Dalam konteks kepentingan itu, sikap politik elektoral (proses kandidasi Pilkada) Airlangga atau opsi kemungkinan lainya tadi nampaknya dianggap berpotensi mengganggu kondusifitas  dan stabilitas transisi. Maka clear, Airlangga harus mundur. Dan ia tidak punya pilihan lain kecuali dengan "ikhlas" melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar. Sebab jika tidak, spekulasi yang berkembang, kasus "minyak gorengnya" sebelum Pilpres 2024 silam bakal dibuka lagi.
Seperti diketahui, sebelum koalisi terbentuk pada Pilpres 2024 silam, Airlangga sempat diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (Kompas.com, 9 Oktober 2023). Bahkan juga sempat digoyang posisinya sebagai Ketua Umum Golkar. Kasus ini kemudian melandai dan akhirnya redup sama sekali setelah Golkar memutuskan bergabung dengan KIM yang mengusung Prabowo-Gibran.
Kepentingan Publik
Akhirnya, adakah kepentingan publik yang terganggu dengan keputusan mundurnya Airlangga? Secara langsung tentu saja tidak ada. Maju-mundur seorang ketua partai dari jabatannya adalah hak pribadi yang bersangkutan. Â
Tetapi secara tidak langsung menjadi masalah dan tentu saja potensial merugikan kepentingan publik jika alasan mundurnya itu misalnya karena Airlangga berusaha mengakomodir aspirasi konstituennya berkenaan dengan proses kandidasi Kepala dan Wakil Kepala Daerah.
Menjadi masalah pula jika dikaitkan dengan pembangunan politik dan konsolidasi demokrasi. Tekanan kekuasaan terhadap partai-partai politik yang berdampak pada merosotnya kemandirian partai, rusaknya proses pelembagaan partai politik dan tersendatnya proses konsolidasi demokrasi jelas merupakan kerugian bagi kehidupan politik berbangsa dan negara.
Artikel terkait:Â Pilkada, Konsolidasi Demokrasi, dan Tanggung Jawab Partai Politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H