Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Manfaat Kampanye Deliberatif

7 Oktober 2024   19:25 Diperbarui: 8 Oktober 2024   05:38 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah deliberasi atau deliberatif berasal dari kata deliberatio (Latin), artinya konsultasi, menimbang-nimbang, atau musyawarah. Istilah ini untuk pertama kalinya dipromosikan oleh Joseph Bessete dalam kaitan diskursus demokrasi. Kemudian dielaborasi lebih mendalam dan operasional dalam konsep demokrasi deliberatif oleh Jurgen Habermas.

Secara sederhana demokrasi deliberatif dimaknai sebagai proses pembahasan, diskusi, musyawarah sekaligus pengujian secara publik terhadap berbagai isu sebelum dirumuskan dan ditetapkan menjadi keputusan politik atau kebijakan politik. 

Habermas menyebut proses ini dengan istilah "diskursus publik" yang didalamnya menekankan pentingnya proses komunikasi dua arah yang terbuka dan intens antara pemerintah (negara) dengan publik (rakyat).

Demokrasi Deliberatif 

Konsep demokrasi deliberatif lahir dari keprihatinan para ahli yang melihat proses pengambilan keputusan-keputusan dan konsensus-konsensus politik yang dilakukan semakin elitis dan teknoratik. Cara-cara ini cenderung menegasikan peran-peran partisipatif publik dalam berbagai urusan yang justru bakal mengikat mereka ketika suatu keputusan politik diambil oleh negara.

Ratusan tahun silam model demokrasi deliberatif itu sesungguhnya sudah tumbuh benih-benihnya, baik dalam sejarah peradaban Yunani Kuno maupun dalam sejarah peradaban politik Islam, khususnya di era kepemimpinan politik Khulafa al Rasyidin. Kala itu persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibahas dan didiskusikan bersama secara langsung sebelum Raja/Kaisar (era Yunani) atau Khalifah (era Khulafa al Rasyidin) memutuskannya sebagai kebijakan publik.

Habermas percaya bahwa kebijakan negara yang didasarkan pada wacana publik yang jernih dan obyektif, yang dikomunikasik, didiskusikan dan diartikulasikan dengan bebas dan tanpa rekayasa akan jauh lebih berkualitas ketimbang kebijakan-kebijakan yang diproduk secara politik dan teknokratik semata. Karena itu ia sangat menganjurkan model yang tadi sudah disinggung, yakni diskursus publik atau musyawarah (?) dalam terminologi khas kita.

Kampanye Deliberatif 

Dalam sejarah kampanye elektoral kita, secara konseptual model deliberatif ini telah coba dipraktikan melalui bentuk kampanye dialogis atau tatap muka. Tetapi kita tahu, dalam praktiknya kampanye dialogis sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan Pilkada lebih bersifat seremoni, formalitas, dan sekadar menunaikan kewajiban normatif belaka.

Karakter diskursif, membedah dan menguji gagasan para kandidat dalam suasana yang sarat dengan pertukaran gagasan-gagasan kritis jarang --jika tidak ada sama sekali---terjadi dalam kampanye-kampanye dialogis atau tatap muka. Padahal inilah kesempatan baik yang mestinya dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memaparkan visi misi dan gagasan-gagasan programatiknya guna meyakinkan para pemilih perihal keseriusan, kapasitas dan kapabilitasnya sebagai calon pemimpin daerah.

Di sisi lain, publik mestinya juga memanfaatkan forum dialogis itu untuk menguji para kandidat Kepala atau Wakil Kepala Daerahnya. Perihal apapun yang diperlukan dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Mulai dari aspek integritas, kompetensi, pengalaman, hingga komitmennya sebagai bakal pemimpin daerah.

Bahkan ada kecenderungan para kandidat dan tim pemenangannya sendiri justru menghindari model kampanye deliberatif ini. Paling tidak, hingga sejauh ini belum terbaca ada pasangan kandidat di satu atau beberapa daerah yang menginisiasi atau melaksanakan model kampanye deliberative.

Model kampanye sebagaimana pernah dilakukan Anies ketika menggelar program "Desak Anies" atau Prof. Mahfud yang menggelar program "Tabrak Prof" pada Pilpres 2024 lalu misalnya, merupakan dua model kampanye deliberatif yang menarik dan pantas diapresiasi dari perhelatan Pilpres 2024, sekaligus sebetulnya layak dipraktikan di fase kampanye Pilkada ini.

Dialog Inklusi dan Setara 

Secara hopitetik kampanye deliberatif pada perhelatan Pilkada dapat memberikan banyak manfaat dan sisi positif, baik bagi para kandidat maupun warga masyarakat. Berikut beberapa manfaat dan sisi positifnya.

Pertama, kampanye deliberatif memungkinkan terbangunnya arus dua arah komunikasi politik yang setara dan inklusif, yakni antara kandidat dengan warga (pemilih). Dalam tradisi demokrasi komunikasi dua arah ini penting untuk saling mengetahui dan memahami kebutuhan masing-masing pihak. Sekaligus mencarikan solusi bersama atas problematika aktual yang dihadapi.

Dibandingkan dengan bentuk-bentuk kampanye konvensional seperti pemasangan alat peraga serupa baliho, spanduk, poster dan sejenisnya, kampanye deliberatif jauh akan lebih efektif sebagai media penyampai pesan dan pertukaran gagasan. Merujuk Habermas, forum-forum dimana kampanye deliberatif digelar merupakan ruang publik yang menciptakan kesetaraan dan argumentasi rasional. 

Kedua, didalam kampanye deliberatif kehadiran warga dihargai sebagai bagian dari pemegang saham politik kebijakan dan suara-suara publik dapat diartikulasikan secara terbuka dan jernih. Dalam konteks ini, para kandidat bisa mendengar dan memperoleh masukan yang jauh lebih realistis dan obyektif sebagai bahan perencanaan dan pengambilan berbagai kebijakan politik kelak jika mereka diberikan amanah.

Penting disadari oleh para kandidat dan tim pemenangannya masing-masing,  bahwa realitas permasalahan yang dihadapi masyarakat di masing-masing daerah itu pastilah amat kompleks. Dan sangat mungkin kompleksitas permasalahan atau kebutuhan warga ini belum seluruhnya teradopsi didalam visi misi dan program para kandidat. Kampanye deliberatif membuka peluang terbongkarnya isu-isu mendesak yang mungkin belum tersentuh di dalam visi misi dan program mereka.

Menguji Gagasan, Mengontrol Dominasi Partai

Ketiga, melalui kampanye deliberatif, tawaran gagasan dan program para kandidat bisa diuji secara jernih, kritis dan obyektif. Terlebih lagi jika kampanye model ini diselenggarakan di kampus yang dihadiri oleh para civitas akademika, ahli dan kalangan intelektual. Atau di komunitas-komunitas independen dan kritis yang berasal dari berbagai lintas elemen civil society.

Dengan hanya mengandalkan media-media luar ruang yang lebih sekedar mempertontonkan naluri narsistik para kandidat, atau kampanye terbuka yang cenderung lebih merupakan ajang pamer kekuatan massa dan mobilisasi, maka relevansi, kompatibilitas serta kekuatan gagasan dan program para kandidat tidak mungkin bisa diuji.

Terakhir, kampanye deliberatif sejatinya juga dapat membebaskan demokrasi elektoral dari pasungan partai politik melalui para kandidatnya yang cenderung lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan kebutuhan politik parsial. Atau dengan kata lain kampanye delibertaif dapat menjadi media publik untuk mengontrol dominasi partai atas proses dan hasil Pilkada. 

Sekurang-kurangnya, kampanye deliberatif bisa menjadi penyeimbang terhadap gagasan-gagasan terselubung atau agenda-agenda tersembunyi partai politik yang dititipkan melalui para kandidat yang justru tidak selalu kompatibel dan sejalan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah.   

Pada saat yang sama, kampanye deliberatif juga dapat mengontrol atau lebih tepatnya mencegah potensi penggunaan politik populisme oleh para kandidat beserta partai-partai koalisi pendukungnya. Sebut saja misalnya pemanfaatan sentimen-sentimen primordial untuk meraih simpati dan dukungan pemilih.

Politik populisme adalah model kepemimpinan politik dan pengambilan keputusan politik yang lebih mengutamakan arus suara massa yang berkembang, meski berlawanan dengan naral sehat, tidak realistis, jauh dari kebutuhan nyata, bahkan potensial bisa membahayakan kehidupan bersama. Politik populisme ini bisa muncul bukan hanya pada saat pemerintahan daerah baru terbentuk nanti, tetapi juga pada fase kegiatan kampanye ini.

***

Analisis seputar Pilkada lainnya :

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66fb920534777c751726fff3/head-to-head-airin-ade-vs-andra-dimyati

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66f979f2ed641521bd78c2f4/manfaat-dan-pengaturan-kampanye-pilkada-di-kampus

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66f605dac925c40b6c79c773/hak-publik-dalam-kegiatan-kampanye-pilkada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun