Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kabinet Prabowo, Hak Prerogatif dan Loyal Opposition

18 Oktober 2024   15:05 Diperbarui: 19 Oktober 2024   07:21 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan yang dikemukakan sejumlah elit Nasdem itu cenderung ambigu, abu-abu dan terdengar seperti setengah hati. Padahal dalam tradisi demokrasi keberadaan partai-partai di parlemen yang menjalankan fungsi oposisional dalam bentuk "perlawananan atau penentangan" terhadap kebijakan-kebijakan partai atau koalisi partai yang memerintah adalah keniscayaan alamiah dan karenanya tidak bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan.

Dalam literatur demokrasi fenomena itu dikenal dengan istilah "oposisi yang loyal." Konsep ini merujuk pada partai-partai yang tidak memerintah tetapi mendapatkan kursi di parlemen. Mereka memiliki hak untuk menentang kebijakan atau tindakan kabinet yang sedang menjabat, namun tetap loyal kepada sumber-sumber formal kekuasaan pemerintah seperti Presiden dan para Menterinya (dalam sistem Presidensial) atau Perdana Menteri dan Anggota Kabinetnya (dalam tradisi Parlementer).

Konsep "oposisi yang loyal" digunakan pertama kali (?) oleh John Hobhouse dalam sejarah parlemen Inggris. Hobhouse menyebutnya dengan istilah His Majesty's Loyal Opposition (1826). Konsep ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa anggota Parlemen di badan legislatif suatu negara dapat menentang kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, sambil tetap menghormati otoritas negara yang lebih tinggi dan kerangka kerja yang lebih besar di mana demokrasi beroperasi. Dengan demikian, konsep ini memperbolehkan perbedaan pendapat yang diperlukan untuk demokrasi yang berfungsi tanpa takut dituduh melakukan pengkhianatan.

Penggunaan kategoris konsep "oposis yang loyal" ini penting berdasarkan asumsi (atau sebagiannya fakta), bahwa di luar parlemen selalu dimungkinkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang memainkan fungsi "0posisi tak loyal." Mereka bukan hanya menentang apapun kebijakan pemerintah, tetapi juga menolak keberadaan dan keabsahan politik pemerintah. Ini yang harus dicegah dalam kepolitikan kita.

Beralas pemikiran itulah mestinya Nasdem tidak perlu ragu untuk mengemukakan secara terbuka sikap politiknya dalam relasi kekuasaan kedepan pasca pengambilan sumpah/jabatan Prabowo sebagai Presiden dan pelantikan jajaran kabinetnya. Sikap yang demikian ini juga potensial bisa memberikan sedikitnya dua dampak positif berikut ini.

Bagi Nasdem sendiri sikap yang demikian akan diapresiasi publik sebagai bentuk integritas partai politik. Nasdem akan dinilai publik, terutama oleh para pemilih Anies-Muhaimin sebagai sikap konsisten, istiqomah di jalan perubahan yang telah mereka cetuskan sendiri dan mengajak rakyat untuk mendukungnya di sepanjang perhelatan Pilpres lalu.

Sementara bagi masyarakat luas (yang semakin faham betapa pentingnya keberadaan oposisi formal di parlemen), sikap yang demikian akan menghidupkan banyak harapan. Bahwa rakyat tidak akan dibiarkan berjuang sendiri di luar lembaga formal kenegaraan manakala ad a rancangan kebijakan pemerintah yang potensial merugikan dan tak memihak kepentingan rakyat.

Harapan lainnya potensi umum koruptif dari setiap kekuasaan (siapapun yang jadi pemimpinnya) atau abuse of power dari pemerintahan Prabowo dapat diawasi dan dijaga dengan ketat. Dan ujungnya, tradisi berdemokrasi yang saling menghargai keragaman pandangan, perbedaan sikap, kemajemukan pilihan serta bentuk-bentuk artikulasinya dapat terus dinyalakan dalam lanskap kepolitikan bangsa ini ke depan.

Tugas Mulia dan Terhormat

Dengan alas pikir dan argumentasi terurai di atas, PDIP mestinya juga tidak perlu ragu lagi untuk mengambil pilihan sikap politik yang sama. Apalagi sampai terkesan seperti "mengemis" untuk bisa mempertemukan Megawati dengan Prabowo guna melakukan lobi politik yang ujung-ujungnya adalah transaksi kekuasaan.

Biarkan Prabowo menggunakan hak prerogratifnya sebagai penerima mandat mayoritas rakyat. Dan jadilah partai yang tegak lurus dengan konstitusi sebagaimana sudah ditunjukkan oleh Megawati dalam konteks Pilpres 2024, konsisten dengan sikap politik elektoral sekaligus amanah menjaga suara rakyat serta memperjuangkan aspirasi mereka yang dititipkan kepadanya melalui Ganjar-Mahfud.

Pun demikian halnya dengan PKS. Dengan alas pikir dan argumentasi yang sama, hemat saya PKS akan lebih maslahat dan memberikan kemanfaat lebih besar bagi bangsa dan negara jika berada di luar pemerintahan. Lalu bersama-sama dengan Nasdem dan PDIP memainkan fungsi oposisional atau penyeimbang kekuasaan di parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun