Akhir Oktober lalu saya diminta kawan-kawan KPU Tangerang Selatan (Tangsel) untuk membantu memberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada para mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten (STIKBA). Sekitar seratusan mahasiswa (sebagian besar perempuan) hadir dan cukup antusias mengikuti kegiatan bertajuk KPU Tangsel Goes to Campus ini.
KPU Goes to Campus (dan Goes to School) merupakan program andalan KPU RI untuk mendorong partisipasi pemilih, khususnya kalangan generasi muda atau pemilih pemula (mahasiswa dan pelajar). Pun demikian yang diselenggarakan oleh KPU Tangsel bersama STIKBA. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran elektoral para mahasiswa sehingga mampu mendorong mereka untuk berperan serta secara aktif dalam Pemilu, setidaknya dengan menggunakan hak suaranya pada hari dan tanggal pemungutan suara Pilkada 27 November nanti.
Bagi saya sendiri, sosialisasi dan pendidikan pemilih Pilkada di perguruan tinggi tentu lebih dari sekedar menginformasikan soal-soal adiministrasi dan menjelaskan aspek-aspek teknikalitas kepemiluan. Misalnya ada berapa pasangan kandidat di daerahnya, berapa surat suara yang akan diterima setiap pemilih pada Pilkada serentak ini, bagaimana cara menggunakan hak pilih di bilik suara dan aspek-aspek teknikalitas lainnya.
Sosialisasi dan pendidikan pemilih di kalangan mahasiswa harus lebih dari itu. Baik metode yang digunakan maupun muatan materinya. Metode tentu harus bersifat dialogis yang dapat menstimulus lahirnya suasana diskursif yang kritis dan mendalam.
Sementara muatan materinya, selain berisi informasi-informasi kepemiluan, penting pula kepada mahasiswa diberikan wawasan politik elektoral yang lebih komprehensif. Wawasan yang dapat menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa sebagai bagian dari kalangan intelektual yang secara moral dituntut untuk memiliki civic skill dan political skill serta keberanian mengartikulasikan aspirasi publik dan nilai-nilai idealisme. Sekaligus sebaliknya, keberanian mengoreksi setiap bentuk penyimpangan dan kecurangan yang dapat mencederai perhelatan Pilkada.
Karena alasan itulah, kepada para calon tenaga kesehatan dan bidan itu saya sampaikan isu-isu penting yang bukan hanya diharapkan dapat mendorong mereka mau datang ke TPS dan memberikan suaranya dengan benar. Melainkan datang ke TPS dengan bekal literasi Pilkada yang memadai agar partisipasi mereka menjadi partisipasi yang bermakna, meaningful participation.
Sementara itu, jauh sebelum memberikan suara, masih cukup waktu bagi mereka untuk secara partisipatif ikut mendorong masyarakat pemilih (setidaknya di lingkungan-lingkungan terbatas seperti keluarga, pertemanan, atau komunitas) mau menjadi smart voters, para pemilih cerdas di perhelatan Pilkada serentak ini.
Smart Voters  Â
Nah, terkait para pemilih cerdas ini, ada satu tesis sederhana di kalangan ahli dan pegiat Pemilu. Bahwa pemimpin yang baik hanya akan lahir dari pilihan para pemilih yang baik. Jadi, jangan berharap suatu daerah bisa mendapatkan para pemimpin yang baik meski Pilkada sudah dilakukan berulang kali jika para pemilihnya sendiri masih betah berada di level illiterate sebagai pemilih, tak melek dan tak cerdas sebagai pemilih.
Maka kepada para mahasiswa peserta KPU Tangsel Goes to Campus ini saya tegaskan. Bahwa pemilih cerdas merupakan conditio sine qua non. Keberadaan mereka adalah syarat wajib untuk mewujudkan perhelatan Pilkada benar-benar menjadi sarana melalui cara apa para pemimpin daerah yang baik dan ideal dilahirkan. Lantas bagaimana seorang pemilih dapat dikategorikan sebagai pemilih cerdas?Â
Para pemilih cerdas adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai seputar Pilkada dan kepemiluan secara umum. Sebut saja literate secara elektoral, artinya mereka melek terhadap pengetahuan dan wawasan kepemiluan. Tidak perlu canggih dan mendalam, cukup melek berkenaan dengan aspek-aspek mendasar kepemiluan.