Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pertemuan Prabowo-Megawati, Untuk Apa ?

17 Januari 2025   13:50 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tradisi demokrasi, cara kerja kekuasaan dan aturan main relasinya antar aktor politik sebetulnya simpel. Syahwat kuasa berlebih dan egopolitik yang kelewat bataslah yang seringkali membuat segalanya menjadi tampak rumit. 

Oktober 2024 Prabowo dilantik sebagai Presiden. Beliau menerima mandat rakyat melalui Pemilu, karenanya sah memimpin cabang kekuasaan eksekutif, dan wajib dihormati. Sistem Presidensial yang digunakan sebagai pilihan jalan konstitusional memberinya otoritas pemerintahan besar kepada Presiden. Pada saat yang sama partai-partai pengusung pencalonannya masuk parlemen sebagai kelompok yang akan menjadi pendukung pemerintahannya, dan beberapa kader mereka masuk kabinet sebagai pembantu Presiden.

Di sisi lain, kandidat yang kalah, oleh sebab ketokohan dan fakta politik bahwa dibelakangnya juga ada jutaan pemilih yang menitipkan mandat kepadanya, dengan sendirinya ia menjadi oposan loyal (loyal opposition), dan juga wajib dihormati. Pada saat yang sama partai-partai pengusungnya, masuk atau tidak ke parlemen, idem ditto mereka memainkan peran-peran oposisional dalam relasi kuasa (kekuatan politik) yang memerintah dan yang tidak memerintah.

Dalam konteks relasi ini, baik pihak yang memerintah maupun yang tidak memerintah sama-sama berhak mengatasnamakan rakyat. Karena keduanya sama-sama menerima mandat dari rakyat. Pembedanya hanya soal jumlah mandat yang diterima. Maka atas nama dan untuk kepentingan rakyatlah kedua belah pihak sama-sama bekerja dalam ruang kepolitikan diskursif, yang sarat dengan kontestasi gagasan dan kualitas keberpihakan kepada rakyat.

Kompetisi selesai, Pemilu tuntas, dan semua pihak mestinya segera fokus (fokus saja) dengan posisi yang telah diraihnya berdasarkan kalkulasi mandat politik dari rakyat. Menjadi pemerintah dan oposisi sejatinya sama-sama terhormat, karena sama-sama mengemban mandat dan bekerja untuk rakyat dalam ruang kepolitikan yang sama. Kehormatan itu akan berakhir manakala mereka mengkhianati rakyat, baik sebagai pemerintah maupun sebagai oposisi.

Dengan cara pandang itulah maka rencana pertemuan Prabowo dalam kapasitas sebagai Presiden dengan Megawati dalam kapasitas sebagai Ketua Umum partai yang kalah kontestasi Pemilu sesungguhnya menjadi tidak perlu. Kecuali sekedar merayakan nostalgia dan pertemanan bersama nasi goreng Megawati yang legendaris itu, kabarnya. Lebih dari itu, hemat saya, sekali lagi, tidak perlu. Sama tidak perlunya dengan upaya mendorong-dorong Anies masuk istana, atau merayu-rayu Prabowo membuka pintu istana untuk Anies. 

Mengapa Tidak Perlu ?

Sekali lagi, fokus saja dengan posisi masing-masing yang telah diberikan rakyat. "Vox Populi Vox Dei." Jangan sampai Tuhan yang telah menggariskan qodarnya melalui pilihan rakyat itu malah menjadi tidak ridho karena masing-masing pihak seakan tidak Ikhlas menerima taqdir masing-masing. Prabowo, fokuslah bekerja sebagai Presiden, mulailah tunaikan kewajiban konstitusional dan janji-janji politiknya. Megawati, Anies dan siapapun yang satu taqdir dan satu frekwensi politik dengan mereka fokuslah bekerja sebagai pengingat, pengoreksi sekaligus penjaga agar kekuasaan di tangan Presiden Prabowo tidak melenceng dari track yang seharusnya dilalui.

Jadi, sesimpel itu sebetulnya. Yang menjadikan semuanya tampak rumit karena ada syahwat kuasa dan egopolitik berlebih yang menyandera pikiran masing-masing pihak. Suatu situasi yang membuat Presiden bisa menjadi tidak fokus dalam menjalankan pemerintahan demi menunaikan tugas konstitusional dan sesegara mungkin memenuhi janji-janji politiknya. Mari kita periksa dengan kritis.

Kita mulai dengan pertanyaan ini. Jika benar Prabowo ingin bertemu Megawati seperti dikabarkan berbagai media, untuk apa ? Untuk meredam kekuatan oposisional yang kini kian melebar space-nya ke area-area parlemen jalanan seperti medsos ? Atau untuk menambah lagi daya dukung politik kekuasaanya dengan menciptakan koalisi yang lebih gigantis dengan cara memasukan kader-kadernya ke kabinet ? Atau, untuk minimalisir pengaruh Jokowi lalu perlahan menguburnya ?

Jika untuk keperluan itu semua, hemat saya sekali lagi, tidak perlu. Suara warganet itu  representasi suara wargarepublik. Tidak perlu gerah dengan suara-suara mereka. Sebaliknya, fahami saja kegelisahan dan kerisauan mereka itu sebagai energi yang menghidupkan mesin demokrasi sekaligus pemicu introspeksi untuk melakukan perbaikan-perbaikan kebijakan. Mengartikulasikan kerisauan dan kegelisahan itu juga merupakan hak konstitusional mereka.

Alih-alih berupaya meredam suara-suara mereka, lebih bijak introspeksi dan lakukan perbaikan-perbaikan kebijakan. Karena jangankan bertemu dengan hanya seorang Megawati, bahkan jika semua tokoh kritis dan lawan politiknya sekalipun ditemui, suara-suara warganet tidak akan bisa dicegah kehadirannya dalam lanskap komunikasi kepolitikan saat ini. Kecuali jaringan internet diberangus dan kita kembali ke zaman batu.

Lalu untuk menambah kekuatan politik di parlemen demi memuluskan setiap kebijakan pemerintah ? Juga tidak perlu. Apalagi dengan tendensi meniadakan sama sekali kelompok oposisi di DPR. Dan spekulasi bonus membebaskan Hasto dari jeratan kasus hukumnya. Tukar guling yang sama sekali tidak pantas dilakukan, dan pasti akan menggerus kehormatan Prabowo sebagai Presiden. Selain tidak sehat dalam tradisi demokrasi dan upaya penegakan supremasi hukum, juga berpotensi melahirkan kembali berbagai prakti abuse of power melalui jalan legalisme otokratik (autocratic legalism).

Jangan Terjebak Delusi Paranoid

Sama tidak perlunya pertemuan itu dilakukan jika dimaksudkan untuk meminimalisir pengaruh Jokowi seperti yang diduga banyak pengamat dan ahli. Prabowo adalah presiden, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Di tangannya ada mandat besar dari rakyat. Tinggal bagaimana keberanian dan integritasnya digunakan sebagai pemimpin. Tegak lurus pada konstitusi dan segala aturan hukum yang berlaku adalah pilihan pastinya. Dalam konteks ini, mengajak Megawati bertemu justru bisa memicu kecurigaan dan berbagai spekulasi negatif terhadap Prabowo.

Bagaimana hubungannya dengan Jokowi? Hormati saja ia selayaknya sebagai mantan Presiden. Tidak perlu kelewat protektif hingga mengorbankan prinsip-prinsip negara hukum dan etika politik demokrasi. Di depan hukum, semua warga negara harus diperlakukan setara. Atau sebaliknya, terjebak dalam delusi paranoid, entah apapun alasannya.

Sekali lagi, Prabowo adalah Presiden pemegang mandat rakyat, pengemban amanah konstitusi. Sepanjang istiqomah memihak kepentingan rakyat, hanif dengan konstitusi dan perundangan, lalu mewujudkannya dalam setiap haluan politik dan kebijakan, semua akan baik-baik saja. Dan sebagai Presiden, Prabowo tidak perlu buang-buang waktu dan terjebak dalam kerumitan-kerumitan yang tidak perlu, yang sesungguhnya hanya untuk mengakomodir syahwat kuasa dan egopolitik baik kawan maupun lawan politik.

Fokus saja memimpin bangsa ini. Sesimpel itu sebetulnya.

Analisis terkait : https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6788901c34777c755e7511e2/kotak-pandora-tukar-guling

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun