Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kabinet Prabowo, Hak Prerogatif dan Loyal Opposition

18 Oktober 2024   15:05 Diperbarui: 19 Oktober 2024   07:21 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 100 orang tokoh (dari berbagai bidang profesi) dipanggil Prabowo ke rumah pribadinya di Jalan Kertanegara Jakarta Selatan. Sebagian dari mereka adalah menteri-menteri yang masih aktif di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Sebagian lagi, dalam jumlah yang lebih besar nampaknya, adalah barisan pendukung dan relawan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sebagian lagi kalangan professional (akademisi, pebisnis dan praktisi independen), tokoh Ormas, mantan pejabat, bahkan juga selebritas (artis, mubaligh) dan mantan atlit.

Dari berbagai sumber informasi yang dapat diakses, mereka semua diproyeksikan untuk membantu Presiden di Kementerian (bisa Menteri atau Wakil Menteri), Badan dan/atau institusi-institui setingkat Menteri di lingkaran istana. 

Yang menarik hingga sesi terakhir pemanggilan tidak ada satupun kader Nasdem, PDIP dan PKS yang dipanggil. Kecuali Pramono Anung, namun berdasarkan beberapa sumber, dipanggil dalam konteks yang berbeda, bukan sebagai bakal calon Menteri.

Posisi Nasdem, PDIP dan PKS

Posisi sikap ketiga partai ini memang berbeda menjelang pengambilan sumpah/janji Prabowo sebagai Presiden. Nasdem, beberapa hari lalu sebelum Prabowo memanggil para kandidat Menteri/Wakil Menteri sudah menyatakan tidak akan bergabung dalam pemerintahan, kongkritnya tidak akan mengirimkan kadernya untuk posisi di Kabinet, meski tetap mendukung pemerintahan baru di bawah Prabowo.

Sementara itu PDIP kabarnya masih akan menunggu pertemuan Prabowo-Megawati. Suatu pertemuan yang pastinya akan membahas pilihan-pilihan sikap politik PDIP dalam relasi kekuasaan pemerintahan baru nanti. Peluang masuk atau di luar pemerintahan nampaknya masih fifty-fifty. Bisa di dalam dan menjadi bagian dari pemerintahan, bisa juga di luar dan menjadi oposisi di parlemen sebagaimana diharapkan sebagian publik.

Yang "agak laen" PKS. Dari partai yang nampaknya sudah kelelahan menjadi oposisi ini, yang sudah berulangkali menyatakan diri akan menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo, terutama sejak meninggalkan Anies pada saat prakandidasi Pilgub Jakarta, tidak ada satupun kadernya yang turut dipanggil. Tetapi berdasarkan pernyataan Prabowo sendiri, PKS sebetulnya telah mengusulkan orang, bukan kader organik, tapi memiliki kedekatan dengan PKS. Dia seorang professional.

Di tengah persiapan Prabowo menyusun kabinet pemerintahannya yang menuai banyak kritik dan satire dari berbagai kalangan, menarik mencermati posisi ketiga partai tersebut di atas. Boleh jadi juga lebih berguna mendiskusikan posisi ketiga partai ini dalam koteks relasi kekuasaan mendatang ketimbang "mempersoalkan" pilihan-pilihan Prabowo, yang adalah merupakan hak prerogratifnya sebagai Presiden terpilih.

Sebagai Presiden terpilih, Prabowo memang memiliki hak ekslusif untuk menyusun kabinet pemerintahannya. Termasuk hak untuk menerima masukan dari siapapun. Bahwa kelak, dalam beberapa waktu kedepan setelah pemerintahan berjalan ada figur-figur yang tidak sesuai harapannya sebagai Presiden, tidak menunjukkan kinerja yang baik, atau ada figur toxic seperti pernah diingatkan Luhut Panjaitan bebebarapa bulan lalu, toh Prabowo bisa dengan mudah mereshufle dan menggantinya dengan sosok lain yang lebih kompeten, professional, berintegritas dan tentu saja dapat diandalkan.

Jadi, sekarang berikan kesempatan terlebih dahulu kepada Prabowo untuk memulai tugas konstitusionalnya sebagai pemegang mandat rakyat secara leluasa. Namun tetap sambil dikawal dengan kritis bagaimana nanti perjalanan pemerintahannya pasca pelantikan mereka. Nah, dalam kerangka ini pula, mendiskusikan posisi Nasdem, PDIP dan PKS menjadi penting.

Oposisi yang Loyal 

Di atas sudah disinggung bahwa Nasdem tidak mengirimkan kadernya untuk masuk kabinet, dan ini fix sudah setelah tidak ada satupun kader Surya Paloh ini dipanggil Prabowo. Namun sikap ini disertai dengan pernyataan bahwa Nasdem tetap akan mendukung pemerintahan Prabowo.

Pernyataan yang dikemukakan sejumlah elit Nasdem itu cenderung ambigu, abu-abu dan terdengar seperti setengah hati. Padahal dalam tradisi demokrasi keberadaan partai-partai di parlemen yang menjalankan fungsi oposisional dalam bentuk "perlawananan atau penentangan" terhadap kebijakan-kebijakan partai atau koalisi partai yang memerintah adalah keniscayaan alamiah dan karenanya tidak bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan.

Dalam literatur demokrasi fenomena itu dikenal dengan istilah "oposisi yang loyal." Konsep ini merujuk pada partai-partai yang tidak memerintah tetapi mendapatkan kursi di parlemen. Mereka memiliki hak untuk menentang kebijakan atau tindakan kabinet yang sedang menjabat, namun tetap loyal kepada sumber-sumber formal kekuasaan pemerintah seperti Presiden dan para Menterinya (dalam sistem Presidensial) atau Perdana Menteri dan Anggota Kabinetnya (dalam tradisi Parlementer).

Konsep "oposisi yang loyal" digunakan pertama kali (?) oleh John Hobhouse dalam sejarah parlemen Inggris. Hobhouse menyebutnya dengan istilah His Majesty's Loyal Opposition (1826). Konsep ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa anggota Parlemen di badan legislatif suatu negara dapat menentang kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, sambil tetap menghormati otoritas negara yang lebih tinggi dan kerangka kerja yang lebih besar di mana demokrasi beroperasi. Dengan demikian, konsep ini memperbolehkan perbedaan pendapat yang diperlukan untuk demokrasi yang berfungsi tanpa takut dituduh melakukan pengkhianatan.

Penggunaan kategoris konsep "oposis yang loyal" ini penting berdasarkan asumsi (atau sebagiannya fakta), bahwa di luar parlemen selalu dimungkinkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang memainkan fungsi "0posisi tak loyal." Mereka bukan hanya menentang apapun kebijakan pemerintah, tetapi juga menolak keberadaan dan keabsahan politik pemerintah. Ini yang harus dicegah dalam kepolitikan kita.

Beralas pemikiran itulah mestinya Nasdem tidak perlu ragu untuk mengemukakan secara terbuka sikap politiknya dalam relasi kekuasaan kedepan pasca pengambilan sumpah/jabatan Prabowo sebagai Presiden dan pelantikan jajaran kabinetnya. Sikap yang demikian ini juga potensial bisa memberikan sedikitnya dua dampak positif berikut ini.

Bagi Nasdem sendiri sikap yang demikian akan diapresiasi publik sebagai bentuk integritas partai politik. Nasdem akan dinilai publik, terutama oleh para pemilih Anies-Muhaimin sebagai sikap konsisten, istiqomah di jalan perubahan yang telah mereka cetuskan sendiri dan mengajak rakyat untuk mendukungnya di sepanjang perhelatan Pilpres lalu.

Sementara bagi masyarakat luas (yang semakin faham betapa pentingnya keberadaan oposisi formal di parlemen), sikap yang demikian akan menghidupkan banyak harapan. Bahwa rakyat tidak akan dibiarkan berjuang sendiri di luar lembaga formal kenegaraan manakala ad a rancangan kebijakan pemerintah yang potensial merugikan dan tak memihak kepentingan rakyat.

Harapan lainnya potensi umum koruptif dari setiap kekuasaan (siapapun yang jadi pemimpinnya) atau abuse of power dari pemerintahan Prabowo dapat diawasi dan dijaga dengan ketat. Dan ujungnya, tradisi berdemokrasi yang saling menghargai keragaman pandangan, perbedaan sikap, kemajemukan pilihan serta bentuk-bentuk artikulasinya dapat terus dinyalakan dalam lanskap kepolitikan bangsa ini ke depan.

Tugas Mulia dan Terhormat

Dengan alas pikir dan argumentasi terurai di atas, PDIP mestinya juga tidak perlu ragu lagi untuk mengambil pilihan sikap politik yang sama. Apalagi sampai terkesan seperti "mengemis" untuk bisa mempertemukan Megawati dengan Prabowo guna melakukan lobi politik yang ujung-ujungnya adalah transaksi kekuasaan.

Biarkan Prabowo menggunakan hak prerogratifnya sebagai penerima mandat mayoritas rakyat. Dan jadilah partai yang tegak lurus dengan konstitusi sebagaimana sudah ditunjukkan oleh Megawati dalam konteks Pilpres 2024, konsisten dengan sikap politik elektoral sekaligus amanah menjaga suara rakyat serta memperjuangkan aspirasi mereka yang dititipkan kepadanya melalui Ganjar-Mahfud.

Pun demikian halnya dengan PKS. Dengan alas pikir dan argumentasi yang sama, hemat saya PKS akan lebih maslahat dan memberikan kemanfaat lebih besar bagi bangsa dan negara jika berada di luar pemerintahan. Lalu bersama-sama dengan Nasdem dan PDIP memainkan fungsi oposisional atau penyeimbang kekuasaan di parlemen.

Menjadi oposisi di parlemen pada hakikatnya juga tugas dan pekerjaan politik yang mulia dan terhormat. Karena melalui fungsi-fungsi oposisionalnya, mereka menjadi pengingat bagi kemungkinan kekuasaan bertindak sesat dan melakukan penyimpangan. Menjadi pencegah bagi kemungkinan lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang tidak memihak pada kepentingan bangsa dan negara.

Dan PDIP-PKS, keduanya jelas memiliki kapasitas (baik kelembagaan maupun aktor-aktor politiknya) serta pengalaman yang dapat diandalkan dalam mewujudkan relasi kekuasaan yang seimbang dan memberikan kemaslahatan. Keseimbangan kekuasaan ini penting dibangun dan diwujudkan untuk menjaga agar potensi kembalinya otoriatarainisme dalam kepolitikan kita bisa dicegah, dan demokrasi yang sudah terkonsolidasi ini dapat terus dihidupkan dan dikembangkan.

Sekali lagi sebagai penegasan agar tak salah memahami. Oposisi yang dimaksud dalam diskusi ini adalah "oposisi yang loyal." Oposisi yang berada divdalam bingkai sistem kebangsaan dan kenegaraan. Oposisi yang bukan sekedar menghormati, tetapi juga menerima keabsahan politik kekuasaan yang telah menerima mandat mayoritas rakyat.

Sebagaimana pernah dikemukakan dengan sangat lugas oleh Michael Ignatieff, seorang pemimpin oposisi di parlemen Kanada dalam sebuah orasinya di hadapan sivitas akademika Universitas Stanford tahun 2012. Oposisi yang loyal memang menentang kebijakan pemerintah, tetapi itu untuk kepentingan demokrasi sendiri, oleh karenanya:

"... pemerintah tidak punya hak untuk mempertanyakan kesetiaan pihak-pihak yang menentang mereka. Pihak-pihak yang menentang tetaplah warga negara dari negara yang sama, rakyat dari negara yang sama, dan pelayan hukum yang sama." 


Analisis politik terkait:

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/670c784c34777c2739596383/transisi-janji-kampanye-dan-beban-politik-prabowo

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66fdca46ed641524c0527322/membincang-kembali-pentingnya-kehadiran-oposisi-di-parlemen

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/67068df434777c4a484d6742/debat-pilgub-dan-bayang-bayang-kompromi-politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun