Tidak ada yang salah sebetulnya dengan kegiatan Menteri Desa ini. Bisa dibilang sangat baik bahkan. Tasyakuran (mungkin terkait dengan berkah jabatan barunya), memperingati Hari Santri sekaligus Haul tahun kedua almarhumah Ibundanya. Sungguh anak yang berbakti. Â
Menjadi masalah (dan jelas salah) adalah bahwa surat undangan bernomor: 19/UMM.02.03/X/2024 itu dibuat dengan menggunakan kop surat resmi Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal Republik Indonesia. Komplit dengan stemple resmi berlogo burung Garuda dan ditandatangani langsung oleh Yandri Susanto sebagai Menterinya.
Terkait blunder ini, Yandri sudah memberikan klarifikasi. Ia membenarkan kejadian tersebut dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Kepada Profesor Mahfud, salah seorang yang memberikan kritik dan mengingatkan dengan bijak, Yandri juga mengucapkan terima kasih.
"Terima Kasih kepada Pak Mahfud yang sudah mengkritik itu dan tidak akan kita ulangi lagi. Tetapi hari ini murni betul-betul untuk kegiatan Hari Santri dan haul emak kami, tidak ada unsur yang lain."
Dalam klarifikasinya Yandri mengatakan bahwa kegiatannya murni terkait peringatan Hari Santri dan Haulan Ibundanya. Sebelumnya bahkan ia terkesan tidak merasa bersalah karena kop surat kementerian yang dipimpinnya itu tidak digunakan untuk kepentingan politik atau hal-hal lain yang menyimpang.
Tanpa bermaksud "ngajarin" Pak Menteri, tindakan itu hemat saya tetap salah. Paling tidak ini melanggar etika-kepantasan karena menggunakan kop surat dan stempel kelembagaan resmi negara untuk kepentingan yang lebih bersifat pribadi. Kop surat dan stempel itu mestinya hanya digunakan untuk dan dalam konteks kegiatan-kegiatan resmi Kementerian yang dipimpinnya.
Bakti kepada ibunda itu perbuatan mulia, menyelenggarakan Haulan untuk almarhumah jelas menunjukan salah satu bakti mulia itu. Tetapi itu urusan pribadi. Tidak semestinya dicampuraduk dengan urusan dinas dan segala piranti kedinasannya, termasuk kop surat dan stempel. Karena hal ini potensial melanggar norma dan etika. Jika kemudian menjadi terbiasa, tidak mustahil suatu waktu akhirnya masuk ke area abuse of power, penyalahgunaan kewenangan. Â
Sebuah cerita menarik mungkin berguna sebagai bahan introspeksi dan koreksi Pak Menteri Desa dan siapa saja pejabat negara. Adalah Rabi'ah Hatta, putri kedua Bung Hatta, Wapres Pertama sekaligus Proklamator bangsa.
Satu hari Gemala yang sedang menimba ilmu melalui beasiswa Colombo Plan di School of Medical Record Administration, Sydney, Australia Circa 1976 itu bersurat kepada ayahandanya. Surat pribadi.
Sebelum mengirim surat melalui pos, Germala menyiapkan surat itu dengan balutan amplop serta cap Konsulat Jenderal RI. Langkah itu dilakukan Gemala agar surat tersebut cepat sampai di tangan ayahandanya. Dan surat memang cepat sampai. Tapi tidak lama berselang, Gemala menerima surat balasan dari ayahandanya. Dalam surat balasan itu, Bung Hatta menulis :
"Ada satu yang ayah mau peringatkan kepada Gemala, kalau menulis surat kepada ayah dan lain-lainnya, janganlah dipakai surat Konsulat Jenderal RI. Surat-Surat Gemala kan urusan pribadi, bukan surat dinas. Jadinya tidak baik dipakai surat Konsulat itu."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!