Menurut bapak yang adalah orang cerdas, sejalan ga dengan cita cita pendidikan kita? Urusan apa Bank Dunia ngatur ngatur pendidikan di negara kita kalo bukan untuk kepentingan mereka biar kita ngutang terus karena kita menganggap mereka adalah dewa penyelamat bangsa lewat pinjaman hutang? Lembaga lembaga kapitalis neoliberalisme sedang menjajah kita dan negara negara penghutang lain namun mereka menyangkali ini dan mengedepankan peran mereka seakan akan ini untuk kemakmuran kita. Sheehan, seorang sahabat saya menulis :
The policies of the Organisation for Economic and Cooperative Development (OECD), the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), the World Trade Organization (WTO), and the General Agreement on Trade and Services (GATS) appear to operate as powerful forces, which, as supranational organizations, shape and influence education and policy, yet they also deny the access of the less privileged to the assumed advantages of an expanding global society (2008, p. vii).
Saya pun tidak perlu harus menggurui bapak betapa cengkeraman neoliberalisme ini telah memaksa negara kita untuk menciptakan budaya performatifisme yang sangat mengedepankan sikap individualistik dan merusak fondasi budaya gotong royong dan kolektifitas bangsa kita.
Kalo Bapak kurang yakin, nanti kita diskusi lagi soal ini, tapi untuk sementara coba lakukan lagi kajian terhadap beberapa kebijakan yang berbasis performatifity seperti Uji Kompetensi Guru dan semua Kebijakan pendidikan terkait ‘uji- menguji’ (Tentang dampak negatif ‘Performatifity’ akan saya bahas disurat lain karena bukan fokus surat ini). Tapi intinya, Ujian Nasional ini adalah wujud dari pengingakaran jati diri budaya serta betapa tidak berdaulatnya kita terhadap sistem pendidikan kita sendiri.
Saya tidak ingin menyalahkan bapak, karena saya paham bahwa sistem ini adalah supra system yang dikendalikan oleh tangan tangan raksasa yang tidak kelihatan. Surat ini mungkin juga berguna bagi teman teman guru diseluruh pelosok nusantara untuk memahami bahwa sekuat apapun kita menolak Ujian Nasional selama kita masih berhutang pada lembaga lembaga dunia, kita tidak bisa menghilangkan Ujian Nasional dari sistem kita.
Itulah sebabnya, orang yang se visioner pak Menteri kita hanya mampu mengkompensasikan Ujian Nasional ini dengan kebijakan “Tidak Menentukan Kelulusan” sambil mengkampanyekan “Ujian yang Jujur dan Berintegritas”. Jujur pak Menteri saya kasihan dan sedih melihat model kompensasi ini, terutama melihat sekolah sekolah diseluruh Indonesia berlomba lomba mendapatkan predikat juara UN jujur dan berintegritas atas provokasi Pak Menteri yang pada akhirnya secara esensial juga menjadi salah satu tambahan portfolio ‘ujian’ yang semakin mengukuhkan budaya performatifity neoliberalisme. Mari Pak Menteri, bersama kita berhentilah membodohi diri sendiri secara berjamaah.
Ujian Nasionalis: Untuk Apa dan Untuk Siapa?
Jika bapak Menteri masih percaya bahwa ujian nasional adalah untuk kepentingan anak anak bangsa, maka bapak keliru. Sudah terlalu banyak bukti riset yang menunjukan bahwa sistem pendidikan dengan High-Stakes Testing seperti yang kita miliki hanya memberikan efek yang buruk bagi perkembangan pendidikan anak. Anak anak mengalami depresi dan tekanan beban mental yang sangat mendalam karena ujian ujian seperti ini (Segool, Carlson, Goforth, Von Der Embse, & Barterian, 2013).
Meskipun saat ini, Ujian Nasional ‘diperhalus’ dengan kebijakan ‘tidak menentukan kelulusan’, tapi tetap saja secara psikologis ini berpengaruh buruk karena pada intinya tidak ada manusia yang mau ‘terlihat bodoh’. Makanya dibuat ‘sehalus’ apapun, Ujian Nasional tetap akan merupakan event untuk ‘akal akalan’ agar terlihat ‘sukses’.
Mungkin bapak paham bahwa pada tataran politik lokal, hasil capaian ujian nasional dijadikan ukuran dan gengsi keberhasilan pemimpin pemimpin daerah yang adalah politisi. Sehingga meskipun dikatakan tidak menentukan kelulusan, tetap saja ‘pressure’ terhadap sekolah dan terutama guru untuk terlihat ‘sukses’ sangat besar meskipun ini ‘invisible’. Karena ini kemudian akan jadi komiditi politik. Bagi yang dapat nilai tinggi, pemimpin pemimpin daerah akan dianggap sukses membangun bidang pendidikan.
Nah, tidak ada pemimpin daerah yang mau dianggap gagal dalam membangun pendidikan apalagi kegagaln capaian nilai Ujian Nasional kemudian menjadi komoditas politik. Pemimpin daerah tidak akan mau diserang dan disalahkan lawan politik karena kegagalan Ujian Nasional. Sehingga persoalan Ujian Nasional tidak sesederhana ‘lulus atau tidak’ dan hanya bisa di kompensasikan dengan kebijakan “bukan penentu kelulusan”. Persoalan Ujian Nasional sangat kompleks dan multi dimensional (Bawulang, 2009).