Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

KIM Plus, Pilkada Jakarta, dan Pengerdilan Demokrasi

6 Agustus 2024   17:50 Diperbarui: 7 Agustus 2024   14:37 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Jika komunikasi prakandidasi dengan PKB dan Nasdem gagal, lagi-lagi game over. Warga Jatim bakal disuguhi kontestasi lawak: Khofifah-Emil Dardak melawan Kotak Kosong.

Berbeda konstelasi statistik politiknya, berdasarkan raihan kursi di DPRD hasil Pileg 2024 PDIP memang bisa mengajukan pasangan Cagub-Cawagub sendiri di Sumatera Utara dan Jateng. Tetapi di kedua provinsi ini ada pengaruh besar Jokowi yang masih sukar dilawan.

Di Sumut, Bobby (menantu Jokowi) sudah mengantongi rekomendasi semua partai besar KIM, bahkan juga dari PKS. Di Jateng ada Kaesang (anak Jokowi) yang disiapkan untuk maju oleh KIM.

Di dua provinsi terakhir ini, nyali politik sekaligus komitmen demokrasi PDIP benar-benar diuji.

Apakah PDIP berani melawan arus dan menunaikan kewajiban moralnya sebagai partai politik pemasok calon-calon pemimpin sekaligus penjaga garda depan nafas hidup demokrasi? Atau, sebelas-duabelas saja dengan partai-partai lain, insecure lalu memilih bergabung dalam proses pengerdilan demokrasi?

Pengerdilan Demokrasi 

Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena disebabkan oleh insecuritas partai-partai dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerahnya menghadapi hegemoni dan tekanan partai-partai berkuasa tentu tidak sehat dalam tradisi demokrasi. Fenomena calon tunggal merupakan pengerdilan hakikat demokras, penyempitan ruang partisipasi sebagai esensi demokrasi setidaknya karena beberapa alasan berikut ini.

Pertama, masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali figur pasangan calon hasil kesepakatan elit yang sangat mungkin berlangsung dalam proses yang sarat dengan transaksi-transaksi gelap politik.

Kedua, calon tunggal tidak memungkinkan munculnya kontestasi gagasan yang berlangsung secara diskursif, kompetitif dan bisa diuji oleh publik. Kompetisi gagasan jadi berlangsung monolitik, tidak ada pembanding visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Ketiga, calon tunggal dalam perhelatan bernama Pilkada cenderung menjadi pseudo-elektoral. Pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia.

Keempat calon tunggal Pilkada mengisyaratkan bahwa partai-partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai sarana rekruitmen politik kepemimpinan sekaligus sarana artikulasi kepentingan kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang dapat dipastikan tidak mungkin bersifat homogen.

Kelima, dominasi kelompok apalagi yang berbasis keluarga atau kekerabatan yang terlampau kuat dan dibiarkan berlangsung tanpa perlawanan potensial berdampak pada menyempitnya ruang publik untuk melahirkan pemimpin-pemimpin otentik di daerah, pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas unggul.

Meaningful Participation

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun