Di dalam catatang pengantar buku ini, Profesor Ikrar Nusa Bhakti menulis: "Pemilu 2024 yang diharapkan menjadi tonggak sejarah penting bagi konsolidasi demokrasi menuju penguatan sistem demokrasi yang substansial, ternyata justru melahirkan suatu ironi. Betapa tidak. Reformasi politik yang terjadi sejak lenggsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diharapkan dapat mengubah praktik politik di Indonesia dari sistem otoriter menuju demokrasi, ternyata terhenti, kalau tidak dapat dikatakan bahkan mengalami kemunduran, setelah reformasi berumur 26 tahun."
Â
Sebagaimana saya ungkapkan pada judul buku ini, Pilpres 2024 lalu memang ditaburi berbagai ironi yang tidak terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Deretan ironi itu sudah dimulai sejak fase prakandidasi Pilpres yang ditandai oleh insecuritas partai-partai politik dalam menyiapkan bakal pasangan calon Presiden-Wakil Presiden di tengah harapan publik terhadap kemandirian dan integritas partai politik sebagai kanal infrasatruktur demokrasi elektoral paling penting.
Ironi berikutnya terjadi pada saat akan memasuki masa pendaftaran pasangan Capres-Cawapres. Yakni ketika Majelis Kehormatan MK menyatakan dengan lugas bahwa telah terjadi pelanggaran etik oleh Ketua MK pada saat mengadili dan memutus perkara Nomor 90 terkait syarat usia Capres-Cawapres.
Ironis tentu saja, karena selain merupakan lembaga tinggi negara benteng penjaga keadilan sekaligus the guardian of constitution, MK juga merupakan lembaga pengadil terakhir dalam sengketa hasil Pemilu termasuk Pilpres. Â
Selain di MK, pelanggaran etik juga terjadi (bahkan berulang kali) di lembaga KPU sebagai penyelenggara Pemilu justru di tengah desakan publik agar KPU menjaga integritas dan menjunjung tinggi moralitasnya sebagai penyelenggara Pemilu.
Selain terampasnya kedaulatan dan kemandirian partai serta terjadinya pelanggaran etik, irona demokrasi elektoral juga terjadi dalam berbagai gejala yang memperlihatkan pemihakan Presiden dan sejumlah pembantunya di pemerintahan terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres di tengah gencarnya para pihak (termasuk pemerintah) mengkampanyekan secara verbal pentingnya aparatur negara dan pemerintah menjaga netralitas.
Salam 4 Jari, Dirty Vote, dan Amicus Curiae Â
Dipicu oleh berbagai ironi itulah dinamika perhelatan Pilpres kemarin itu telah melahirkan sejumlah peristiwa penting yang patut direkam dan dijadikan pengingat sejarah elektoral agar bangsa ini tidak menjadi keledai yang terjerumus dua kali pada lubang bahaya yang sama. Â
Diantara peristiwa-peristiwa penting itu adalah munculnya Gerakan Salam 4 Jari oleh sekelompok anak muda kritis, film dokumenter Dirty Vote yang dibuat oleh tiga orang akademisi, dan Amicus Curiae yang disampaikan kepada MK oleh berbagai kelompok Masyarakat, termasuk ratusan akademisi dan intelektual dari kampus. Buku ini merekam semua peristiwa penting itu.
Gerakan Salam 4 Jari adalah kampanye yang dilakukan oleh sejumlah aktifis sebagai bentuk kegelisah publik atas perhelatan Pilpres yang diwarnai berbagai ironi dan problematika tadi. Salam 4 Jari memiliki 4 makna simbolik sebagai berikut.
Pertama, pentingnya membangun kekuatan koalisi paslon Nomor 1 dan 3 melalui tangan kita sendiri (tangan rakyat, bukan elit). Kedua, artikulasi peneguhan komitmen atas Sila ke-4 Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" yang berarti dari, oleh dan untuk rakyat (demokrasi) melalui musyawarah mufakat. Ketiga, isyarat internasional untuk tanda bahaya dan/atau meminta pertolongan. Keempat, simbol azas kekuatan politik baru (ke-4) yang lebih progresif melawan oligarki dan politik dinasti.