Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Manfaat dan Pengaturan Kampanye Pilkada di Kampus

29 September 2024   23:10 Diperbarui: 30 September 2024   00:05 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.harianjogja.com

Beberapa pekan lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan penyelenggaraan kampanye Pilkada di kampus.  Pelegalan ini tertuang dalam putusan perkara gugatan judicial review Nomor 69/PUU-XXII/2024 yang dibacakan 20 Agustus 2024.

Dalam permohonannya, para pemohon (dua orang mahasiswa Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria) meminta MK untuk menyatakan Pasal 69 huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016 Pilkada terkait frasa "tempat pendidikan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu."

Seacara substantif gugatan ini sama dengan perkara Nomor 65/PUU-XII/2023 terkait kampanye Pemilu 2024 yang juga dikabulkan MK pada Agustus 2023 lalu. Intinya para pemohon meminta agar MK membolehkan penyelenggaraan kampanya di lingkungan perguruan tinggi.

Sebagaimana diungkapkan oleh Guntur Hamzah, hakim Konstitusi, bahwa substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023.

Oleh karena itu tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo. Selain itu, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes. Maksudnya, pelegalan kampanye di kampus berlaku baik untuk Pemilu maupun Pilkada.

 

Pentingnya Kampanye Pilkada di Kampus 

Diskursus perihal kampanye Pemilu atau Pilkada di lembaga pendidikan khususnya kampus sebetulnya sudah lama berkembang. Setidaknya isu ini selalu muncul setiap menjelang perhelatan Pemilu dan Pilkada.

Salah satu soal diskusus adalah adanya kekhawatiran jika ini dilakukan akan lebih banyak menimbulkan masalah dan kemudhoratan. Misalnya terjadinya penularan wabah polarisasi di lingkungan lembaga pendidikan, gontok-gontokan akibat orientasi dan afiliasi pilihan politik yang berbeda yang kemudian berdampak pada terganggunya kondusifitas proses pembelajaran dan kehidupan di lingkungan kampus.

Kekhawatiran tersebut tentu bisa difahami, karena bagaimanapun kampanye adalah bentuk kegiatan politik praktis. Para peserta Pilkada akan hadir sebagai kompetitor yang berusaha merebut simpati dan dukungan politik elektoral. Namun demikian, dengan berbagai argumen, kampanye di lingkungan kampus tetap layak dipertimbangkan, bahkan disambut positif.

Pertama, kampus merupakan entitas orang-orang dewasa yang sudah terbiasa mengedepankan nalar intelektual dalam merespon dan menyikapi setiap fenomena di sekitarnya. Kampanye Pilkada sebagai sebuah fenomena elektoral mestinya juga bisa direspon dan disikapi dengan nalar intelektual orang-orang dewasa. Nalar ini akan menjadi filter pengarah bagi civitas akademika utamanya para mahasiswa.

Dengan demikian kekhawatiran misalnya potensi terpapar virus negatif dari kegiatan kampanye yang sejatinya berisi kontestasi dan kompetisi politik mestinya dapat dicegah atau dihindari ketika para mahasiswa merespon dan menyikapi gagasan dan tawaran-tawaran program para kandidat.

Kedua, civitas akademika perguruan tinggi mayoritas (jika tidak semua) merupakan warga negara dewasa yang telah memiliki hak pilih sesuai peraturan perundangan. Mahasiswa sebagai segmen civitas akademika paling muda pada umumnya telah mencapai usia 17 atau 18 tahun.

Dengan demikian mereka bukan saja berhak memilih pada waktunya nanti 27 November 2024. Tetapi juga berhak atas segala informasi kepemiluan agar menjadi pemilih yang literate, cerdas dan melek Pilkada. Dan kampanye sejatinya bukan hanya ajang penyampaian visi-misi dan program para kandidat, tetapi juga sekaligus menghadirkan muatan-muatan informasi kepemiluan sekaligus kepolitikan daerah yang dibutuhkan.

Ketiga, selain sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kampus sesungguhnya juga merupakan salah satu pusat perkaderan kepemimpinan generasi muda yang kelak bakal mewarisi dan menjalankan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Kampanye Pilkada dimana para kandidat memaparkan gagasan, visi dan misi programatik mereka akan menjadi bagian dari muatan pembelajaran sekaligus pengayaan wawasan dan pengetahuan seputar isu-isu politik, pemerintahan dan pembangnuan daerah yang baik bagi mahasiswa.

Pada saat yang sama, para mahasiswa bahkan juga bisa memberikan feedback, bisa berupa aspirasi, kepentingan, kegelisahan sosial sebagai anak-anak muda, bahkan catatan-catatan kritis terhadap gagasan dan visi-misi para kandidat itu manakala dianggap perlu diartikulasikan.

Ringkasnya, kampanye di kampus bisa menjadi sarana pendidikan, pencerahan sekaligus pendewasaan politik bagi kalangan civitas akademika, khsusunya para mahasiswa.

Dengan demikian, dalam konteks politik elektoral Pilkada, mereka diharapkan akan menjadi bagian dari pemilih-pemilih cerdas dan rasional untuk dirinya sendiri sekaligus bisa menjadi "duta-duta pemilih cerdas dan rasional" bagi masyarakat dan lingkungannya. Selain tadi itu, melalui interaksi langsung dengan para kandidat dalam ajang kampanye mereka bisa "belajar" dan menyerap banyak ilmu, wawasan dan pengalaman untuk kepentinga masa depan mereka. 

Nir Atribut, Fokus Dialog

Perihal kekhawatiran terhadap potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh kampanye Pilkada di kampus, secara teknis KPU sudah mengatur sedemikian rupa melalui norma-norma ketentuan di dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye  Pilkada. Beberapa ketentuan yang penting untuk segera disosialisasikan secara massif ke kalangan civitas akademika antara lain berikut ini.

Dari aspek metode, regulasi kampanye Pilkada hanya memberikan tiga opsi bagi kampus yang akan menyelenggarakan, yakni pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog (Pasal 58 ayat 4). Di dalam Pasal 57 bahkan disebutkan para kandidat dan peserta tidak diperkenankan membawa atribut kampanye (ayat 3) dan dilarang pula melibatkan anak-anak (ayat 3).

Selain dimaksudkan agar tidak mengganggu fungsi dan peruntukan perguruan tinggi (Pasal 56 ayat 3) sebagai lembaga pendidikan, metode tersebut nampaknya didasarkan pada pertimbangan soal kepantasan atau kecocokan oleh KPU.

Sebagai lembaga pendidikan sekaligus rumah kalangan civitas akademika dan intelektual, bentuk dan metode kampanye dialogis dengan peserta yang relatif terbatas tentu saja akan lebih efektif dan produktif. Kampanye dialogis akan menghadirkan lebih banyak diskursus dan pertukaran gagasan antara kandidat dan timnya dengan peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen.

Masih dalam rangka menjaga marwah akademik dan kondusifitas perguruan tinggi sebagai lemabag pendidikan, kampanye Pilkada di kampus juga hanya bisa dilakukan pada hari Sabtu dan/atau Minggu (Pasal 58 ayat 3).

Menjaga Marwah dan Imparsialitas Kampus 

Ketentuan penting lainnya terkait pengaturan kampanye Pilkada di kampus adalah soal perizinan dan prinsip-prinsip demokrasi elektoral yang mendasari penerbitan perizinan dan pelaksanaan kampanyenya.

Di dalam Pasal 57 ayat (3) disebutkan, bahwa kampanye harus berdasarkan izin dari penanggungjawab perguruan tinggi. Kemudian pada Pasal 59 ayat (3) ditegaskan bahwa yang dimaksud penanggungjawab ini adalah Rektor untuk Universitas dan Institut, Ketua untuk Sekolah Tinggi, serta Direktur untuk Politeknik, Akademi dan Akademi Komunitas.

Pengaturan dan penegasan secara eksplisit perihal siapa penanggungjawab yang memiliki otoritas pemberian izin ini tentu penting. Pertama untuk memastikan penyelenggaraan kampanye tidak menjadi liar, asal helat. Kedua untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan fungsi kampus oleh sebab satu dan lain faktor.  Misalnya karena faktor kedekatan kandidat dengan pimpinan pimpinan kampus atau pimpinan yayasan untuk kampus-kampus swasta yang bertebaran di berbagai daerah.

Dan yang tidak kalah penting adalah dasar pemberian izin sekaligus pelaksanaan kampanyenya. Di dalam Pasal 59 ayat (2) dijelaskan secara eksplitis, bahwa :

"Penanggung jawab perguruan tinggi dalam memberikan izin kegiatan Kampanye harus menerapkan prinsip adil, terbuka, dan proporsional, serta tidak berpihak kepada salah satu Pasangan Calon." 

Ketentuan tersebut tentu saja berlaku baik bagi kampus-kampus PTN maupun PTS untuk menjaga marwah dan memastikan imparsialitas politik perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan, ruang entitas civitas akademika sekaligus rumah para intelektual yang sejatinya memang harus senantiasa berada di posisi netral dan independen dalam lanskap dinamis tarik menarik kepentingan kekuasaan.

Artikel terkait :

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66f605dac925c40b6c79c773/hak-publik-dalam-kegiatan-kampanye-pilkada

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66ef918b34777c65c0251676/kampanye-dan-penguatan-literasi-pilkada

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun