Dalam frasa yang simpel dan asertif, Westholm et al. (1990) menyatakan, bahwa literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.
Dalam kerangka makro literasi politik inilah terma literasi Pilkada diletakkan. Pemilih dalam konteks ini tidak hanya menjadi obyek target kampanye, melainkan juga harus menjadi subyek dalam kegiatan kampanye, atau secara umum dalam keseluruhan perhelatan Pilkada. Sebagai subyek, para pemilih dituntut untuk dapat memainkan peran-perannya secara aktif, efektif sekaligus konstruktif dalam Pilkada.
Dengan merujuk dan mengadaptasi pemikiran Mudhok (2005) mengenai literasi politik, untuk sampai pada level literate (melek) secara elektoral, para pemilih penting memiliki sedikitnya 4 (empat) aspek kriteria berikut.
Pertama, sikap hirau dan peduli terhadap rangkaian kegiatan Pilkada. Kedua, kemampuan mengembangkan otonomi politik sebagai pemilih. Ketiga, pengetahuan yang memadai seputar Pilkada. Keempat, antusiasme dan kesungguhan untuk berpartisipasi, mengambil peran aktif dan konstruktif dalam rangkaian kegiatan Pilkada.
Dalam konteks kegiatan kampanye Pilkada, dengan empat kapasitas dan kompetensi itu, sebagai subyek para pemilih dimungkinkan bukan saja dapat membaca, memahami dan mengambil keputusan secara kritis terhadap opsi-opsi tawaran para peserta Pilkada. Tetapi juga dapat berperan aktif dalam ikhtiar-ikhtiar saling memperkuat literasi Pilkada dengan sesama pemilih. Sekaligus juga dapat turut serta secara aktif mencegah berbagai potensi penyimpangan atau malpraktek dalam aktivitas kampanye.
Peran Civil Society dan Intelektual PublikÂ
Lantas siapa saja yang relevan memikul tanggungjawab atas tugas penting memperkuat dan meningkatkan literasi Pilkada para pemilih ini, serta bagaimana strategi dan upaya yang bisa dilakukannya ?
 Secara normatif dan teknis, tentu saja penyelenggara Pilkada terutama KPU merupakan pihak yang paling bertanggungjawab melaksanakan kewajiban dan tugas penting ini.
Dan untuk melaksanakan tugas ini, KPU telah dibekali perangkat sumberdaya pelaksanaannya. Mulai regulasi, anggaran biaya, formulasi metode dan bentuk kegiatan, hingga struktur kelembagaan berupa Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat (Sosdiklih Parmas).
Melalui Divisi Sosdiklih Parmas itulah KPU di berbagai daerah kini tengah aktif menggelar berbagai bentuk dan metode sosialisasi dan pendidikan pemilih. Berbagai segmen masyarakat disasar, beragam kegiatan digelar.
Tetapi untuk memperkuat literasi politik Pilkada, KPU saja tentu tidak cukup. Karena itu diperlukan peran-peran aktif stakeholders Pilkada lainnya. Misalnya Pemerintah Daerah, mitra-mitra pemerintah di daerah seperti Ormas dan pers lokal, dan sudah barang pasti Partai Politik para pengusung Paslon Kada Wakada.
Dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat sipil (civil society) seperti organisasi pegiat Pemilu-Pilkada, para aktivis, dan tokoh masyarakat lokal, serta kalangan intelektual publik yang bertebaran di berbagai kampus.