk bapak pertimbangkan agar semakin percaya diri untuk menghentikan pelaksanaan Ujian Nasional.

Ujian Nasional dan Neoliberalisme

Ketika bicara soal Ujian Nasional mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Ujian Nasional adalah wujud sistem pendidikan yang dibawah kendali kaum kapitalis neoliberal. Ujian Nasional adalah manifestasi dan bagian dari rezim High- Stakes Testing yang diselenggarakan dengan argumen utama adalah untuk kepentingan akuntabilitas dan efisiensi.

Prinsip akuntabilitas dan efisiensi ini sebenarnya adalah karakterisitik dunia korporasi managerialist yang berorientasi profit dengan tujuan akhir adalah hitung hitungan untung rugi belanja modal dan hasil. Sederhananya, ini adalah ‘tuntutan pemilik modal’ terhadap yang ‘berhutang’ agar yakin bahwa modal yang dipinjamkan seakan akan ‘ada hasilnya’ sehingga kita masih tetap mau berhutang karena dianggap itulah jalan satu satunya untuk memajukan pendidikan. 

Itulah sebabnya mengapa performa pendidikan negara- negara di dunia diarahkan seakan akan hanya di ukur oleh ukuran global seperti PISA, TIMMS, World Education Indicators (WEI), dan test terstandar sejenisnya yang nota benenya diselenggarakan oleh lembaga kapitalis seperti OECD dan lembaga assessment global lain. Lembaga lembaga seperti OECD adalah lembaga dunia yang berorientasi finansial dan bukan lembaga pendidikan ‘murni’ (Foster, 2011). 

Itulah sebabnya banyak pakar pendidikan diberbagai negara yang berpendapat bahwa pendidikan global memang sudah di bawah kendali dan cengkeraman  neo-liberalism  (Daun, 2005; Fink & Stoll, 2005; Fullan, 2012; Spring, 2015; Wells, Carnochan, Slayton, Allen, & Vasudeva, 2005; Whitty, 2010; Joseph. Zajda, 2010; Joseph.  Zajda, Biramiah, & Gaudelli, 2008; Joseph. Zajda & Geo-Jaja, 2009; Joseph.   Zajda & Rust, 2009). Sedihnya, kita menjadi bagian korban gurita kapitalis neoliberalisme ini. 

Jika bapak kurang yakin, coba bapak lakukan “discourse analysis” dari petikan dokumen Education Strategy 2020 Bank Dunia berikut:

Getting value for education dollar requires smart investments…quality needs to be the focus of education investments, with learning gains as a key metric of quality…. By investing in system assessments, impact evaluations, and assessments of learning and skills, the Bank will help its partners countries answer the key questions that shape educational reform….by measuring educational level based on what students have learned…an increase of one standard deviation in student scores on international assessments of literacy and mathematics is associated with a 2 percent increase in annual GDP per capita growth” (World Bank, 2011, pp. 55-58).

Menurut bapak yang adalah orang cerdas, sejalan ga dengan cita cita pendidikan kita? Urusan apa Bank Dunia ngatur ngatur pendidikan di negara kita kalo bukan untuk kepentingan mereka biar kita ngutang terus karena kita menganggap mereka adalah dewa penyelamat bangsa lewat pinjaman hutang? Lembaga lembaga kapitalis neoliberalisme sedang menjajah kita dan negara negara penghutang lain namun mereka menyangkali ini dan mengedepankan peran mereka seakan akan ini untuk kemakmuran kita. Sheehan, seorang sahabat saya menulis :

The policies of the Organisation for Economic and Cooperative Development (OECD), the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), the World Trade Organization (WTO), and the General Agreement on Trade and Services (GATS) appear to operate as powerful forces, which, as supranational organizations, shape and influence education and policy, yet they also deny the access of the less privileged to the assumed advantages of an expanding global society (2008, p. vii).

Saya pun tidak perlu  harus menggurui bapak betapa cengkeraman neoliberalisme ini telah memaksa negara kita untuk menciptakan budaya performatifisme yang sangat mengedepankan sikap individualistik dan merusak fondasi budaya gotong royong dan kolektifitas bangsa kita. 

Kalo Bapak kurang yakin, nanti kita diskusi lagi soal ini, tapi untuk sementara coba lakukan lagi kajian terhadap beberapa kebijakan yang berbasis performatifity seperti Uji Kompetensi Guru dan semua Kebijakan pendidikan terkait ‘uji- menguji’ (Tentang dampak negatif ‘Performatifity’ akan saya bahas disurat lain karena bukan fokus surat ini).  Tapi intinya, Ujian Nasional ini adalah wujud dari pengingakaran jati diri budaya serta betapa tidak berdaulatnya kita terhadap sistem pendidikan kita sendiri.

Saya tidak ingin menyalahkan bapak, karena saya paham bahwa sistem ini adalah supra system yang dikendalikan oleh tangan tangan raksasa yang tidak kelihatan. Surat ini mungkin juga berguna bagi teman teman guru diseluruh pelosok nusantara untuk memahami bahwa sekuat apapun kita menolak Ujian Nasional selama kita masih berhutang pada lembaga lembaga dunia, kita tidak bisa menghilangkan Ujian Nasional dari sistem kita. 

Itulah sebabnya, orang yang se visioner pak Menteri kita hanya mampu mengkompensasikan Ujian Nasional ini dengan kebijakan “Tidak Menentukan Kelulusan” sambil mengkampanyekan “Ujian yang Jujur dan Berintegritas”. Jujur pak Menteri saya kasihan dan sedih melihat model kompensasi ini, terutama melihat sekolah sekolah  diseluruh Indonesia berlomba lomba mendapatkan predikat juara UN jujur dan berintegritas atas provokasi Pak Menteri yang pada akhirnya secara esensial juga menjadi  salah satu tambahan portfolio ‘ujian’ yang semakin mengukuhkan budaya performatifity neoliberalisme. Mari Pak Menteri, bersama kita berhentilah membodohi diri sendiri secara berjamaah.  

 Ujian Nasionalis: Untuk Apa dan Untuk Siapa?

Jika bapak Menteri masih percaya bahwa ujian nasional adalah untuk kepentingan anak anak bangsa, maka bapak keliru. Sudah terlalu banyak bukti riset yang menunjukan bahwa sistem pendidikan dengan High-Stakes Testing seperti yang kita miliki hanya memberikan efek yang buruk bagi perkembangan pendidikan anak. Anak anak mengalami depresi dan tekanan beban mental yang sangat mendalam karena ujian ujian seperti ini (Segool, Carlson, Goforth, Von Der Embse, & Barterian, 2013). 

Meskipun saat ini, Ujian Nasional ‘diperhalus’ dengan kebijakan ‘tidak menentukan kelulusan’, tapi tetap saja secara psikologis ini berpengaruh buruk karena pada intinya tidak ada manusia yang mau ‘terlihat bodoh’. Makanya dibuat ‘sehalus’ apapun, Ujian Nasional tetap akan merupakan event untuk ‘akal akalan’ agar terlihat ‘sukses’. 

Mungkin bapak paham bahwa pada tataran politik lokal, hasil capaian ujian nasional dijadikan ukuran dan gengsi keberhasilan pemimpin pemimpin daerah yang adalah politisi. Sehingga meskipun dikatakan tidak menentukan kelulusan, tetap saja ‘pressure’ terhadap sekolah dan terutama guru untuk terlihat ‘sukses’ sangat besar meskipun ini ‘invisible’. Karena ini kemudian akan jadi komiditi politik. Bagi yang dapat nilai tinggi, pemimpin pemimpin daerah akan dianggap sukses membangun bidang pendidikan.   

Nah, tidak ada pemimpin daerah yang mau dianggap gagal dalam membangun pendidikan apalagi kegagaln capaian nilai Ujian Nasional kemudian menjadi komoditas politik. Pemimpin daerah tidak akan mau diserang dan disalahkan lawan politik karena kegagalan Ujian Nasional. Sehingga persoalan Ujian Nasional tidak sesederhana ‘lulus atau tidak’ dan hanya bisa di kompensasikan dengan kebijakan “bukan penentu kelulusan”. Persoalan Ujian Nasional sangat kompleks dan multi dimensional (Bawulang, 2009). 

Dari sisi performa akademik pun model high-stakes testing seperti ujian nasional ternyata tidak memberi manfaat yang signifikan (Nichols, 2007). Dari sisi guru model high-stakes testing seperti ini pun sangat merugikan karena guru pada akhirnya hanya akan berfokus untuk mengajarkan siswanya apa yang akan diujikan. Pembelajaran jadi pragmatis dan berpusat pada pengejaran angka angka yang wajib dicapai (Au & Gourd, 2013). 

Ujian Nasional pun ‘mengkorupsi’ kewajiban guru dalam melakukan evaluasi hasil belajar anak didiknya seperti yang di amanatkan Undang Undang nomor 14 tahun 2005. Kesimpulannya model ujian high-stakes testing seperti Ujian Nasional ini memang tidak punya manfaat selain memberi kita informasi yang tanpa ujian pun sudah kita tahu bersama bahwa “kita belum memberikan dukungan yang layak untuk sekolah [termasuk guru, dan anak anak didik]  (Dianis, Jackson, & Noguera, 2015). 

Di Negara kita sendiri, studi studi tentang Ujian Nasional ini sangat banyak (di Google saja pak kalo tidak yakin) dan semua berkesimpulan sama: Ujian ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Makanya bertahun tahun kami guru guru teriak dan berontak untuk dibebaskan dari penjajahan baru neoliberalisme ini namun kami tidak didengar.

Jadi,  jika memang ujian nasional tidak memberi manfaat, pertanyaan yang harus dijawab pak Menteri dan pemerintahan Jokowi yang katanya ‘transformatif’ adalah: Untuk apa dan Untuk Siapa Ujian Nasional dipertahankan?  Sekali lagi mari bersikap cerdas, jujur dan ayo kita berhenti membodohi diri sendiri secara berjamaah.

Tawaran Solusi

Solusi terhadap polemik Ujian Nasional sebenarnya sederhana Pak. Pertama, karena secara sistemik kita masih dalam cengkeraman neoliberal dengan kata lain, kita masih ngutang dan harus memenuhi asas akuntabilitas yang diwajibkan lembaga lembaga donor dan pemberi hutang global, maka tetap saja lakukan model testing seperti Ujian Nasional tapi rubah ini menjadi voluntary atau suka rela. Artinya hanya yang mau saja ikut test. 

Biar pesertanya banyak, bikin ini seperti kontes dengan hadiah yang fantastis misalnya beasiswa ke perguruan tinggi dimana saja, didalam dan luar negeri bagi 5000 orang dengan nilai tertinggi. Negara kita sangat kaya dan sanggup untuk ini. Dari pada mengongkosi pejabat yang mau liburan ke luar negeri bersama keluarga mending boros untuk pendidikan. 

Dengan demikian secara alamiah ini akan mendorong siswa ikut ujian karena mereka benar benar menginginkannya. Tidak akan ada tekanan psikologis bagi siswa maupun guru karena sifatnya yang sukarela. Tapi bagi pengelola negara, kita tetap punya data score Ujian Nasional yang wajib kita setor ke lembaga lembaga kapitalis tempat kita ngutang. Ini apabila memang kita belum punya keberanian untuk merdeka dari penjajahan neoliberalisme.

Kedua, tetap laksanakan Ujian Nasional hanya sebagai sarat masuk perguruan tinggi saja. Kebijakan sat ini mengarah kesana tapi belum sepenuh hati. Untuk bisa sepenuh hati, Ujian Nasional ini harus, sepreti yang saya katakan tadi, SUKA RELA. Dengan kata lain, mereka yang tidak berminat kuliah tidak perlu mengikuti ujian nasional karena faktanya tidak semua anak mau dan mampu melanjutkan kuliah. 

Nah, sebagai sarat melanjutkan kuliah, model Ujian Nasional disinergikan dengan jurusan atau program studi di perguruan tinggi yang akan diikuti oleh peserta didik. Jadi ujiannya lebih spesifik dan memenuhi standard perguruan tinggi. Seluruh perguruan tinggi kita dorong untuk memiliki Standard Kompetensi Minimal Nasional untuk tiap program studi. Jadi ketika anak lulus dengan Ujian Nasional maka yang bersangkutan punya hak untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi negeri tanpa harus tes masuk lagi. 

Contoh, untuk masuk jurusan Arsitektur maka anak harus mampu mencapai Standard Kompetensi Minimal Nasional untuk jurusan arsitektur yang disusun bersama dan bersinergi dengan Pendidikan Tinggi. Hal ini akan mendorong siswa untuk benar benar belajar karena kebutuhan mereka. Bukan karena wajib lulus dan wajib pintar di semua mata pelajaran.  Siswa pun bisa mengikuti ujian kapan saja sesuai jadwal nasional misalnya dilaksanakan tiga kali atau empat kali setahun dengan cara online (atau paper based bagi daerah dengan keterbatasan akses internet).

Ketiga, kita memang tidak bisa menghilangkan ‘ujian’ dari sistem pendidikan karena seyogyanya ‘ujian’ adalah metode kita mengevaluasi capaian-capaian pembelajaran. Namun model ujian saat ini telah mendistorsi kita dari hakekat evaluasi untuk peningkatan mutu. Kita tidak sedang “mencerdaskan kehidupan bangsa”  seperti cita cita proklamasi kita. Tapi kita terjebak pada kebutuhan mendapatkan angka angka, yang seperti saya paparkan diatas, demi kepentingan akuntabilitas yang diwajibkan kaum kapitalis global. 

Maka solusi yang ketiga ini butuh keberanian pak Menteri dan Pemerintahan Jokowi: Putuskan mata rantai sistem pendidikan kita dari pengaruh dan campur tangan kaum kapitalisme dengan memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional. Sebagai gantinya mari kita ciptakan sistem evaluasi yang justru berfokus pada peningkatan nilai nilai humanistik serta higher order thinking skills. Buktikan bahwa kita memiliki kedaulatan dalam dunia pendidikan kita. 

Ciptakan sistem pendidikan yang mengedepankan nilai nilai kemanusiaan (humanistic) yang tidak saja cerdas tapi memiliki kepribadian yang tangguh. Untuk bisa menciptakan sistem yang berkualitas dan berdaulat seperti ini, langkah awalnya adalah menyiapkan guru guru seluruh Indonesia menjadi guru guru yang tahu ‘mendidik’  dengan pendekatan yang holistic dan tidak hanya tahu  ‘mengajar’ dan terpaku pada skill teknis menjalankan kurikulum seperti yang saat ini kita lakukan. 

Sistem yang holistik ini pun harus mencakup kurikullum dengan framewok yang jelas tujuan jangka panjangnya sehingga kita tidak main gonta ganti kurikulum. Tentang bagaimana menciptakan pendekatan yang holistic ini, kita perlu duduk bersama dan membangunnnya bersama sama. Kapan bapak menteri mau memulainya? Kami guru guru siap berpartisipasi. 

 

Salam hormat,

Tomy Bawulang
Guru Dari Pulau Sangihe, Beranda Utara Indonesia

Beberapa referensi yang saya catut biar tidak dianggap ngawur:

Au, W., & Gourd, K. (2013). Asinine Assessment. English Journal, 103(1), 14-19.

Bawulang, T. V. (2009). Investigating the contextual features of organisational learning in a vocational secondary school of Indonesia (Master of Education Course Work Project), Flinders, Adelaide.  

Daun, H. (2005). Globalisation and the governance of national education systems. In J. Zajda (Ed.), International handbook of globalisation and education policy research (pp. 93-107). Dordrecht: Springer.

Dianis, J., Browne. , Jackson, J., H. , & Noguera, P. (2015). High-stakes testing hasn't brought education gains. Kappan 97(1), 35-37.

Fink, D., & Stoll, L. (2005). Educational change: Easier said than done. In A. Hargreaves (Ed.), Extending educational change (pp. 17-41). New York: Springer.

Foster, B. J. (2011). Education and structural crisis of capital. Monthly Review, 63.

Fullan, M. (2012). Change forces: probing the depths of educational reform. London: Falmer Press.

Nichols, S. L. (2007). High-Stakes Testing. Journal of Applied School Psychology, 23(2), 47-64.

Segool, N. K., Carlson, J. S., Goforth, A. N., Von Der Embse, N., & Barterian, J. A. (2013). Heightened test anxiety among young children: Elementary school students' anxious responses to high-stakes testing. Psychology in the School, 50(5), 489-499.

Sheehan, P. W. (2008). Foreword. In J. Zajda, K. Biramiah, & W. Gaudelli (Eds.), Education and social inequality in the global culture (pp. v-viii). New York: Springer.

Spring, J. (2015). Globalization of education: An introduction (2nd ed.). New York: Routledge.

Wells, A., Stuart. , Carnochan, S., Slayton, J., Allen, R., Lee. , & Vasudeva, A. (2005). Globalization and educational change. In A. Hargreaves (Ed.), Extending educational change (pp. 42-68). New York: Springer.

Whitty, G. (2010). Marketization and Post-Marketization. In A. Hargreaves, A. Liebermann, M. Fullan, D. Hopkins, & C. Stone-Johnson (Eds.), Second international handbook of educational change (Vol. 23, pp. 405-413). New York: Springer.

World Bank. (2011). Learning for all: Investing in people's knowledge and skills to promote development- World Bank group educaion strategy 2020. Washington DC: World Bank.

Zajda, J. (2010). Globalization, education, and social justice. In J. Zajda (Ed.), Globalization, education and social justice (pp. xiii-xxiii). Dordrecht: Springer.

Zajda, J., Biramiah, K., & Gaudelli, W. (Eds.). (2008). Education and social inequality in the global culture. New York: Springer.

Zajda, J., & Geo-Jaja, M. (2009). The politics of education reforms. Dordrecth: Springer.

Zajda, J., & Rust, V. (Eds.). (2009). Globalisation, policy and comparative research: Discourse on globalisation. New York: Springer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun