Alhamdulillah. Buku saya yang kedua, yang merekam ulasan berbagai isu dan peristiwa seputar perhelatan Pilpres 2024 silam akhirnya tuntas. Dan insyaAllah, akhir September ini terbit.
Judul utama buku ini sama dengan buku pertama yang terbit Juni 2024 lalu, Pesta Demokrasi Bertabur Ironi. Tetapi dengan subjudul berbeda. Buku pertama subjudulnya "Cawe-cawe Presiden Jokowi dan Robohnya Pilar Etik," buku kedua subjudulnya "Wakanda No More, Indonesia Forever."
 Sebagaimana buku pertama yang diberi pengantar oleh Calon Presiden pada Pilpres 2024, Mas Ganjar Pranowo.  Buku kedua ini maunya juga diberi pengantar oleh Calon Presiden 2024 lainnya, Mas Anies Bawsedan. Terlebih lagi karena subjudul buku menggunakan quotenya beliau pada saat kampanye, "Wakanda No More Indonesia Forever." Tetapi karena perkara teknis, pengantar Mas Anies tidak bisa saya peroleh hingga buku memasuki fase proses finishing.
Bersyukur, Profesor Ikrar Nura Bhakti, dosen sewaktu di FISIP UI dan SPs Universitas Satyagamana Jakarta, berkenan mengisi space pengantar buku dan memberinya sebuah catatan penting dan berharga. Seperti kita kenal, selain intelektual, dosen dan peneliti LIPI (sekarang BRIN) beliau pernah diamanahi menjabat Dubes RI untuk Tunisia oleh Presiden Jokowi, 2017-2021.
Spirit Perubahan
Buku ini, sebagaimana edisi yang pertama, merupakan kumpulan artikel yang saya tulis (dan sebagian besarnya sudah diterbitkan di beberapa media nasional, termasuk di Kompasiana), yang memuat dan mendiskusikan berbagai isu penting di sepanjang perhelatan Pilpres 2024.
Selain membahas seputar proses sengketa hasil Pilpres, berbagai problematika dan dinamika elektoral lainnya, topik yang lebih mendominasi pembahasan dalam buku ini, yang coba direkam dan disajikan kembali adalah isu perubahan yang mewarnai sejarah penyelenggaraan Pilpres 2024, bahkan jauh sebelum tahapan-tahapan pentingnya dilaksanakan.
Laksana gelombang laut, gagasan dan semangat perubahan yang diusung oleh kubu Pasangan Anies-Gus Muhaimin mengarus deras di ruang publik kala itu. Spirit ini berhadapan, atau lebih tepatnya "melawan" isu keberlanjutan yang digaungkan oleh kubu Prabowo-Gibran dan didukung Presiden Jokowi.
Perubahan. Saya sendiri memahami konsep ini sebagai sebuah keniscayaan, natur dalam kehidupan. Tentu saja yang dimaksud adalah perubahan yang terukur, bukan asal ubah. Perubahan yang bermakna pembaruan dan perbaikan atas berbagai sisi lemah dan kurang dari apa yang telah dihasilkan sebelumnya.
Di atas semangat itu pula, lebih dari sekadar merekam peristiwa, kumpulan tulisan ini dibukukan. Yakni semangat merawat perubahan dan perbaikan yang harus terus dilakukan dari waktu ke waktu, dari periode ke periode, oleh siapa saja yang mendapat amanah rakyat. Â
Ironi yang Mencederai
Di dalam catatang pengantar buku ini, Profesor Ikrar Nusa Bhakti menulis: "Pemilu 2024 yang diharapkan menjadi tonggak sejarah penting bagi konsolidasi demokrasi menuju penguatan sistem demokrasi yang substansial, ternyata justru melahirkan suatu ironi. Betapa tidak. Reformasi politik yang terjadi sejak lenggsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diharapkan dapat mengubah praktik politik di Indonesia dari sistem otoriter menuju demokrasi, ternyata terhenti, kalau tidak dapat dikatakan bahkan mengalami kemunduran, setelah reformasi berumur 26 tahun."