Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Jejak Ironi Pilpres 2024

13 September 2024   17:12 Diperbarui: 13 September 2024   22:23 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana saya ungkapkan pada judul buku ini, Pilpres 2024 lalu memang ditaburi berbagai ironi yang tidak terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Deretan ironi itu sudah dimulai sejak fase prakandidasi Pilpres yang ditandai oleh insecuritas partai-partai politik dalam menyiapkan bakal pasangan calon Presiden-Wakil Presiden di tengah harapan publik terhadap kemandirian dan integritas partai politik sebagai kanal infrasatruktur demokrasi elektoral paling penting.

Ironi berikutnya terjadi pada saat akan memasuki masa pendaftaran pasangan Capres-Cawapres. Yakni ketika Majelis Kehormatan MK menyatakan dengan lugas bahwa telah terjadi pelanggaran etik oleh Ketua MK pada saat mengadili dan memutus perkara Nomor 90 terkait syarat usia Capres-Cawapres.

Ironis tentu saja, karena selain merupakan lembaga tinggi negara benteng penjaga keadilan sekaligus the guardian of constitution, MK juga merupakan lembaga pengadil terakhir dalam sengketa hasil Pemilu termasuk Pilpres.  

Selain di MK, pelanggaran etik juga terjadi (bahkan berulang kali) di lembaga KPU sebagai penyelenggara Pemilu justru di tengah desakan publik agar KPU menjaga integritas dan menjunjung tinggi moralitasnya sebagai penyelenggara Pemilu.

Selain terampasnya kedaulatan dan kemandirian partai serta terjadinya pelanggaran etik, irona demokrasi elektoral juga terjadi dalam berbagai gejala yang memperlihatkan pemihakan Presiden dan sejumlah pembantunya di pemerintahan terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres di tengah gencarnya para pihak (termasuk pemerintah) mengkampanyekan secara verbal pentingnya aparatur negara dan pemerintah menjaga netralitas.

Salam 4 Jari, Dirty Vote, dan Amicus Curiae  

Dipicu oleh berbagai ironi itulah dinamika perhelatan Pilpres kemarin itu telah melahirkan sejumlah peristiwa penting yang patut direkam dan dijadikan pengingat sejarah elektoral agar bangsa ini tidak menjadi keledai yang terjerumus dua kali pada lubang bahaya yang sama.  

Diantara peristiwa-peristiwa penting itu adalah munculnya Gerakan Salam 4 Jari oleh sekelompok anak muda kritis, film dokumenter Dirty Vote yang dibuat oleh tiga orang akademisi, dan Amicus Curiae yang disampaikan kepada MK oleh berbagai kelompok Masyarakat, termasuk ratusan akademisi dan intelektual dari kampus. Buku ini merekam semua peristiwa penting itu.

Gerakan Salam 4 Jari adalah kampanye yang dilakukan oleh sejumlah aktifis sebagai bentuk kegelisah publik atas perhelatan Pilpres yang diwarnai berbagai ironi dan problematika tadi. Salam 4 Jari memiliki 4 makna simbolik sebagai berikut.

Pertama, pentingnya membangun kekuatan koalisi paslon Nomor 1 dan 3 melalui tangan kita sendiri (tangan rakyat, bukan elit). Kedua, artikulasi peneguhan komitmen atas Sila ke-4 Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" yang berarti dari, oleh dan untuk rakyat (demokrasi) melalui musyawarah mufakat. Ketiga, isyarat internasional untuk tanda bahaya dan/atau meminta pertolongan. Keempat, simbol azas kekuatan politik baru (ke-4) yang lebih progresif melawan oligarki dan politik dinasti.

Sementra itu Dirty Vote, film dokumenter akademik berdurasi hampir 2 jam memuat narasi; mengurai fakta-fakta, menjelaskan persitemalian antara satu fakta dengan fakta lainnya, serta opini analitik perihal desain kecurangan Pemilu 2024.

Mulai dari inkonsistensi pernyataan-pernyataan Jokowi terkait isu pencalonan Gibran dan soal netralitas aparat negara, penempatan orang-orang Jokowi di sejumah daerah dalam jabatan Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota, percepatan pemekaran Papua menjadi 6 provinsi, mobilisasi para Kepala Desa, kasus putusan MK Nomor 90, politisasi Bansos, dan ketidaknetralan para pembantu Presiden di kabinet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun