Di tengah euphoria menyambut Presiden baru sekaligus seliweran sorotan kritis publik terhadap postur kabinet dan figur-figur Menteri, Wamen, Kepala Badan dan sejumlah Utusan Khusus yang baru saja dilantik, tiga berita tak sedap menyangkut tiga orang Menteri merebak ke ruang publik.Â
Pertama, Profesor Yusril terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kedua, Natalius Pigai soal anggaran Kementerian yang dipimpinnya. Ketiga, Yandri Susanto soal undangan Haulan ibunya yang menggunakan kop surat resmi Kementerian Desa.
Sebelum kita diskusikan lebih jauh, penting untuk selalu dikemukakan di awal, bahwa setiap sorotan dan catatan kritis dari siapapun, percayalah, semuanya berangkat dari kepedulian dan keinginan untuk semata-mata melihat Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden baru menjadi lebih baik.
Terlebih lagi jika sorotan dan kritik ini berkenaan dengan sosok dan perilaku para pembantunya di Kabinet dan lingkaran istana yang akan menentukan apakah janji politik, komitmen dan tekad besar Presiden dapat direalisasikan atau justru sebaliknya, terseok-seok di perjalanan lantaran kinerja para pembantunya.
Penting untuk selalu disadari pula dengan sehormat-hormatnya, bahwa harapan rakyat demikian besar terhadap pemerintahan ini. Sementara kita tahu, bahwa problematika dan pekerjaan rumah warisan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf amatlah banyak dan tidak ringan. Belum lagi tantangan di depan yang pasti tidak akan lebih mudah menghadapi dan mengelolanya.
Pelanggaran HAM, Bukan Soal Berat atau Ringan
Blunder pertama dilakukan oleh Profesor Yusril, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Dalam sebuah pernyataan ia menegaskan bahwa peristiwa 1998 bukan merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia. Setelah mendapat respon negatif terutama dari pegiat HAM, Yusril kemudian mengklarifikasi pernyataannya.
"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," ungkapnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (CNN.Indonesia, 22 Oktober 2024)).
Selanjutnya Yusril menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu soal peristiwa 98. Begitu pula dengan pernyataan pemerintahan Presiden Jokowi yang mengakui pelanggaran HAM berat pada tahun 1998.
Terhadap pernyataan Yusril, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah membantah dengan tegas. Bahwa bedasarkan hasil penyelidikan pro-justitia terhadap sejumlah tragedi yang terjadi pada 1997 dan 1998 (yakni peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999) Komnas HAM menemukan adanya pembunuhan, penghilangan paksa, perampasan kebebasan, dan kemerdekaan fisik. Karena itu Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga ketiga peristiwa tersebut masuk kategori pelanggaran HAM berat (Tempo.co, 21 Oktober 2024).
Terlepas dari bantahan Komnas HAM, pernyataan Yusril merupakan blunder politik yang dapat menggerus kepercayaan dan optimisme publik terhadap pemerintahan Prabowo sekaligus terhadap integritas Kabinet, paling tidak karena tiga alasan berikut ini.