Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tiga Opsi Kandidasi yang Sama Pentingnya Dipertimbangkan PDIP

14 Agustus 2024   20:46 Diperbarui: 15 Agustus 2024   11:12 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memberikan surat rekomendasi kepada 13 bakal calon kepala daerah tingkat provinsi untuk Pilkada 2024, Rabu (14/8/2024).(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)

Siang tadi (14/8/2024) DPP PDIP mengumumkan 305 calon kepala daerah dan atau wakil kepala daerah, 13 diantaranya untuk tingkat provinsi. Yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, NTB, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua Barat Daya.

Dalam daftar tersebut belum ada satu pun kandidat untuk seluruh provinsi di pulau Jawa. Kabarnya akan diumumkan menyusul pada sesi kedua sebelum masa pendaftaran ke KPU akhir Agustus nanti.

Fakta belum satu pun kandidat untuk provinsi di Jawa yang diumumkan menunjukan betapa tidak mudahnya PDIP mengambil keputusan terkait proses kandidasi ini. 

Sebagaimana sudah beberapa kali saya singgung dalam tulisan-tulisan terdahulu, PDIP memang menghadapi kendala yang tidak mudah di Jawa. Bahkan termasuk di Jawa Tengah di mana PDIP sesungguhnya bisa maju sendiri mengusung Cagub-Cawagubnya karena raihan kursi hasil Pemilu 2024 di DPRD lebih dari cukup untuk mengajukan pasangan calon.

Tiga Faktor Krusial

Sekurang-kurangnya ada 3 faktor penyebab tidak mudahnya PDIP memutuskan pasangan Cagub-Cawagub di Jawa. 

Pertama terkait jumlah kursi di DPRD provinsi masing-masing yang tidak memenuhi syarat minimal untuk dapat mengusung sendiri pasangan kandidatnya, yang dengan demikian memaksa PDIP harus membangun koalisi dengan partai lain.

Kedua, hegemoni kekuasaan dan manuver ambisius kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) di semua provinsi di Jawa membuat PDIP mengalami kesulitan untuk membangun koalisi dengan partai lain. Padahal PDIP memiliki kursi lumayan banyak di tiap provinsi di Jawa, dan cukup dengan 1 atau 2 parpol saja kerja sama sebetulnya sudah dapat mengusung pasangan calon.

Ketiga, adanya gejala "ketersanderaan" partai-partai lain oleh kepentingan politik para elitnya. Baik tersandera oleh perilaku politik kartel, dugaan belitan kasus hukum, atau sekadar ambisi pribadi elit partai-partai yang tidak mau terpental dari posisi politiknya di pemerintahan.

Tiga Opsi Politik Kandidasi

Bertolak dari peta kekuatan statistikal perolehan kursi di DPRD Provinsi, dinamika politik elektoral yang cenderung menjepit posisinya, dan menguatnya gejala "ketersanderaan" partai-partai (apapun faktor penyebabnya), hemat saya saat ini PDIP memiliki tiga pilihan kandidasi dan sikap politik elektoral yang perlu dipertimbangkan untuk ditempuh.

Ketiga opsi itu sama pentingnya dipertimbangkan oleh PDIP untuk alasan menegakan prinsip-prinsip demokrasi elektoral, menjaga substansi Pilkada sekaligus mengakomodir aspirasi (sebagian) rakyat dan memperjuangkannya di pentas Pilkada. Ketiga opsi itu adalah maju sendiri mengusung pasangan cagub-cawagub, membentuk poros antitesis, atau (jika gagal) memimpin rakyat melawan calon tunggal atau calon boneka.

Berdasarkan peta perolehan kursi DPRD di lima provinsi di Jawa, opsi "maju sendiri" bisa dilakukan untuk Pilgub Jawa Tengah. Meski tentu saja jika ada partai lain yang siap bekerjasama tetap lebih baik. 

Pesan pentingnya di sini adalah jangan sampai ada ketergantungan pada kekuatan ekstenal yang justru dapat membuat situasi internal menjadi insecure secara politik.

Dengan perolehan kursi sebanyak 33 kursi di DPRD Jateng, PDIP sebaiknya segera mengambil langkah pasti seperti di Sumatera Utara, lalu dengan sigap mengonsolidasikan infrastruktur partai dan basis massa sedini mungkin. Figur Jenderal (Purn) Andika Perkasa sudah tepat dimajukan sebagai cagubnya.

Dengan pilihan atas opsi ini PDIP memberi kontribusi nyata terhadap ikhtiar menegakan prinsip-prinsip demokrasi elektoral, menjaga substansi pilkada sekaligus mengakomodir aspirasi (sebagian) rakyat dan memperjuangkannya di pentas pilkada. Karena dengan demikian munculnya calon tunggal dapat dicegah.

Poros Antitesis atau Memimpin Rakyat Melawan Calon Tunggal

Opsi kedua membentuk "poros antitesis". Yakni poros koalisi yang dibangun bersama partai-partai di luar KIM. Baik yang berasal dari koalisi pendukung Anies-Gus Imin maupun partai-partai pengusung Ganjar-Mahfud pada Pilpres 2024 silam. Tidak mudah pastinya untuk diwujudkan. Tetapi bukan tidak mungkin. Pengalaman panjang politik mestinya bisa diandalkan untuk mewujudkan poros ini.

Opsi "poros antitesis" ini masih terbuka di tiga provinsi lain di Jawa setidaknya hingga saat ini karena komunikasi antar partai dan negosiasi internal di kubu KIM juga masih berlangsung dinamis. Ketiga provinsi ini adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Pilihan atas opsi kedua ini idem ditto, PDIP juga memberi kontribusi nyata atas upaya menegakan prinsip-prinsip demokrasi elektoral, menjaga substansi pilkada sekaligus mengakomodir aspirasi (sebagian) rakyat dan memperjuangkannya di pentas Pilkada. Karena jika "poros antitesis" ini berhasil diwujudkan maka munculnya calon tunggal juga dapat dicegah.

Bagaimana jika "poros antitesis" ini gagal diwujudkan dan PDIP akhirnya ditinggal sendirian karena semua partai merapat di satu kubu gigantis bernama KIM Plus di Jakarta atau Koalisi Banten Maju (KBM) di Banten dan entah apa lagi nanti namanya?

Demi ikhtiar menegakkan prinsip-prinsip demokrasi elektoral, menjaga substansi pilkada sekaligus mengakomodir aspirasi (sebagian) rakyat dan memperjuangkannya di pentas Pilkada, PDIP harus siap menjadi "martir demokrasi elektoral." Yakni dengan cara memilih abstain (tidak mencalonkan), lalu memimpin rakyat melakukan perlawanan demokratis terhadap calon tunggal atau calon boneka yang mungkin saja akan dipersiapkan oleh koalisi gigantis agar tidak menghadapi kotak kosong.

Potensi PDIP bakal ditinggalkan sendirian ini semakin kuat di Banten setelah Airlangga mundur dari jabatan Ketua Umum Golkar. Plt Ketua Umum Golkar, Agus Gumiwang nampaknya akan menarik penugasan Airin Rachmi sebagai Cagub Banten yang sebelumnya dimandatkan oleh DPP Golkar. 

Sinyal ini bisa dibaca dari ditariknya kembali pengajuan pengunduran diri sebagai Caleg DPRD Banten terpilih Ade Sumardi yang sebelumnya dipersiapkan PDIP untuk mendampingi Airin sebagai Cawagub Banten.

Jika prediksi itu terbukti, artinya Airin batal maju karena Golkar merapat ke kubu KBM, dan dengan demikian PDIP tinggal sendiri, maka di Banten PDIP harus siap dan berani dengan dada tegak mengambil opsi ketiga. Yakni memimpin rakyat melakukan perlawanan demokratis terhadap calon tunggal atau calon boneka yang mungkin saja akan dipersiapkan oleh koalisi gigantis agar tidak menghadapi kotak kosong.

Artikel terkait:

PDIP, Pilgub Sumut, dan Ikhtiar Menjaga Substansi Pilkada

Pilkada, Konsolidasi Demokrasi, dan Tanggung Jawab Partai Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun