Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

PDIP-PKB Plus Kekuatan Anies-Ahok di Pilgub Jakarta

19 Agustus 2024   11:45 Diperbarui: 19 Agustus 2024   11:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinggal dalam hitungan hari masa pendaftaran pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah bakal dibuka oleh KPU. Di Jakarta proses prakandidasi masih berlangsung dinamis. Selain muncul isu baru yakni hadirnya bakal paslon independen, Dharma-Kun yang belakangan menyita perhatian publik, perbincangan seputar langkah PDIP dan nasib Anies masih mendominasi ruang publik.

Pilihan langkah bagi PDIP semakin menyempit setelah Surya Palon memastikan Nasdem tidak akan mencalonkan Anies, menyusul kepastian PKS yang nampaknya sudah sangat excited dengan kompensasi posisi Cawagub di kubu KIM Plus. Terakhir, PDIP juga ditinggalkan PPP dan Perindo, dua parpol yang menjadi mitra koalisi pada Pilpres 2024 lalu.

Sementara itu situasi menyempit juga terjadi pada posisi dan peluang Anies sebagai bakal Cagub setelah hampir semua partai politik memilih bergabung dengan kubu KIM yang menyorongkan Ridwan Kamil dan Suswono sebagai Cagub dan Cawagub.  

Tanpa "mukjizat politik," qodarullah yang bisa mengubah konstelasi politik elektoral, PDIP dan Anies nampaknya bakal berakhir di bangku tirbun pada pesta demokrasi warga  Jakarta.

Tetapi political game memang belum selesai meski sudah berada nyaris di ujung waktu. Oleh karena itu "mukjizat politik" masih dimungkinkan turun dari langit. Qodarullah belum sampai di titik akhir. Dan "mukjizat politik" itu, qodarullah bisa hadir melalui pintu PKB.

Mukjizat Menunggu Muktamar

Isyarat "mukijzat politik" itu dikemukakan oleh Hasto Kristyanto sebagaimana dilansir berbagai media (Minggu, 18 Agustus 2024), yang mengungkapkan bahwa PDIP sudah berkomunikasi intens dengan elit PKB perihal kemungkinan mereka mengusung Anies Baswedan di Pilgub Jakarta. Kepastiannya menunggu Muktamar PKB di Bali. Kepastian ini tentu berkenaan dengan apakah PDIP dan PKB jadi berkoalisi atau tidak. Jika jadi berkoalisi, apakah mengusung Anies-Rano (atau kader PDIP lainnya), atau Rano-kader PKB?

Meski terasa difetakompli oleh situasi politik elektoral yang menyempit bagi PDIP, sinyal dari Hasto tentu positif dilihat dari sisi pentingnya menghadirkan Pilgub tanpa  kotak kosong.

Seperti yang sudah berulangkali saya tulis, Pilkada dengan calon tunggal yang berimplikasi pada hadirnya kotak kosong dalam surat suara merupakan kemerosotan demokrasi elektoral yang harus dicegah. Karena sekurang-kurangnya akan ada dua substansi yang hilang jika Pilkada digelar dengan calon tunggal.

Substansi pertama yang hilang adalah pilihan appeal to appeal, manusia lawan manusia, kandidat pemimpin lawan kandidat pemimpin. Bukan manusia lawan kotak kosong. Substansi kedua yang hilang adalah kompetisi gagasan dan pemikiran visioner yang harus ditawarkan kepada dan dinilai oleh warga Jakarta.

Dan yang tidak kalah penting, selain kehilangan substansi sebagai proses politik elektoral, Pilkada dengan calon tunggal juga potensial mengakibatkan partisipasi pemilih mengalami kemerosotan. Rendahnya partisipasi mengisyaratkan rendahnya pula legitimasi politik pemimpin terpilih. Atau, partisipasi bisa saja tetap tinggi. Pemilih tetap berduyun ke TPS, tetapi arah pilihannya bukan untuk memberikan mandat kepada si calon tunggal. Melainkan untuk memenangkan kotak kosong.

Masalahnya kemudian, sinyal yang diungkapkan Hasto juga tidak tunggal. Di sisi seberangnya, beberapa elit PKB justru menyatakan bahwa PKB akan bekerjasama dengan Gerindra. Statemen ini bisa dimaksudkan dalam konteks pemerintahan Prabowo-Gibran nanti dimana PKB akan menjadi bagian dari koalisi pendukung pemerintahan. Atau bisa pula dalam konteks Pilgub Jakarta, belum clear seratus persen.

Sebelumya, Kamis 15 Agustus lalu, Cak Imin sendiri selaku Ketua Umum PKB belum memberikan kepastian terkait kandidasi Pilgub Jakarta ini. Kepada media sebagaimana dikutip Antara, ia mengatakan, "Ya kita tunggu aja. Desk pilkada sedang bekerja. Kami akan sampai kesimpulan selama satu dua hari ini." Nah, sekarang sudah lewat dua hari, kepastian itu belum kunjung tiba.

Maka cara yang paling sahih untuk mengambil kesimpulan akhir diantara dua sinyal paradoks itu adalah dengan menunggu Muktamar PKB seperti disinggung Hasto tadi. Muktamar PKB bakal digelar di Bali, 24-25 Agustus mendatang. Pada forum tertinggi pengambilan keputusan partai itu PKB dipastikan akan memutuskan jadi-tidaknya berkoalisi dengan PDIP termasuk jadi-tidaknya mengusung paket Anies-Kader PKB atau Rano-Kader PKB.

PDIP-PKB dan Kekuatan Gigantis

Mencermati dinamika prakandidasi Pilgub Jakarta di tengah kejutan-kejutan kepolitikan nasional belakangan ini, saya sendiri melihat peluang terjadinya koalisi PDIP-PKB relatif kecil. Berikut beberapa argumennya.

Pertama, dalam konteks pemerintahan nasional dibawah Prabowo-Gibran nanti, Cak Imin sendiri sudah berulangkali menunjukan gairahnya untuk masuk dalam barisan pemerintahan, dan tidak pernah sekalipun (sependek pencermatan saya) menyatakan kemungkinan partainya mengambil peran sebagai oposisi di parlemen.

Kedua, kabarnya PKB sudah disiapkan sedikitnya satu pos jabatan kementerian di pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika kabar ini sahih adanya tentu tidak mungkin diperoleh PKB dengan cuma-cuma. No free lunch dalam politik praktis. Apalagi PKB bukan bagian dari KIM yang telah mengantarkan kemenangan Prabowo-Gibran.  

Ketiga, Cak Imin sendiri, agak mirip dengan Arilangga dan beberapa elit partai lainnya, sama-sama pernah "tersangkut" sebuah kasus (lama) dugaan korupsi sistem perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Bahkan sudah sempat dimintai keterangan oleh KPK September 2023 lalu sebelum Pilpres.

Tetapi jika pada Muktamar Bali nanti PKB akhirnya memutuskan berkoalisi dengan PDIP, hemat saya kerjasama kedua partai ini memiliki potensi besar untuk menjadi lawan tanding yang sepadan dengan barisan KIM Plus. Bahkan tidak mustahil bakal merebut Jakarta November 2023 nanti.

Terlebih lagi jika Cagubnya adalah Anies, lalu Ahok ikut "pasang badan" dan berjuang total sebagai kader otentik PDIP, koalisis Nasionalis-Islam ini saya kira bisa menjadi kekuatan gigantis yang dapat menenggelamkan "kapal induk" bernama KIM Plus di Jakarta.

Mengapa bisa demikian dahsyat? Karena diluar kalkulasi statistikal perolehan kursi DPRD DKI hasil Pemilu 2024 lalu, hingga saat ini aktor politik yang memilki basis massa paling loyal dan solid di Jakarta adalah Anies dan Ahok. Fenomena ini telah beberapa kali diungkapkan melalui hasil sigi sejumlah lembaga survei. Anies-Ahok nyaris selalu menempati posisi satu-dua, terpaut jauh angkanya di atas Kang Emil, Kaesang, Sanidiaga dan nama-nama populer lainnya.

Secara statistikal, akumulasi gabungan suara atau kursi DPRD DKI yang dimiliki KIM Plus (75) memang jauh lebih besar dibanding PDIP-PKB (25). Tetapi Pilgub memilih figur, bukan partai. Dan berdasarkan pengalaman panjang sejarah Pilkada langsung di berbagai daerah terbukti banyak paslon yang diusung koalisi besar dikalahkan oleh koalisi satu-dua partai yang akumulasi suara Pilegnya lebih sedikit. Ringkasnya, suara partai tidak selalu berbanding lurus dengan raihan suara paslon Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah.

Last but not least adalah suara-suara publik bebas-afiliasi politik kepartaian yang menghendaki perubahan dan yang menolak lupa terhadap kasus pelanggaran etik di Pilpres silam serta perilaku banalitas elit politik lainnya, nampaknya bakal stand with PDIP-PKB dan Anies-Ahok.

Suara-suara itu berasal bukan saja dari warga Jakarta yang memiliki hak pilih. Tetapi juga bisa dari luar yang melihat Jakarta sebagai barometer politik dan entry point darimana demokrasi bisa dijaga dan perubahan bisa digulirkan. Suara-suara itu bisa menggema melalui berbagai kanal media sosial sebagai bentuk dukungan moral.

Artikel-artikel yang membahas isu Pilkada Jakarta 2024:

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66c16ad534777c62c111d9c2/calon-independen-dalam-sejarah-pilkada

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66bdd556c925c41e475f4942/anies-gabung-pdip-why-not

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66bcb2fded641550b35f5452/tiga-opsi-kandidasi-yang-sama-pentingnya-dipertimbangkan-pdip

https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66b1fd5034777c68e53b5552/kim-plus-pilkada-jakarta-dan-pengerdilan-demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun