Potensi split-ticket voting dalam Pilgub 2024 di banyak daerah nampaknya cukup terbuka. Terutama provinsi-provinsi yang memperhadapkan dua kubu kekuatan politik, yakni kandidat yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) seperti Sumut, Banten, DKI Jakarta dan Jawa Tengah berhadapan dengan pasangan kandidat yang diusung oleh PDIP atau PDIP Plus.
Split-ticket voting adalah fenomena di mana para pemilih membelah atau membagi suara yang berbeda antara pilihan partai politik dengan pilihan kandidat yang diusung partai politik. Fenomena ini biasanya terjadi dalam Pemilu di mana beberapa jabatan politik yang berbeda dipilih dalam satu momen pemilihan seperti Pemilu serentak 2024 lalu.
Dalam konteks Pileg dan Pilpres 2024 kemarin fenomena ini terjadi ketika (sebut saja misalnya kader-kader PDIP) memberikan suaranya kepada para caleg PDIP dalam Pemilu Legislatif. Namun pada saat Pilpres mereka memilih pasangan kandidat yang tidak diusung PDIP. Fenomena "membelah suara" ini bisa terjadi pada semua partai politik dan pasangan kandidat yang diusungnya.
Dalam konteks Pilkada fenomena (serupa) split-ticket voting terjadi ketika para pemilih dari basis massa suatu partai tertentu tidak memberikan pilihan pada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung dan/atau didukung oleh partai atau gabungan partai politik. Jadi, suara akar rumput suatu partai berbeda dengan suara elit partai tersebut.
Secara teoritik ada lima model penjelas perilaku pemilih yang telah memicu lahirnya fenomena split ticket voting ini (Ichlasul Amal, dkk, 2016). Pertama, teori keseimbangan. Kedua, teori konflik harapan.Â
Ketiga, teori kepemilikan isu. Keempat, teori check and balance. Kelima teori pemasaran politik. Semua teori di atas melihat pemecahan suara (split) adalah bagian dari strategi pemilih dengan tujuan tertentu.
Meski tak bermaksud mengulasnya lebih luas, dalam konteks Pilgub Banten, secara sederhana potensi split ticket voting dapat dijelaskan setidaknya melalui teori konflik harapan dan teori check and balance.Â
Pasca Pilkada, ulasan seputar fenomena split ticket voting yang lebih jauh dengan menggunakan tool of analysis beberapa teori ini mungkin lebih tepat dilakukan dari sisi momentum.Â
Soliditas Basis Massa Golkar-PDIP
Secara hipotetik fenomena split ticket voting ini potensial akan terjadi dalam Pilgub Banten 2024. Baik pada partai-partai pengusung Andra-Dimyati maupun pada partai-partai pengusung Airin-Ade Sumardi.
Hanya saja, secara kuantitatif persebaran fenomena ini lebih banyak terjadi di tubuh koalisi pengusung Andra-Dimyati. Dan dengan demikian, efek positifnya cenderung akan diperoleh pasangan Airin-Ade Sumardi. Berikut ini beberapa argumentasinya.
Pada partai pengusung Airin-Ade Sumardi (terutama PDIP dan Golkar), split ticket voting tidak akan terlalu besar jumlahnya karena basis massa kedua partai ini relatif solid.Â
Dalam konteks Pilgub 2024 hal ini dimungkinkan terutama karena proses kandidasi yang begitu rupa, yang sempat membuat Airin-Ade Sumardi berada di ujung tanduk sebelum putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 terbit yang memungkinkan PDIP dapat memajukan sendiri pasangan calon tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Selain itu, dalam posisi sebagai bakal calon Gubernur Airin sendiri sempat mendapat "perlakuan" tidak ramah secara politik oleh partainya sendiri (Golkar) sebelum akhirnya partai yang dipimpin Bahlil ini menarik dukungannya dari Andra-Dimyati dan mengalihkannya kepada Airin setelah difetakompli oleh situasi politik kandidasi kala itu.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Golkar memberikan rekomendasi pencalonan kepada Andra-Dimyati. Padahal jauh sebelum Bahlil terpilih menjadi Ketua Umum, Airin sudah mendapat penugasan untuk pencalonan Gubernur Banten ketika Golkar masih dipimpin Airlangga.
Mandat itu kemudian diterjemahkan Airin dengan melakukan persiapan dan langkah-langkah konsolidatif secara masif sebagai bakal kandidat Gubernur. Airin rajin menyosialisasikan diri kepada warga Banten. Dan hasilnya elektabilitas Airin unggul dibandingkan semua figur bakal kandidat Gubernur Banten. Popularitas dan elektabilitas Airin bahkan berada jauh diatas Andra maupun Dimyati.
Situasi yang dialami Airin dalam proses kandidasi yang berlangsung demikian itu secara psikososial telah menstimulus rasa simpati dan empati politik. Bukan hanya dari akar rumput Golkar dan PDIP, tetapi juga dari warga Banten secara umum.
Sementara itu, dari perspektif internal PDIP sendiri, dukungan basis massa partai ini boleh jadi lebih solid lagi, setidaknya karena dua alasan. Pertama, adanya arus dan semangat perlawanan terhadap kekuatan politik gigantis yang didukung kekuasaan pusat.Â
Kedua, figur calon Gubernurnya, Ade Sumardi adalah Ketua DPD PDIP Banten sendiri. Gairah mengantarkan kader internal ke tampuk Gubernuran tentu akan menjadi energi tersendiri yang dapat memperkuat soliditas politik internal mereka.Â
Kegamangan Akar Rumput KBMÂ
Sementara itu, secara hipotetik situasi sebaliknya berlangsung di tubuh partai-partai Koalisi Banten Maju (KBM) pengusung Andra-Dimyati. Terutama tentu saja di partai-partai utamanya, yakni Gerindra, PKS, Demokrat, NasDem, PKB, PAN, dan PPP.
Di level elit mungkin tidak ada masalah. Semua sudah sepakat dan "ikhlas" (?) memajukan Andra-Dimyati, meski dalam rangkaian kampanye terbuka para elit partai KBM tidak selalu hadir dan membersamai "pengantinnya". Tetapi di akar rumput, kecuali basis massa Gerindra dan PKS, para pemilih dari partai-partai KBM nampaknya tidak cukup solid. Berikut ini beberapa argumentasinya.
Pertama, literasi politik elektoral warga Banten pasca Pilpres 2024 bertumbuh demikian rupa dan ini memberi pengaruh pada pengetahuan dan pemahaman mereka dalam kaitannya dengan proses Pilkada. Terutama sebagaimana disinggung didepan tadi, terkait proses kandidasi Gubernur dan Wakil Gubernur berlangsung, yang terbaca oleh publik lebih mengedepankan kepentingan politik para elit partai ketimbang suara-suara akar rumput.
Berbasis pengetahuan dan pemahaman itu, para pemilih yang tersebar di partai-partai KBM, yang pada Pileg dan Pilpres 2024 lalu memberikan suaranya kepada partai-partai di KBM sangat mungkin akan mengubah pilihan sikap politiknya di Pilgub Banten besok. Dalam konteks ini split ticket voting terjadi karena pilihan elit partai tidak mencerminkan suara-suara akar rumput.
Dalam perspektif teori konflik harapan dari Jacobson, sikap para pemilih yang memberikan suaranya kepada kandidat yang diusung bukan oleh partai atau gabungan partainya ini terjadi karena terdorong untuk mencari alternatif kebutuhan atau kepuasan politik yang justru ditawarkan oleh partai atau koalisi partai lawan.
Kedua, split ticket voting dalam Pilgub Banten besok juga bisa terjadi karena para pemilih (bisa kader, bisa juga sekedar simpatisan partai di tubuh KBM itu) terpapar oleh "virus kesadaran" untuk melakukan perlawanan terhadap nafsu kuasa dan ambisi politik kubu pemenang Pilpres (yang saat ini sedang berada diatas angin kekuasaan) yang kelewat serakah, semua level dan lini kekuasaan ingin dikuasainya.
Dalam perspektif teori check and balance, fenomena split ticket voting model ini terjadi karena adanya dorongan terhadap para pemilih untuk secara aktif berpartisipasi dalam membangun dan menghidupkan pengawasan, kendali dan keseimbangan diantara faksi-faksi politik yang saling berkompetisi.
Ketiga, dalam kasus yang lebih khusus, gejala split ticket voting di Pilgub Banten juga bisa terjadi karena dipicu oleh kekecewaan para kader partai setelah figur yang diharapkan dimajukan oleh partainya tidak kesampaian. Dalam kasus ini, split ticket voting di Pilgub Banten potensial cukup besar terjadi di partai Demokrat dan Nasdem.
Mengapa demikian?Â
Demokrat memiliki dua figur yang sesungguhnya pantas dan layak maju sebagai kandidat Gubernur atau Wakil Gubernur, yakni Arief Wiesmansyah (mantan Walikota Tangerang dua periode) dan Iti Octavia Jayabaya (Ketua DPD Partai Demokrat Banten, mantan Bupati Lebak dua periode). Popularitas keduanya, meski tak sebesar Airin, cukup tinggi di Banten. Tapi Demokrat lebih memilih merapat ke kubu KBM.
Situasi yang mirip terjadi pada kasus Partai Nasdem. Wahidin Halim, Ketua DPW Partai Nasdem Banten yang sekaligus mantan Gubernur Banten dan sempat mengisyaratkan akan maju kembali di Pilgub 2024 ini tidak jadi pada akhirnya. Karena Nasdem juga memilih bergabung ke KBM dan mengusung Andra-Dimyati.
Terkait kasus di dua partai KBM tersebut, saya menduga sebagian pemilih loyalis Arief, Iti Octavia dan Wahidin akan mengalihkan suara mereka kepada Airin-Ade Sumardi lantaran kecewa figur-figur jagoannya gagal maju.
Baiklah dulur-dulur se-Banten. Selamat memilih. Jangan lupa, literasi Pilkadanya dimatangkan hari ini, dan besok bawa serta hati nurani saat masuk ke bilik suara.Â
Politik Uang, Kejahatan Elektoral yang Beranak Pinak
Memaknai (Peluang) Kemenangan Pramono-Rano
Satu atau Dua Putaran, Inilah Faktor Kunci Kemenangan Pramono-Rano
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H