Gus Miftah adalah salah satu pembantu Presiden Prabowo. Ia pejabat publik, di lingkaran istana bahkan. Jabatan formalnya Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Pos portfolio non-kementerian yang jika dilihat dari nomenklaturnya jelas sangat penting karena berkenaan dengan salah satu isu sensitif dalam masyarakat, yakni kerukunan umat beragama.
Sebagai pejabat publik, Miftah terikat dengan etika (publik). Menurut Romo Magnis Suseno, etika publik adalah bagian dari etika yang menyangkut kewajiban dan tanggung jawab dalam pelayanan publik.
Atau, dalam rumusan Haryatmoko, etika publik adalah "refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik"Â (Etika Publik. 2011).
Ketika Miftah ceramah dalam acara Sholawatan yang kemudian "kepeleset" mengolok Sunhaji itu memang bukan dalam rangka menjalankan tugas resminya sebagai Utusan Khusus Presiden. Tetapi sejak ia dilantik dalam jabatannya, sesungguhnya Miftah sudah berada dalam ikatan fungsional sesuai jabatan yang diembannya.
Maka seketika itu pula etika publik mestinya ia sadari sudah tersemat dalam dirinya dan wajib dipedomani, dalam situasi dan aktifitas sosial apapun yang dilakukannya. Termasuk saat ia bicara dalam forum pengajian atau diundang memberikan ceramah dan sholawatan.
Terlebih lagi, Miftah memperoleh amanah dalam jabatannya itu pastinya karena latarbelakang profesi dan kiprah sosialnya dalam masyarakat sebagai pemuka agama, penceramah, dan mubaligh. Ia masuk ke lingkaran penting pembantu Presiden bukan karena kompetensi dan kapasitas yang lain kecuali sebagai pemuka agama.
Dalam konteks ini tentu saja Miftah diharapkan (oleh Presiden Prabowo) dapat menjalankan tugasnya bukan saja sebagai penganjur, pendidik, atau influencer, tetapi juga menjadi role model di dalam mengembangkan kerukunan umat beragama di tengah kondisi bangsa yang super-majemuk ini.
Peristiwa "Sunhaji, Penjual Es Teh" itu adalah paradoks Miftah sebagai pejabat publik, yang mestinya menjunjung tinggi etika dalam setiap ucapan, sikap dan perbuatannya di muka publik. Maka wajar jika kemudian masyarakat bereaksi negatif bahkan marah atas perilakunya yang dianggap tuna-adab, nir-etik itu. Sekali lagi, bukan karena Miftah pribadi, melainkan karena Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden, Miftah sebagai pejabat publik.
Pelajaran bagi Pejabat Lainnya
Kemarahan atas perilaku Miftah itu, menurut Monica Kumalasari, Pakar Gestur dan ahli Mikroekspresi dari Paul Ekman Intl, sesungguhnya juga terbaca dari gestur Presiden Prabowo ketika menanggapi pengunduran diri Miftah. Ada kemarahan yang terpendam, ada kekecewaan, dan rasa tidak nyaman, ungkap Monica seperti dilansir dari Antara, 2 Desember 2024.
Secara verbal komentar Prabowo memang menampilkan framing positif terhadap keputusan Gus Miftah untuk mundur. Namun teknologi analisis gestur dengan tingkat reliabilitas tinggi yang digunakan Monica mencatat bahwa kontrol emosi Prabowo cenderung rendah.
"Saya melakukan analisa dengan melihat distribusi emosi yang muncul, dua emosi yang muncul dari ekspresi wajah adalah emosi jijik dan sedih," ungkap Monica Kumalasari seperti dikutip viva.co.id, 10 Desember 2024.