Tentu saja angka-angka itu belum menjadi garansi bahwa Pramono-Rano bakal memenangi Pilgub Jakarta, apalagi dalam satu putaran. Berikut ini alasannya. Pertama, terkait regulasi dimana Pilkada DKI memang beda sendiri dalam pengaturan penetapan pemenang Pilkada.
Di dalam Pasal 11 UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang juga ditetapkan kembali dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta dinyatakan, bahwa pasangan calon yang ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur adalah mereka yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) suara.
Sementara hingga menjelang masa tenang, tidak ada satupun lembaga survei yang menunjukan elektabilitas Pramono-Rano tembus ke angka 50% lebih.
Kedua, dari hasil sigi lembaga-lembaga survei tersebut diketahui bahwa warga yang belum menentukan pilihan (undiceded voters) jumlahnya relatif masih cukup besar. Yakni di kisaran angka 20 persenan. Jumlah yang bisa mengubah secara signifikan peta elektabilitas dibandingkan dengan real count-nya nanti.
Ketiga, ini yang sangat penting dicermati dan diwaspadai oleh Tim Pramono-Rano agar tak "kecolongan." Bahwa di masa tenang ini segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Pergerakan, upaya dan/atau manuver tim sukses kompetitor melalui berbagai modus (dari yang legal, abu-abu hingga ke yang illegal; dari yang halal, subhat hingga ke yang haram), semuanya bisa saja "menjungkir-balikan" peluang sebagaimana ditunjukan oleh angka-angka hasil survei.
Makna Kemenangan Pramono-Rano
Jika pencermatan kualitatif atas dinamika politik elektoral yang terjadi serta hitung-hitungan kuantitatif lembaga-lembaga survei diatas terkonfirmasi, maka kemenangan Pramono-Rano akan menjadi momen yang menarik sekaligus memiliki beberapa makna penting di tengah perhelatan Pilkada Jakarta yang diwarnai fenomena adu magnit antara kubu yang didukung kekuasaan dan pro status quo berhadapan dengan barisan yang mengandalkan akar rumput yang menginginkan perubahan.
Pertama, kemenangan itu nanti merupakan kemenangan kehendak dan pilihan massa (mayoritas warga Jakarta) atas kepentingan dan ambisi para elit, terutama partai politik.Â
Memang Pramono-Rano awalnya juga bukan figur-figur yang dikehendaki oleh warga Jakarta. Figur terkuat yang diinginkan warga Jakarta adalah Anies dan Ahok sebagaimana ditunjukan oleh lembaga-lembaga survei menjelang tahapan kandidasi.
Tetapi publik tahu, Anies dihambat kekuasaan dengan berbagai macam cara hingga akhirnya gagal maju sebagai Cagub Jakarta. Sementara Ahok sendiri "ditahan" untuk maju oleh Megawati karena pertimbangan tidak ingin mengulang atau membangkitkan kembali luka lama Pilkada 2017.
Dalam situasi demikian itulah pasangan Pramono-Rano dimajukan. Mereka lebih merupakan produk siasat politik PDIP agar tetap bisa mengambil bagian dalam Pilkada sekaligus bentuk perlawanan atas hegemoni politik dan ambisi kuasa dari kubu yang baru saja memenangi Pilpres sebelumnya.