Beberapa hari lalu, tepatnya Minggu 4 Agustus 2024, Koalisi Banten Maju (KBM) mendeklarasikan Andra-Dimyati sebagai bakal Paslon Gubernur-Wakil Gubernur di Tangerang. 10 Parpol tergabung didalamnya, yakni Partai Gerindra, PKS, Demokrat, NasDem, PKB, PAN, PPP, PSI, Garuda, dan Prima.
Dengan demikian menghadapi proses kandidasi yang kurang lebih tinggal tiga pekan lagi, hanya tersisa dua partai politik yang masih memungkinkan untuk mengajukan bakal pasangan Cagub-Cawagub di Banten, yakni Golkar dan PDIP. Gabungan perolehan kursi kedua partai ini adalah 28, lebih dari cukup untuk membentuk satu poros dan mendaftarkan pasangan Cagub-Cawagub ke KPU akhir Agustus ini.
Tetapi hingga saat ini, belum ada kejelasan apakah kedua partai "senior" ini bakal bekerja sama membentuk poros terpisah dari KBM. Yang pasti, jika salah satu saja berubah haluan dan memutuskan bergabung dengan KBM, maka dapat dipastikan Pilgub Banten 2024 hanya akan diikuti oleh pasangan calon tunggal, yang dengan demikian bakal diadu melawan kotak kosong.
Demokrasi Prosedural
Secara normatif Pilkada dengan hanya satu pasangan calon memang dimungkinkan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Di dalam Pasal 54C ayat (1) UU ini pasangan calon tunggal dimungkinkan oleh sebab salah satu dari 5 (lima) kondisi opsional berikut ini.
Pertama, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar dan memenuhi syarat, bahkan setelah masa pendaftaran ditunda (diperpanjang) tidak ada lagi pasangan calon yang mendaftar.
Kedua, pada masa penundaan pendaftaran terdapat pasangan calon tambahan yang mendaftar tetapi dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Ketiga, terdapat lebih dari satu pasangan calon yang mendaftar dan memenuhi syarat. Tetapi pada saat dimulainya kampanye beberapa pasangan calon lain berhalangan tetap (misalnya meninggal dunia) dan partai politik atau gabungan partai politik pengusung tidak mengusulkan pasangan calon pengganti. Atau mengusulkan pasangan calon pengganti namun dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Keempat, terdapat lebih dari satu pasangan calon yang mendaftar dan memenuhi syarat. Tetapi pada saat dimulainya kampanye hingga pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap dan partai politik atau gabungan partai politik pengusung tidak mengusulkan pasangan calon pengganti. Atau mengusulkan pasangan calon pengganti namun dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Kelima, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pilkada karena melakukan pelanggaran yang mengakibatkan jatuhnya sanksi pembatalan ini sebagaimana diatur dialam peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 54C ini diatur, bahwa Pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. Ringkasnya, secara normatif Pilkada dengan calon tunggal memenuhi syarat procedural demokrasi.
Demokrasi SubstantifÂ
Namun demikian, dari sudut pandang demokrasi substantif Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena disebabkan oleh insekuritas partai-partai dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerahnya menghadapi hegemoni dan tekanan partai-partai berkuasa sama sekali tidak sehat dalam tradisi demokrasi karena beberapa argumen berikut.
Pertama, dalam Pilkada dengan hanya satu pasangan calon masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali duet figur hasil kesepakatan para elit partai politik.
Kedua, Pilkada dengan calon tunggal tidak memungkinkan munculnya kontestasi gagasan yang berlangsung secara diskursif, kompetitif dan bisa diuji oleh publik. Kompetisi gagasan jadi berlangsung monolitik, tidak ada pembanding visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.
Ketiga, Pilkada dengan calon tunggal dalam perhelatan bernama Pilkada cenderung menjadi pseudo-elektoral. Pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia.
Keempat, Pilkada dengan calon tunggal mengisyaratkan bahwa partai-partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai sarana rekruitmen politik kepemimpinan sekaligus sarana artikulasi kepentingan kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang dapat dipastikan tidak mungkin bersifat homogen.
