Sesuai prediksi berbagai lembaga survei kredibel, Paslon Nomor Urut 3 Pramono Anung-Rano Karno berhasil mengungguli dua paslon kompetitornya pada Pilgub DKI Jakarta 2024. Dan sehari setelah pencoblosan (Kamis, 28 November 2024), Pramono Anung mendeklarasikan kemenangan ini melalui jumpa pers di rumahnya, Cipete Jakarta Selatan.
"Alhamdulillah hasil real count KPUD DKI Jakarta dan perhitungan formulir C hasil KWK saat ini, pagi ini, Kamis 28 November 2024 telah mencapai 100% TPS di seluruh daerah pemilihan Jakarta dengan menunjukkan hasil bagi pasangan nomor 03 yaitu 2.183.577 suara atau 50,07%."
Meski sejumlah pihak, terutama tentu saja Tim Kamil-Suswono, menganggap deklarasi kemenangan Pramono-Rano itu terlalu dini dan prematur, langkah Pramono-Rano bukan tanpa alasan dan karenanya tetap bisa difahami. Mengapa? Karena pernyataan ini didasarkan pada sumber data KPU Provinsi DKI Jakarta sendiri. Bukan pada hasil quick count lembaga-lembaga survei, walaupun kenyataannya juga hampir semua lembaga survei mencatatkan keunggulan Pramono-Rano.
Real Count Bukan Penentu KemenanganÂ
Namun demikian, kubu Pramono-Rano dan para pendukungnya di akar rumput tentu juga harus memahami aturan main yang berlaku terkait penetapan pasangan pemenang Pilkada. Nah, terkait soal ini ada beberapa norma penting yang perlu difahami sekaligus dijadikan dasar untuk mengantisipasi berbagai potensi yang dapat membalikan situasi hasil Pilkada.
Pertama, pada Pasal 11 UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang juga ditetapkan kembali dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta dinyatakan, bahwa pasangan calon yang ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) suara.
Kedua, berdasarkan f0rmulir Model C Hasil KWK di TPS tadi memang benar bahwa Paslon Pramono-Rano berhasil meraih lebih dari 50% mandat warga Jakarta. Tetapi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan mengatur bahwa penetapan hasil Pilgub didasarkan pada  formulir Model D Hasil KWK di Provinsi. Â
Ketiga, formulir Model D Hasil itu diproses melalui Rapat Pleno yang dilakukan secara berjenjang dari PPK di Kecamatan, kemudian di KPU Kabupaten/Kota, dan akhirnya di KPU Provinsi.
Nah, dalam rangkaian proses rapat pleno berjenjang itu berbagai kemungkinan bisa terjadi. Bisa karena faktor human error atau ada upaya manipulasi. Sehingga angka-angka yang tertulis di dalam Model C Hasil KWK (dari TPS tadi) terkoreksi atau berubah pada saat rekapitulasi dilakukan dalam rapat pleno PPK di tingkat Kecamatan (Model D Hasil KWK Kecamatan) dan/atau rapat pleno KPU di tingkat Kabupaten/Kota (Model D Hasil KWK Kabupaten/Kota), dan akhirnya berujung pada rapat pleno KPU Provinsi (Model D Hasil KWK Provinsi).Â
Ringkasnya, perolehan hasil suara masing-masing Paslon yang resmi dan memiliki kekuatan hukum adalah hasil suara yang didasarkan pada dokumen manual (hardcopy) dan diproses melalui rapat pleno berjenjang. Pun demikian halnya dengan penetapan Paslon terpilih. Bukan pada real count hasil pindai Model C Hasil KWK yang dipublikasikan di laman KPU.
Oleh sebab itu, alih-alih sekadar mengumbar euphoria (potensi) kemenangan versi real count yang bisa saja membuat lengah dan nir-waspada, jauh lebih baik dan produktif jika kubu Pramono-Rano menyiapkan berbagai langkah antisipatif untuk menjaga potensi kemenangan itu agar tidak ambyar. Berikut ini beberapa kemungkinan yang perlu dikawal dengan ketat dan diantisipasi dengan cermat.