Pagi tadi saya hadir dan memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tapi ini bukan tentang Pilkada serentak. 27 November masih dua pekanan lagi.
Ini tentang pesta demokrasi generasi pasca Z (Post-Gen Z) di lingkungan pesantren Nurul Madany Cipanas Kabupaten Lebak, dimana saya menjadi bagian dari "warganya."
Hari ini mereka menyelenggarakan pesta tahunan memilih Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang dalam terminologi keorganisasian mereka dikenal dengan sebutan Ikatan Santri Nurul Madany (INSANY) dan Ketua Ambalan.
Kok bisa guru atau karyawan ikut memilih? Bukankah OSIS itu organisasi para siswa? Mengapa tidak?
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) inilah bentuk partikularisme budaya yang disepakati di lingkungan pesantren Nurul Madany dan mungkin juga dipraktikan di lembaga pendidikan lainnya. Sesuatu yang dalam skala makro sosiokultural pun dikenal dan diberi ruang untuk hidup.
Beralas perspektif ini pula mengapa sistem pemilihan umum memberi ruang pada model campuran di antara model mayoritarian dan proporsional. Pun demikian elemen-elemen khas yang banyak ditemukan dalam perhelatan elektoral di berbagai negara.
Partikularisme budaya adalah nilai-nilai khas pada entitas sosial tertentu yang patut dihormati keberadaannya sepanjang ia dipercaya dapat memberikan kemaslahatan bersama.
Pendidikan Demokrasi
Kembali ke soal pesta demokrasi Post-Gen Z. Antara Oktober-November ini jika tidak keliru merupakan rentang waktu dimana anak-anak SMA/SMK/MA menyelenggarakan rotasi kepemimipinan di masing-masing OSIS (atau nama lain) di sekolahnya.
Ketua dan pengurus lama yang sebagian besar umumnya berasal dari siswa-siswi kelas duabelas diganti dengan kepengurusan baru yang biasanya Ketua dan pengurus hariannya berasal dari kelas sebelas.
Kegiatan pemilihan Ketua OSIS ini penting sebagai bagian dari pendidikan demokrasi sekaligus mengenalkan praktik kehidupan politik pada level dasar, permulaan dan ruang lingkup yang sederhana.