Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengapa Pendamping Anies Sebaiknya Kader PDIP?

31 Juli 2024   15:30 Diperbarui: 31 Juli 2024   15:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.portal-islam.id

Memasuki Agustus ini figur Anies Baswedan sebagai bakal Calon Gubernur masih menjadi sentral perbincangan dalam konstelasi Pilgub DKI Jakarta. Namun demikian kepastian perihal siapa bakal pendampingnya masih berlangsung dinamis. Empat partai politik yang dikabarkan sudah mendekati sepakat untuk mengusung Anies, yakni PKS, PKB, Nasdem dan PDIP nampaknya masih saling bernegosiasi untuk posisi bakal Cawagub ini.

Sementara itu berdasarkan PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024, masa pendaftaran akan dibuka tanggl 27-29 Agustus, tinggal beberapa pekan lagi.

Sebagai miniatur Indonesia, Jakarta memang membutuhkan pertimbangan lebih (selain target memenangi kontestasi) dibandingkan provinsi lain dalam memutuskan pasangan Cagub-Cawagub. Misalnya pertimbangan politik kebinekaan dan kebangsaan. Nah berdasarkan pertimbangan pada sisi ini, hemat saya figur yang paling tepat mendampingi Anies adalah kader PDIP. Berikut ini beberapa argumentasinya.

Membersihkan Residu 2017

Tanpa bermaksud membuka luka lama, kita tahu Pilkada 2017 berlangsung amat keras bahkan cenderung kasar karena dipicu oleh politisasi identitas (agama dan etnik). Dua kubu yang saling berhadapan, terutama di putaran kedua Pilgub, yakni Anies-Sandi versus Ahok-Djarot dan masing-masing pendukungnya sama-sama terjebak dalam saling lempar tuduhan-tuduhan stigmatis yang buruk. Anies-Sandi saat itu didukung oleh Gerindra dan PKS, sementara Ahok-Djarot didukung oleh koalisi PDIP, Hanura, Golkar dan Nasdem.

Satu hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa polarisasi di Pilkada Jakarta itu kemudian mengalir dampak residualnya ke Pemilu 2019. Stigma buruk "Cebong-Kampret" yang marak di Pemilu 2019 sedikit-banyak dipengaruhi oleh dan lahir dari keterbelahan pada Pilkada DKI 2017.  Cebong disematkan kepada para pendukung Jokowi-Ma'ruf, dan Kampret untuk para pendukung Prabowo-Sandi.

Meski tidak kentara, karena terjadi pergeseran konstelasi dan afiliasi politik elektoral serta munculnya isu pelanggaran etik di Pemilu 2024 kemarin, residu itu sesungguhnya masih ada. Ia menjadi semacam "bahaya laten" yang setiap saat bisa muncul kembali ke permukaan arena kontestasi politik.

Dengan menyandingkan kader PDIP bersama Anies pada Pilgub Jakarta 2024 ini, hemat saya bisa mencegah bangkitnya kembali sentimen primordialis dan politisasi identitas berbasis agama dan etnik yang bisa membelah kembali masyarakat, khususnya warga Jakarta. Karena itu dalam konteks ini pantas diapresiasi jika PDIP misalnya tidak tergoda untuk memajukan kembali Ahok di Jakarta, dan lebih memilih berkongsi dengan PKS, PKB dan Nasdem untuk mendukung Anies Baswedan.

Menghadirkan Politik Kebhinekaan 

Selain untuk membersihkan residu Pilkada 2017 dan mencegah kembali kebangkitannya pada Pilgub Jakarta 2024, memberikan porsi Cawagub Anies kepada kader PDIP juga penting dalam kerangka membangun dan menghadirkan politik kebhinekaan yang inklusif di Jakarta.

Sekali lagi, Jakarta adalah miniaturnya Indonesia. Beragam etnis, budaya, dan agama hidup dan tumbuh di Jakarta. Fakta-fakta kebhinekaan Nusantara menemukan perwujudannya yang paling kongkret di Jakarta. Selain itu, Jakarta juga menjadi barometer kepolitikan nasional sekaligus etalasenya keragaman Indonesia bagi dunia internasional. Jadi, sangat pantas jika kota ini dipimpin oleh duet kepemimpinan politik yang mencerminkan keindonesiaan.

Memajukan kader PDIP sebagai pendamping Anies adalah jawaban kongkret atas kebutuhan mewujudkan kepempimpinan politik yang mencerminkan keindonesiaan itu. Dan ini berbeda misalnya jika pendamping Anies adalah kader PKS (siapapun figurnya) yang secara kategorial sesungguhnya sudah terwakili oleh sosok Anies Baswedan sendiri.

Merawat Semangat Perubahan 

Alasan terakhir berkenaan dengan semangat perubahan yang menggema di sepanjang perhelatan Pilpres kemarin, yang mestinya tidak disepelekan begitu saja oleh elit-elit partai politik.

Pasca penetapa Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres terpilih, semangat perubahan dalam arti pembaruan berbagai hal yang memang harus diubah dan diperbarui mestinya tidak dilupakan begitu saja. Saya yakin, pada saatnya nanti, Prabowo juga akan bicara soal pentingnya pembaruan-pembaruan. Ini sesuatu yang natur, alamiah dan niscaya terjadi. A-histori sekaligus a-sosial orang-orang yang anti dengan perubahan atau pembaruan.

Membaca dinamika politik Pilgub yang berlangsung di Jakarta hingga saat ini, peluang untuk merawat sebaik-baiknya semangat perubahan itu menjadi terbuka jika PDIP benar-benar bergabung dengan PKS, PKB dan Nasdem mengusung Anies.

Di beberapa provinsi besar seperti Sumut, Banten, Jabar, bahkan nampaknya juga Jateng dan Jatim, semangat merawat perubahan melalui Pilkada yang menggema di Pilpres kemarin tidak bisa lagi diharapkan kepada elit-elti partai. Karena proses prakandidasi berlangsung amat random. Partai-partai pengusung perubahan gagal menjaga konsistensinya. Mereka lebih memilih bergabung dengan barisan koalisi yang potensial memenangi kontestasi karena sokongan dari kekuasaan pusat.   

Di Jakarta mereka berbeda, setidaknya sampai saat ini. Formasi kerjasama politik pengusung agenda perubahan nampak konsisten, dan kini bahkan bisa lebih solid dengan bergabungnya PDIP. Nah, dalam kerangka merawat api semangat perubahan supaya tidak meredup, setidaknya di Jakarta sebagai miniatur Indonesia inilah penting mempertimbangkan untuk memberikan porsi bakal pendamping Anies kepada PDIP.

Modal Elektoral PDIP 

Lantas secara elektoral, kontribusi apa yang bisa diberikan PDIP sebagai katakanlah "modal"  untuk pasangan Anies-Kader PDIP ini?

Pertama, PDIP adalah peraih suara terbanyak kedua setelah PKS dalam Pemilu 2024 silam, dengan raihan suara sebanyak 850.174 (sekitar 14%) atau 15 kursi DPRD DKI Jakarta. Raihan suara atau kursi ini menunjukkan PDIP masih cukup solid di Jakarta meski mengalami penurunan yang juga dialami oleh Gerindra.

Kedua, PDIP memiliki kader-kader populer yang bisa melengkapi sisi "kurang" dari Anies, seperti Andika Perkasa, Pramono Anung, Tri Rismaharini, dan terakhir yang namanya mulai berkibar di Jakarta setelah memutuskan mundur dari Pilgub Banten, Rano "Si Doel" Karno. Sosok Rano misalnya, selain merupakan kader otentik sebagai seorang nasionalis, ia juga mewakili orisinalitas kebetawian yang kental. Rano juga berpengalaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Banten.

Ketiga, yang tidak kalah penting dan boleh jadi determinatif secara elektoral adalah sosok Ahok, mantan Gubernur DKI sendiri. Hasil sigi Litbang Kompas yang menempatkan Ahok hanya dibawah Anies jelas mengisyaratkan bahwa ia masih memiliki pemilih setia di Jakarta. Dengan memberikan porsi Cawagub Anies kepada kader PDIP, sebutlah Rano atau Andika misalnya, mestinya Ahok bisa membawa para pemilih setianya bergabung memenangkan pasangan Anies-Rano atau Anies-Andika.


Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6698d007c925c441520b0ed2/pdip-ahok-dan-potensi-blunder-di-pilkada-jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun