Bersama 26 kader partai lainnya, mantan Presiden Jokowi akhirnya dipecat oleh DPP PDIP. Pemecatan ini tertuang dalam surat Surat Keputusan nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 bertanggal 14 Desember 2024. Dengan nomor yang berurutan, Surat Keputusan sejenis juga dikeluarkan untuk Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution. Kedua SK tersebut yakni nomor 1650/KPTS/DPP/XII 2024 dan Surat Keputusan nomor 1651/KPTS/DPP/XII/2024. Kedua surat ini bertanggal 4 Desember 2024.
Ketiga SK pemecatan tersebut ditandatangani langsung oleh Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum dan Hasto Kristyanto sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan.
Pasca pengumuman pemecatan ini, empat partai politik (Golkar, Gerindra, PAN dan PPP) seakan "berlomba" menyatakan akan membuka pintu bagi Jokowi jika ingin bergabung.
Tetapi saya membaca pernyataan-pernyataan positif tersebut lebih merupakan basa-basi politik atau sekedar penghormatan dan sopan santun politik (mengingat Jokowi adalah mantan Presiden) ketimbang sebagai pernyataan yang serius dan tulus. Meskipun tentu saja kadar basa-basi atau sebaliknya, keseriusan dan ketulusan ini berbeda antar partai politik. Berikut analisis argumentatifnya.
Cacat Etik dan Antipati Publik
Alasan pertama yang akan membuat parta politik tidak akan mudah menerima Jokowi sebagai anggota apalagi pimpinan atau pengurus teras (kecuali 2 partai yang akan diulas dibawah nanti) adalah karena ada beban "cacat etik" yang kini tersemat dalam diri Jokowi.
Istilah "cacat etik" ini tertuang secara secara terang benderang di dalam pertimbangan SK pemecatannya. Bahwa Teradu (maksudnya Jokowi) terbukti melakukan tindakan pelanggaran Kode Etik dan Disiplin Anggota Partai dengan mencederai cita-cita dan tujuan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Selain itu, Jokowi juga dianggap telah melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) pada waktu proses pencalonan Pilpres 2024 demi kepentingan keluarga. PDIP juga menganggap Jokowi telah merusak sistem demokrasi Indonesia.
Penilaian konklusif itu memang bersifat ekslusif karena ia hanya merupakan keputusan partai politik, bukan lembaga negara atau badan independen yang secara otoritatif berwenang memberikan penilaian. Namun demikian, secara psikososial penilaian itu tetapi saja akan menimbulkan dampak politik yang meluas karena SK pemecatan itu dipublikasikan kepada masyarakat.
Dalam situasi demikian, partai-partai politik jelas akan menimbang dengan sangat hati-hati untuk menerima Jokowi bergabung. Alasannya simpel, mereka pasti mengkhawatirkan urusan "cacat etik" hasil penilaian PDIP yang sudah terpublikasi itu bisa jadi boomerang bagi citra partai politik. Kotraproduktif bagi kepentingan elektoral partai-partai dalam beberapa tahun kedepan sebelum Pemilu 2029.
Selain karena alasan beban "cacat politik" yang bisa jadi bumerang jika menerima Jokowi bergabung, partai-partai nampaknya juga akan mengalkulasi secara hati-hati faktor antipati (sebagian) masyarakat terhadap sikap dan manuver-manuver politik Jokowi terutama sejak perhelatan Pilpres hingga Pilkada ini.
Bahwa di sisi para pendukung dan pengagumnya, tidak bisa dipungkiri jika Jokowi juga memiliki banyak haters di tengah masyarakat. Sejauh yang saya cermati, para haters ini terus solid mengorkestrasi berbagai kelemahan dan cacat Jokowi di ruang publik, bahkan ketika sebagian dari mereka sudah dengan "ikhlas" menerima Prabowo sebagai Presiden pasca pelantikan 20 Oktober lalu.
Gerindra dan Surplus Kekuatan Elektoralnya
Dari empat partai yang sudah menyatakan "welcome" bagi Jokowi, Gerindra dan Golkar adalah partai yang akan sangat menghitung dengan cermat dan ekstra hati-hati. Bagi Gerindra ada banyak alasan untuk tidak menerima Jokowi.
Pertama, saat ini Gerindra merupakan leader dari koalisi partai yang berkuasa. Posisi ini menjadikan Gerindra sebagai partai yang kuat secara politik baik saat ini maupun dalam hitungan lima tahun kedepan.Â
Kedua, Gerindra memiliki tokoh besar yang tidak lain adalah Presiden Prabowo sendiri, yang dengan otoritas politik dan pengaruhnya akan membuat partai ini solid dalam lima tahun kedepan.
Kedua fakta tersebut jelas merupakan surplus politik yang dimiliki Gerindra dalam menghadapi perhelatan elektoral 2029 mendatang, yang oleh karenanya para elit Gerindra kemungkinan besar akan solid dalam satu pemahaman. Bahwa mereka tidak membutuhkan tambahan figur, bahkan sekelas mantan presiden dan memiliki pengaruh besar sekalipun. Mereka memiliki segalanya saat ini.
Selain itu juga tidak tertutup kemungkinan bahwa di internal Gerindra ada pemikiran yang yang meragukan perihal integritas dan loyalitas Jokowi sebagai politisi. Dasarnya simpel dan bisa difahami, bahwa berdasarkan pengalaman yang semua orang sudah tahu, Jokowi terbukti (atau setidaknya dianggap) pernah mengkhianati partai yang telah memberinya jalan berkuasa dan membesarkannya.
Jadi ketimbang menjadi gambling lalu potensial menjadi blunder politik di kemudian hari seperti pernah dialami oleh PDIP, Gerindra nampaknya akan memilih jalan aman dengan modal politik yang saat ini mereka miliki. Yakni jabatan Presiden yang mereka miliki dengan kemewahan otoritas dan pengaruhnya serta posisi sebagai tiga besar partai pemenang Pemilu 2024.
Satu alasan lagi yang tidak kalah penting dan pasti dikalkulasi di internal Gerindra adalah, bahwa cepat atau lembat pengaruh politik Jokowi akan meredup seiring dengan semakin menguatnya kepemimpinan Prabowo sebagai Presiden yang ditopang oleh partai dan koalisinya. Jadi, apa pentingnya membuka pintu bagi Jokowi yang pengaruh politiknya secara perlahan akan surut dan selesai.
Golkar dan Resistensi Internal
Sebagaimana Gerindra, Partai Golkar nampaknya juga akan sangat cermat dan ekstra hati-hati membuka pintu bagi Jokowi untuk masuk ke jajaran elit atau fungsionarisnya. Tetapi beberapa alasannya tentu berbeda.
Golkar tidak memiliki tokoh besar sekaliber Prabowo maupun Jokowi. Dari sisi ini, Golkar mungkin membutuhkan tambahan figur yang memiliki pengaruh kuat untuk kepentingan politik elektoral 2029 mendatang. Dan kriteria ini jelas dimiliki Jokowi setidaknya saat ini. Untuk menjaga posisinya sebagai partai politik pemenang kedua dibawah PDIP pada Pemilu mendatang, Golkar boleh jadi akan menjadi partai ke mana Jokowi akan berlabuh.
Tetapi berbeda dengan Gerindra, Golkar adalah partai yang sangat heterogen. Ada banyak faksi politik di pohon beringin ini, yang oleh karenanya boleh jadi tidak akan semudah Gerindra dalam membangun kesepahGerindraaman dan soliditas terkait keputusan-keputusan strategis internal. Selain itu, Golkar juga memiliki banyak tokoh berpengaruh, pinisepuh dan fungsionaris senior yang potensial bakal resisten terhadap Jokowi.
Bahwa kemarin-kemarin (menjelang, tengah dan pasca Pilpres 2024) partai ini terlihat insecure dan seperti kehilangan kemandiriannya sebagai partai politik, hal ini disebabkan oleh masih kuatnya posisi dan pengaruh Jokowi sebagai Presiden, yang dengan kepiawaian politiknya berhasil mengkooptasi Golkar melalui figur-figur dekatnya yang duduk di kabinet.
Kini Jokowi tidak memiliki lagi otoritas kekuasaan meski jelas masih memiliki pengaruh kuat. Namun sekali lagi, pengaruh politik Jokowi cepat atau lambat secara alamiah akan mengendur dan selesai seiring dengan persaingan baru yang nampaknya bakal melahirkan peta konstelasi yang juga baru menjelang 2029 nanti.
Dalam situasi demikian, para elit Golkar (meski tentu saja tidak semua, dan akan terjadi rivalitas internal) dapat diduga tidak akan solid dalam menyikapi kemungkinan Jokowi bisa mulus masuk ke jajaran elit partai ini. Apalagi menjadi Ketua Umum, kecuali situasi ia mampu mengontrol secara utuh semua faksi di tubuh Golkar. Dan ini jelas tidak mudah.
PAN, PPP dan Insekuritas Politik
Dua partai paling besar peluangnya untuk dimasuki Jokowi adalah PAN dan PPP. Karena kedua partai ini tidak memiliki tokoh yang popularitasnya melampaui Jokowi. Mereka butuh figur yang bisa menjadi lokomotif atau vote getter demi menjaga posisinya agar minimal bisa tetap aman di parlemen bagi PAN, dan bisa masuk parlemen lagi pasca Pemilu 2029 bagi PPP.
Ketiadaan tokoh populer di kedua partai ini juga dapat menjadi faktor penyebab yang memuluskan hasrat Jokowi untuk terus berkiprah dan menjaga sisa-sisa pengaruhnya di pentas kepolitikan nasional. Secara sederhana ada dua tujuan politik yang bisa dibaca mengapa Jokowi berkepentingan untuk terus berkiprah dan merawat pengaruh politiknya.
Pertama untuk memastikan berbagai kebijakan politik yang diyakininya sebagai pilihan-pilihan yang tepat bisa terus dilanjutkan di era kepemimpinan Prabowo. Kedua untuk "menjaga" dan memastikan posisi putranya sebagai Wakil Presiden aman, dan syukur-syukur bertumbuh kans politiknya hingga Pemilu 2029 mendatang. Nah, untuk memuluskan tujuan ini PAN dan PPP adalah dua partai yang nampaknya paling mungkin bisa dimasuki dan dikontrol dengan gampang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H