Ringkasnya, Pilkada dengan calon tunggal sesungguhnya merupakan bentuk ketidakwarasan berdemokrasi, dan karenanya perlu dicegah. Nah, dalam situasi terkini Banten sebagaimana dikemukakan di atas dan untuk kepentingan menjaga kewarasan berdemokrasi maka posisi Golkar, PDIP, dan Airin saat ini penting dan strategis. Saya yakin, mayoritas nalar publik berharap ketiga aktor ini mau bekerja sama untuk menjaga marwah demokrasi di Banten sekaligus menghadirkan perhelatan politik yang pantas disebut Pilkada.
Tantangan, Godaan, dan Political Resources
Tentu saja memang tidak mudah untuk membangun kerja sama politik di Banten saat ini. Masing-masing, baik PDIP, Golkar maupun Airin sebagai bakal kandidat dihadapkan pada tantangan dan godaan, bahkan mungkin juga tekanan sendiri-sendiri.
Tetapi tantangan dan godaan terberat nampaknya ada pada Golkan dan Airin. Tantangan terberat Golkar adalah harus berseberangan dengan para koleganya di Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang kini sudah mereplikasi diri menjadi Koalisi Banten Maju (KBM). Dan pilihan sikap politik akhir Golkar dengan sendirinya akan memengaruhi posisi dan sikap politik Airin.
Sementara itu, Airin sendiri harus menghadapi tantangan sekaligus godaan. Tantangan yang bakal muncul seiring dengan sikap politik elektoral Golkar, dan godaannya berupa kemungkinan mendapatkan tawaran menjabat salah satu pos kementerian di kabinet Prabowo-Gibran sebagai alat tukar politik.
Apakah Golkar dan Airin akhirnya berani melawan arus, keluar dari bayang-bayang dan hegemoni simpul kerjasama politik pusat di kekuasaan nasional lalu membangun kerjasama dengan PDIP, serta menyiapkan satu poros alternatif dan mengajukan bakal pasangan cagub-cawagub sendiri? Ini yang masih diragukan banyak pihak, meski keduanya memiliki political resources atau modal politik yang kuat untuk menghadapi koalisi gigantis KBM.
Modal pertama adalah performa kelembagaan sebagai partai politik. Bersama PDIP, infrastruktur maupun basis massa Golkar di Banten relatif lebih kokoh dan solid dibandingkan semua partai di KBM. Dan ini dibuktikan oleh hasil Pileg 2024 silam dimana keduanya meraih suara dan kursi terbanyak bersama Gerindra tanpa cipratan coat tail effect (efek ekor jas).
Modal resources yang kedua adalah jejaring sekaligus investasi sosiopolitik yang dimiliki oleh Airin sebagai bagian dari keluarga Ratu Atut yang sudah cukup lama terbangun simpul-simpulnya di seluruh wilayah Banten dan dapat digerakan setiap waktu untuk menyokong Airin.
Kemudian figur Airin sendiri sebagai bakal cagub yang sudah cukup lama tersosialisasi ke seantero Banten dan jauh lebih populer dibandingkan Andra maupun Dimyati. Fakta ini didukung oleh hasil sigi sejumlah lembaga survei yang selalu menempatkan Airin di posisi teratas, baik popularitas maupun elektabilitasnya.
Dan modal terakhir tapi tak kalah penting adalah pilihan Airin (dan Golkar) terhadap figur yang disiapkan sebagai bakal Cawagubnya, yakni Ade Sumardi. Sebagai mantan Wakil Bupati Lebak dua periode, Ade jelas popular di selatan Banten, dan ini penting untuk mengimbangi popularitas Dimyati yang sama-sama berasal dari selatan Banten. Selain itu, Ade Sumardi saat ini adalah juga Ketua DPD PDIP Banten, jabatan strategis dan mestinya determinatif untuk menggerakan mesin partai hingga ke lapis terbawah.
Ringkasnya, PDIP, Golkar dan Airin jelas memilki sumber daya lebih dari cukup untuk menghadapi kubu KBM. Masalahnya tinggal pada soal keberanian Golkar dan Airin mengambil sikap politik elektoral secara mandiri (lepas dari bayang-bayang KIM) dan komitmen bersama PDIP menjaga kewarasan berdemokrasi di Banten sekaligus menghadirkan perhelatan politik elektoral yang pantas disebut Pilkada!
Artikel terkait:Â KIM Plus, Pilkada Jakarta, dan Pengerdilan Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H